Kedua<\/strong>, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi\u2019i:<\/p>\n\u0627\u064e\u0644\u0645\u064f\u062d\u0652\u062f\u064e \u062b\u064e\u0627\u062a\u064f \u0636\u064e\u0631\u0652\u0628\u064e\u0627\u0646\u0650 ,\u0645\u064e\u0627\u0627\u064f\u062d\u0652\u062f\u0650\u062b\u064e \u064a\u064f\u062e\u064e\u0627\u0644\u0650\u0641\u064f \u0643\u0650\u062a\u064e\u0627\u0628\u064b\u0627 \u0627\u064e\u0648\u0652\u0633\u064f\u0646\u064e\u0651\u0629\u064b \u0627\u064e\u0648\u0652\u0623\u062b\u064e\u0631\u064b\u0627 \u0627\u064e\u0648\u0652\u0627\u0650\u062c\u0652\u0645\u064e\u0627\u0639\u064b\u0627 \u0641\u064e\u0647\u064e\u0630\u0650\u0647\u0650 \u0628\u0650\u062f\u0652\u0639\u064e\u0629\u064f \u0627\u0644\u0636\u0651\u0644\u0627\u0644\u064e\u0629\u064f \u0648\u064e\u0645\u064e\u0627\u0627\u064f\u062d\u0652\u062f\u0650 \u062b\u064e \u0645\u0650\u0646\u064e\u0627\u0644\u0652\u062e\u064e\u064a\u0652\u0631\u0650\u0644\u0627\u064e \u064a\u064f\u062e\u064e\u0627\u0644\u0650\u0641\u064f \u0634\u064e\u064a\u0652\u0626\u064b\u0627\u0650 \u0645\u0652\u0646 \u0630\u064e\u0627\u0644\u0650\u0643\u064e \u0641\u064e\u0647\u064e\u0630\u0650\u0647\u0650 \u0628\u0650\u062f\u0652\u0639\u064e\u0629\u064c\u063a\u064e\u064a\u0652\u0631\u064f\u0645\u064e\u0630\u0652\u0645\u064f\u0648\u0652\u0645\u064e\u0629\u064c .<\/p>\n
“Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi AlQur\u2019an, Hadits, Atsar atau Ijma\u2019. Inilah bid\u2019ah dholalah\/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid\u2019ah yang seperti ini tidaklah tercela\u2019.<\/p>\n
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan:<\/p>\n
\u201cImam Syafi\u2019i berkata, bahwa bid\u2019ah terbagi dua, yaitu bid\u2019ah mahmudah (terpuji) dan bid\u2019ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau ber- dalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: \u2018inilah sebaik-baik bid\u2019ah\u2019 \u201c.<\/p>\n
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubiy rahimahullah berkata:<\/p>\n
\u201cMenanggapi ucapan Imam Syafi\u2019i, maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: \u2018seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid\u2019ah adalah dhalalah\u2019 (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid\u2019atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur\u2019an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu \u2018anhum, sungguh telah di perjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: \u2018Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya\u2019 (Shahih muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid\u2019ah yang baik dan bid\u2019ah yang sesat\u201d. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal. 87)<\/p>\n
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid\u2019ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid\u2019ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi\u2019i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu \u2018Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-\u2018Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.<\/p>\n
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) \u201cPenjelasan mengenai hadits: \u2018Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya\u2026.\u2019,<\/p>\n
Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw: \u2018semua yang baru adalah Bid\u2019ah, dan semua yang Bid\u2019ah adalah sesat\u2019, sungguh yang di maksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid\u2019ah yang tercela \u201d . (Syarh An-nawawi \u2018ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)<\/p>\n
Dan berkata pula Imam Nawawi \u201cbahwa Ulama membagi bid\u2019ah menjadi lima bagian, yaitu bid\u2019ah wajib, bid\u2019ah mandub, bid\u2019ah mubah, bid\u2019ah makruh dan bid\u2019ah haram.<\/p>\n
Bid\u2019ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid\u2019ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta\u2019lim dan pesantren. Contoh bid\u2019ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid\u2019ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama\u2019ah tarawih bahwa \u2018inilah sebaik-baik bid\u2019ah\u2019 \u201d. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)<\/p>\n
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4\/318 sebagai berikut: \u201cPada asalnya bid\u2019ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara\u2019 bid\u2019ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid\u2019ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara\u2019, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara\u2019, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid\u2019ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima\u201d.<\/p>\n
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini:<\/p>\n
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii \u2018Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho\u2019; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa\u2019id; As-Syaukani dalam Nailul Author; Ali al Qoori\u2019 dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.<\/p>\n
Ada golongan lagi yang menganggap semua bid\u00e1h itu dholalah\/sesat dan tidak mengakui adanya bid\u00e1h hasanah\/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bid\u00e1h menjadi beberapa macam. Ada bid\u00e1h mukaffarah (bid\u00e1h kufur), bid\u00e1h muharramah (bid\u00e1h haram) dan bid\u00e1h \nmakruh (bid\u00e1h yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bid\u00e1h mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syari\u00e1t, atau seolah-olah bid\u00e1h diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.<\/p>\n
Bila semua bid\u2019ah (masalah yang baru) adalah dholalah\/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya:<\/p>\n
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur\u2019an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur\u2019an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.<\/p>\n
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma\u2019mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata: \u2018Bid\u2019ah ini sungguh nikmat\u2019.<\/p>\n
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel di belakang namanya.<\/p>\n
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, baik itu kesalahan kecil maupun besar \ue83a dan sebagainya adalah \nharam. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.<\/p>\n
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum\u2019at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum\u2019at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.<\/p>\n
f). Menata ayat-ayat Al-Qur\u2019an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu\u2019nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.<\/p>\n
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw… Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.<\/p>\n
Masih banyak lagi contoh-contoh bid\u2019ah\/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper- ingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a\/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.<\/p>\n
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari\u2019at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.<\/p>\n
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid\u2019ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.<\/p>\n
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi\u2019i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan:<\/p>\n
\u201cBid\u2019ah\/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari\u2019at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar\u2019i adalah bagian dari agama\u201d.<\/p>\n
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari\u2019at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid\u2019ah tercela.<\/p>\n
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.<\/p>\n
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya: Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah, bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah, mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.<\/p>\n
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut di \natas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i\u2019tikad jujur dan niat baik.<\/p>\n
Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya\u201d. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).<\/p>\n
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (do\u00e1 perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid\u2019ah dholalah\/sesat.<\/p>\n
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan: “Saya bersama \u00darwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab: “Bid\u00e1h”.<\/p>\n
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!<\/p>\n
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid\u2019ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut di atas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid\u2019ah tapi sebagai bid\u2019ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari\u2019at bukan bid\u2019ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.<\/p>\n
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebut- kan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar\u2019i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid\u2019ahtul hadyi (bid\u2019ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.<\/p>\n
Firman Allah swt. \u2018Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma\u2019ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung\u2019. (Ali Imran (3): 104).<\/p>\n
Allah swt. berfirman: \u2018Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan\u201d. (Al-Hajj:77)<\/p>\n
Abu Mas\u2019ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.; \u2018Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya\u2019. (HR.Muslim)<\/p>\n
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:<\/p>\n
\u2018Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan \njuga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun\u201d. Masih banyak lagi hadits yang serupa\/semakna di atas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas\u2019ud ra.<\/p>\n
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits di atas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa\u2019ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa\u2019ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah\/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.<\/p>\n
Dua macam pembatasan mereka di atas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa \nada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkaraperkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!<\/p>\n
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini:<\/p>\n
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).<\/p>\n
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan, cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain: “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 63: “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)\u201d.<\/p>\n
Para alim-ulama (bukan kaum awam) yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan: “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).<\/p>\n
Dengan pengertian, penakwilan kalimat sunnah dalam hadits di atas, yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid\u2019atin dholalah (semua bid\u2019ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari\u2019at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid\u2019ah itu antara penggunaannya yang syar\u2019i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid\u2019ah yang syar\u2019i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid\u2019ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.<\/p>\n
Bid\u2019ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari\u2019at dan inilah yang disebut bid\u2019ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari\u2019at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu\/pertama atau sesudahnya.<\/p>\n
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru \ue83a yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid\u2019ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) \nuntuk masalah yang baru itu maupun yang \u2018am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur aduk dengan bid\u2019ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid\u2019ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.<\/p>\n
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma\u2019ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari padaNya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.<\/p>\n
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak!<\/p>\n
Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.\u00a0Wallahu a’lam Bishshowaab<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"Pecihitam.org – Kali ini kita akan bahas apa yang dimaksud Bid\u2019ah menurut syari\u2019at Islam serta wejangan\/pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bid’\u00e1h mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari\u2019at Islam. Sunnah dan bid\u2019ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan ucapan Rasulallah saw. […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":1620,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[3665,7],"tags":[996,216,999,997,998,1000],"yoast_head":"\n
Kajian Aswaja: Apa Sih Yang Dimaksud Bid'ah Dalam Hadits Rasulullah SAW? - Pecihitam.org<\/title>\n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n\t \n\t \n\t \n \n \n \n\t \n\t \n\t \n