Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831
{"id":16230,"date":"2019-10-22T16:37:25","date_gmt":"2019-10-22T09:37:25","guid":{"rendered":"https:\/\/pecihitam.org\/?p=16230"},"modified":"2019-10-22T16:37:26","modified_gmt":"2019-10-22T09:37:26","slug":"aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/","title":{"rendered":"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara"},"content":{"rendered":"\n

Pecihitam.org<\/strong> – Akekahan berasal dari bahasa Arab \u201c’aqiqah\u201d yang memiliki beberapa makna. Di antaranya bermakna rambut kepala bayi yang telah tumbuh ketika lahir, atau hewan sembelihan yang ditujukan bagi peringatan dicukurnya rambut seorang bayi.<\/p>\n\n\n\n

Bila bayi itu laki-laki, maka hewan sembelihannya berupa dua\nekor kambing. Bila perempuan, maka cukup dengan seekor kambing saja. Selain\nitu, aqikah juga dapat bermakna sebuah upacara peringatan atas dicukurnya\nrambut seorang bayi.<\/p>\n\n\n\n

Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir yang kemudian darahnya dioleskan kepada kepala si bayi.<\/p>\n\n\n\n

Setelah Islam datang, kemudian praktik tersebut diubah\ndengan mengolesi kepala si bayi dengan minyak. Akikah dalam Islam juga tidak\nmembedakan bayi laki-laki dan perempuan. Tidak sebagaimana tradisi Arab pra Islam\nyang hanya mengkhususkan aqikah bagi bayi laki-laki. (Nasarudin Umar, 2002: 98).<\/p>\n\n\n\n

Secara umum, hewan (kambing) yang akan disembelih dalam\nacara akikah tidak jauh berbeda dari berkurban di hari raya idul adha. Baik\ndari jenis, usia hewan, tidak cacat, niat dalam penyembelihan hewan serta\nmenyedekahkan daging (yang telah masak) ke sejumlah fakir miskin.<\/p>\n\n\n\n

Hukum Pelaksanaan Aqiqah <\/strong><\/h4>\n\n\n\n

Hukum pelaksanaan aqiqah dalam islam<\/a><\/strong> ialah berdasarkan hadits dari Samrah bin Jundab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda;<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetiap anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang saleh dengan ditebus oleh binatang yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya. Kemudian dicukur dan diberi nama yang baik. (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah dan An-Nasai).<\/p>\n\n\n\n

Dalam memahami hadits tersebut, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melaksanakan akikah. Sebagian dari mazhab Az-Zahiri berpendapat bahwa hukum melaksanakan akikah adalah wajib.<\/p>\n\n\n\n

Sedangkan menurut mayoritas ulama hukumnya sunah. Sementara menurut Abu Hanifah hukum akikah bukan wajib dan juga bukan sunnah, melainkah hanya mubah (dibolehkan). (Ibn Rushdi, 2008: 187)<\/p>\n\n\n\n

Munculnya perbedaan pendapat mengenai hukum akikah ini\nmenurut Ibn Rushdi dalam karyanya berjudul Bidayatul Mujtahid adalah karena\nperbedaan dalam memahami hadits yang menerangkan masalah aqiqah, yaitu bahwa\nsecara tekstual hadits riwayat Samrah yang menunjukkan bahwa aqiqah adalah\nwajib. (Ibn Rushdi, 188)<\/p>\n\n\n\n

Dalam pelaksanaan akikah, para ulama berbeda pendapat\nmengenai kapan akikah dilangsungkan. Sejumlah ulama menyatakan bahwa akikah\ndilaksanakan sebelum hari ketujuh setelah kelahiran si bayi. <\/p>\n\n\n\n

Imam Syafi\u2019i sendiri berpendapat bahwa aqiqah boleh dilaksanakan baik sebelum maupun sesudah hari ketujuh kelahiran si bayi sampai dia aqil baligh. Pada acara aqiqah ini, dianjurkan pula untuk memberi nama si bayi. (Zainudin Ali Al-Malaybari<\/a><\/strong>, 382).<\/p>\n\n\n\n

Secara sistematis, prosesi akikah dilihat dari kadar\nkemampuan orang tua si bayi dalam pelaksanaannya terbagi menjadi lima tahapan\nsecara berurutan:<\/p>\n\n\n\n

  1. Jika di hari pertama\nkelahiran si bayi sampai hari ketujuh orang tua si bayi mampu secara ekonomi\nuntuk melaksanakan aqiqah, maka sebaiknya segera dilaksananakan. Namun, jika\nsampai hari ketujuh belum mampu, maka boleh dilaksanakan sampai masa nifas ibu\nbayi selesai, yakni dalam masa 60 hari.<\/li>
  2. Jika setelah ibu bayi\nselesai nifas dan belum mampu melaksanakan akikah, maka akikah boleh\ndilaksanakan hingga berakhirnya masa menyusui (radha\u2019ah), yakni usia 2 tahun.<\/li>
  3. Jika sampai pada masa\nmenyusui masih juga belum mampu melaksanakan akikah, maka dianjurkan agar\nakikah dilaksanakan hingga anak berusia 7 tahun.<\/li>
  4. Jika sampai berusia 7 tahun\ndan belum mampu melaksanakan akikah maka dipersilakan beraqiqah sampai anak\nberusia sebelum baligh.<\/li>
  5. Jika sampai berusia baligh\ndan orang tua tidak mampu melaksanakan akikah, maka si anak dipersilakan untuk\nmelakukan akikah untuk dirinya sendiri.(KH. Muhammad Solikin, 2010: 147-148)<\/li><\/ol>\n\n\n\n

    Aqiqah di Indonesia <\/strong><\/h4>\n\n\n\n

    Pada dasarnya, akikah adalah bagian dari ajaran Islam. Meski\ndemikian, tradisi akikahan yang berlangsung di Indonesia memiliki keunikan\ntersendiri. Hal ini sebagaimana yang terjadi, misalnya di suku Bugis Makassar.<\/p>\n\n\n\n

    Syukuran akikahan di daerah tersebut sangat kental dengan\nmakna penyelamatan lingkungan dan pesan moral agar melihat dalam perspektif\njangka panjang sampai lintas generasi. Bukan berpikir secara instan sehingga\nkelahiran sebuah generasi tidak merusak atau membebani alam sekitar sekaligus\nmenjaga tradisi gotong royong dan memelihara kekerabatan.<\/p>\n\n\n\n

    Prosesi syukuran akikahan di Makassar terlihat perbedaan\npersyaratan bagi bayi yang masih keluarga bangsawan dengan gelar; karaeng,\nandi, atau daeng, dengan masyarakat biasa. Sebagai anak yang masih memiliki\ndarah bangsawan suku Makassar, ia diwajibkan untuk menyediakan 29 bibit kelapa.<\/p>\n\n\n\n

    Dalam acara akikahan tersebut, bibit kelapa dihias dengan\nindah dan ditaruh dalam kamar bayi. Beras yang ditaruh dalam baskom juga dihias\ndengan bentuk kepala manusia.<\/p>\n\n\n\n

    Penanaman kelapa ini merupakan upaya agar bayi yang baru\nlahir telah dipersiapkan sebagian dari kehutuhan hidupnya. Kelapa, buah yang\nbermanfaat dari akar sampai ujung daun tersebut akan berbuah ketika bayi sudah\nmenginjak remaja yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidupnya. <\/p>\n\n\n\n

    Terdapat pesan moral yang penting bahwa segala sesuatu telah\ndipersiapkan bagi kehidupan bayi dalam perspektif jangka panjang dan tidak\nmerusak alam.<\/p>\n\n\n\n

    Selain itu disediakan pula sebuah kelapa muda yang dibuka\ndan airnya digunakan untuk membasahi gunting guna memotong rambut sang bayi.\nKelapa muda melambangkan sebuah kesegaran, kemudaan, dan kesehatan yang\ndiharapkan selalu menyertai kehidupan anak yang dilahirkan tersebut. Sebelas\nlilin kecil merupakan simbol agar kehidupannya selalu diliputi jalan terang.<\/p>\n\n\n\n

    Dua potong gula merah juga disediakan sebagai simbolisasi\nagar kehidupan anak tersebut selalu manis, menyenangkan, dan penuh kegembiraan.\nDitambah pula dengan dua buah pala yang berisi pengharapan agar bayi tersebut\nbisa bermanfaat bagi orang lain. Ia akan selalu ada ketika orang lain\nmembutuhkannya.<\/p>\n\n\n\n

    Tak ketinggalan, sebuah tasbih dengan sebuah cincin emas\nyang dicelupkan ke air kemudian disentuhkan di dahi menunjukkan agar ajaran\nagama selalu menjadi pegangan dalam seluruh kehidupannya. Untuk menambah\nsuasana, dinyalakan pula dupa untuk wewangian dalam prosesi potong rambut bayi\nyang dilakukan oleh dukun bayi terlatih yang telah membantu merawat bayi.<\/p>\n\n\n\n

    Bagi dukun bayi, mereka diberi sedekah berupa 12 macam jenis\nkue yang ditaruh dalam satu nampan, 8 liter beras dan uang 20 ribu rupiah yang\ndibawa pulang setelah prosesi tersebut selesai. Ari-ari yang merupakan bagian\ntubuh bayi saat dilahirkan menjadi bagian penting. Setelah dicuci, ari-ari\ntersebut ditanam dengan harapan agar bayi tersebut selalu ingat akan kampung\nhalaman dimana ia dilahirkan.<\/p>\n\n\n\n

    Pembacaan syair al-barzanji juga umum diselenggarakan pada\nmalam aqiqahan. Pada acara tersebut rambut bayi dipotong dan ada pula pembagian\nminyak wangi kepada jamaah yang membacakan syair-syair pujian kepada\nRasulullah.<\/p>\n\n\n\n

    Pembacaan barzanji ini bentuk upacaranya mirip marhabanan\n(perayaan mauludan memperingati kelahiran Nabi). Ketika para peserta dan\nundangan melanunkan marhaban atau saat mahallul qiyam (berdiri) sang ayah dari\nsi bayi ini membawa si bayi ke tengah-tengah peserta, diikuti seorang lain yang\nmembantu membawakan baki berisi bunga, wewangian, dan gunting.<\/p>\n\n\n\n

    Tamu yang paling dihormati mengawali secara simbolis dengan\nmencukur beberapa helai rambut bayi, kemudian ayah membawa bayi ke tamu lain\nsecara bergilir satu per satu, dan masing-masing tamu bergiliran mencukur\nsecara simbolis saja.<\/p>\n\n\n\n

    Sementara pembawa wewangian bertugas mengusapkan wewangian\nke tangan orang yang baru mendapat giliran. Bila semua sudah mendapatkan giliran,\nbayi dikembalikan ke kamar tidur. (Muhaimin, 206)<\/p>\n\n\n\n

    Menurut Martin, teks keagamaan yang paling populer di\nseluruh Nusantara, yang hanya kalah populer dengan al-Qur\u2019an, adalah karya yang\ndikenal sebagai barzanji. Sebuah kitab maulid yang dibaca oleh masyarakat\nNusantara tidak hanya di sekitar tanggal 12 Rabi\u2019 al-Awwal, hari kelahiran Nabi\nMuhammad SAW., tetapi juga pada banyak upacara yang lain.<\/p>\n\n\n\n

    Seperti halnya pembacaan al-Barzanji pada berbagai upacara\nyang mengikuti daur kehidupan manusia seperti pemotongan rambut seorang bayi\nuntuk pertama kalinya (aqiqah), dalam situasi krisis, sebagai bagian dari\nritual untuk mengusir setan, atau secara rutin dijadikan sebagai bagian dari\nwiridan berjamaah yang dilakukan secara rutin. (Martin, 2015: 22) <\/p>\n\n\n\n

    Berbeda dari tradisi akikah di Bugis, tradisi aqiqah yang\nberkembang di Minangkabau. Dalam prosesi aqiqah di Minangkabau daging kambing\ndimasak tanpa meninggalkan santan, cabe merah dan bumbu-bumbu lainnya.<\/p>\n\n\n\n

    Proses memasak kambing akikah sekarang kebanyakan diserahkan\nkepada restoran atau mereka yang spesial memasakan daging akikah. Setelah masak\ngulai kambing yang berkuah kental dan lezat itu disedekahkan. Tapi keluarga\nyang punya hajat juga boleh menikmatinya.<\/p>\n\n\n\n

    Dipimpin Ustadz atau guru mengaji prosesi di mulai dengan\nmembaca ayat-ayat al-Qur\u2019an. Diikuti oleh doa-doa keselamatan bagi sang anak.\nHarapannya, Insya Allah anak akan tumbuh jadi pribadi saleh shalehah, terhindar\ndari gangguan setan dan binatang buas. Juga agar dijaga dirinya dari segala\npandangan yang akan merusak kehidupannya kelak.<\/p>\n\n\n\n

    Dari segi perlengkapan prosesi akikah terlihat kelapa muda\nberhias bunga-bunga, madu, gula, garam dan cabei. Kegunaan kelapa berair ini\nuntuk merendam potongan rambut sang anak. Pelan Pak Ustad memasukan tiap rambut\nyang di potongnya ke dalam kelapa. Harapannya agar kelak jika menghadapi masalah\nanak tetap berkepala dingin.<\/p>\n\n\n\n

    Selesai memotong rambut, sekarang Pak Ustad memipil cabe dan\nbumbu-bumbu yang terdapat disitu ke bibir sayang bayi. Ini adalah simbolisasi\ndari kehidupan yang akan dijalaninya kelak. Bahwa hidup tak selalu manis. Ada\nyang pahit, asin dan pedas.<\/p>\n\n\n\n

    Penggolongan sosial pun kelihatan di dalam kegiatan-kegiatan\nritual, tak terkecuali prosesi akikah. Bagi orang kaya, kemewahan acara ini\nsangat kentara. Jika anak yang dilahirkan adalah anak laki-laki, maka mereka\nakan menyembelih dua kambing, tetapi jika yang lahir adalah anak perempuan,\nmaka cukup dengan menyembelih satu ekor kambing.<\/p>\n\n\n\n

    Pemotongan tulang kambing pun diperhitungkan, misalnya\nseluruh bagian kaki kambing tidak boleh dipotong. Pemotongan hanya dilakukan di\nbagian sendi-sendirnya saja. Konon katanya, jika tulang-tulang kambing itu\ndipotong secara sembarangan maka akan berdampak penyakit linu kelak di kemudian\nhari.<\/p>\n\n\n\n

    Pada acara seperti ini, kerabat-kerabat dekat pun\nberdatangan untuk membantu pelaksanaan ritual. Kesan kemewahan juga tampak di\ndalam berkat yang dibawa pulang oleh peserta upacara. Erek (wadah nasi) terbuat\ndari plastik yang berkualitas bagus, jajan atau kue-kue dan buah-buahan yang\ndisajikan juga berkualitas. (Nur Syam, 173)<\/p>\n\n\n\n

    Dari prosesi akikah ini terlihat jelas hubungan antara Islam\ndan tradisi lokal terjalin berkelindan. Islam tidak menegasikan tradisi.\nSebaliknya tradisi tidak menafikan ajaran Islam. Keduanya saling melengkapi. <\/p>\n\n\n\n

    Dengan sifatnya yang elastis dan fleksibel tersebut, maka\nsangatlah wajar bilamana ekspresi keberislaman antara satu daerah dengan daerah\nlain memiliki perbedaan. Sebab budaya dan tradisi suatu tempat tidak mesti sama\ndengan tradisi dan di tempat lain.<\/p>\n\n\n\n

    Oleh karena itu, dalam memahami keberislaman masyarakat di\nNusantara misalnya, tidaklah tepat untuk kemudian dibandingkan dengan model\nkeberislaman masyarakat Arab. Apalagi menganggap bahwa Islam Arab adalah Islam\nmurni dan Islam Nusantara adalah Islam pinggiran. Hal demikan adalah salah\nbesar.<\/p>\n\n\n\n

    Aqiqah di Era Modern <\/strong><\/h4>\n\n\n\n

    Di tengah arus modernisasi, prosesi akikah juga mengalami\nsedikit banyak perubahan. Terutama dalam proses penyembelihan hewan yang hendak\ndijadikan akikah. Sejumlah penyedia jasa, sudah melihat adanya prospek bisnis\ndalam prosesi aqiqah.<\/p>\n\n\n\n

    Para penyedia jasa menyediakan hewan sembelihan akikah\nsekaligus siap untuk membagikan dagingnya. Munculnya penyedia jasa seperti ini\ndi satu sisi mempermudah orang yang hendak mengakikahkan putra-putrinya.<\/p>\n\n\n\n

    Di sisi lain, hal ini pada gilirannya menghilangkan sejumlah\nprosesi dalam tradisi akikah yang telah mengakar di masyarakat seperti tradisi\nbarzanjian dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

    Sumber : Ensiklopedia Islam Nusantara (Edisi Budaya)<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

    Pecihitam.org – Akekahan berasal dari bahasa Arab \u201c’aqiqah\u201d yang memiliki beberapa makna. Di antaranya bermakna rambut kepala bayi yang telah tumbuh ketika lahir, atau hewan sembelihan yang ditujukan bagi peringatan dicukurnya rambut seorang bayi. Bila bayi itu laki-laki, maka hewan sembelihannya berupa dua ekor kambing. Bila perempuan, maka cukup dengan seekor kambing saja. Selain itu, […]<\/p>\n","protected":false},"author":14,"featured_media":16231,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[6],"tags":[2259,5571,5570],"yoast_head":"\nAqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara - Pecihitam.org<\/title>\n<meta name=\"description\" content=\"Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir\" \/>\n<meta name=\"robots\" content=\"index, follow, max-snippet:-1, max-image-preview:large, max-video-preview:-1\" \/>\n<link rel=\"canonical\" href=\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\" \/>\n<meta property=\"og:locale\" content=\"en_US\" \/>\n<meta property=\"og:type\" content=\"article\" \/>\n<meta property=\"og:title\" content=\"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara - Pecihitam.org\" \/>\n<meta property=\"og:description\" content=\"Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir\" \/>\n<meta property=\"og:url\" content=\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\" \/>\n<meta property=\"og:site_name\" content=\"Pecihitam.org\" \/>\n<meta property=\"article:publisher\" content=\"https:\/\/www.facebook.com\/newpecihitam\/\" \/>\n<meta property=\"article:published_time\" content=\"2019-10-22T09:37:25+00:00\" \/>\n<meta property=\"article:modified_time\" content=\"2019-10-22T09:37:26+00:00\" \/>\n<meta property=\"og:image\" content=\"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg\" \/>\n\t<meta property=\"og:image:width\" content=\"1024\" \/>\n\t<meta property=\"og:image:height\" content=\"603\" \/>\n\t<meta property=\"og:image:type\" content=\"image\/jpeg\" \/>\n<meta name=\"author\" content=\"Arif Rahman Hakim\" \/>\n<meta name=\"twitter:card\" content=\"summary_large_image\" \/>\n<meta name=\"twitter:label1\" content=\"Written by\" \/>\n\t<meta name=\"twitter:data1\" content=\"Arif Rahman Hakim\" \/>\n\t<meta name=\"twitter:label2\" content=\"Est. reading time\" \/>\n\t<meta name=\"twitter:data2\" content=\"8 minutes\" \/>\n<script type=\"application\/ld+json\" class=\"yoast-schema-graph\">{\"@context\":\"https:\/\/schema.org\",\"@graph\":[{\"@type\":\"Article\",\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#article\",\"isPartOf\":{\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\"},\"author\":{\"name\":\"Arif Rahman Hakim\",\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/person\/26f584cb333202a9193dd34cb3c1cc9b\"},\"headline\":\"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara\",\"datePublished\":\"2019-10-22T09:37:25+00:00\",\"dateModified\":\"2019-10-22T09:37:26+00:00\",\"mainEntityOfPage\":{\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\"},\"wordCount\":1687,\"commentCount\":0,\"publisher\":{\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#organization\"},\"image\":{\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage\"},\"thumbnailUrl\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg\",\"keywords\":[\"aqiqah\",\"budaya aqiqah\",\"sejarah aqiqah\"],\"articleSection\":[\"Khazanah\"],\"inLanguage\":\"en-US\",\"potentialAction\":[{\"@type\":\"CommentAction\",\"name\":\"Comment\",\"target\":[\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#respond\"]}]},{\"@type\":\"WebPage\",\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\",\"url\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\",\"name\":\"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara - Pecihitam.org\",\"isPartOf\":{\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#website\"},\"primaryImageOfPage\":{\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage\"},\"image\":{\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage\"},\"thumbnailUrl\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg\",\"datePublished\":\"2019-10-22T09:37:25+00:00\",\"dateModified\":\"2019-10-22T09:37:26+00:00\",\"description\":\"Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir\",\"breadcrumb\":{\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#breadcrumb\"},\"inLanguage\":\"en-US\",\"potentialAction\":[{\"@type\":\"ReadAction\",\"target\":[\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/\"]}]},{\"@type\":\"ImageObject\",\"inLanguage\":\"en-US\",\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage\",\"url\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg\",\"contentUrl\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg\",\"width\":1024,\"height\":603,\"caption\":\"aqiqah\"},{\"@type\":\"BreadcrumbList\",\"@id\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#breadcrumb\",\"itemListElement\":[{\"@type\":\"ListItem\",\"position\":1,\"name\":\"Home\",\"item\":\"https:\/\/pecihitam.org\/\"},{\"@type\":\"ListItem\",\"position\":2,\"name\":\"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara\"}]},{\"@type\":\"WebSite\",\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#website\",\"url\":\"https:\/\/pecihitam.org\/\",\"name\":\"Pecihitam.org\",\"description\":\"Suara Islam Ahlussunnah wal Jamaah\",\"publisher\":{\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#organization\"},\"potentialAction\":[{\"@type\":\"SearchAction\",\"target\":{\"@type\":\"EntryPoint\",\"urlTemplate\":\"https:\/\/pecihitam.org\/?s={search_term_string}\"},\"query-input\":\"required name=search_term_string\"}],\"inLanguage\":\"en-US\"},{\"@type\":\"Organization\",\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#organization\",\"name\":\"Pecihitam.org\",\"url\":\"https:\/\/pecihitam.org\/\",\"logo\":{\"@type\":\"ImageObject\",\"inLanguage\":\"en-US\",\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/logo\/image\/\",\"url\":\"https:\/\/pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2020\/07\/Logo-Pecihitam.org_.png\",\"contentUrl\":\"https:\/\/pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2020\/07\/Logo-Pecihitam.org_.png\",\"width\":2401,\"height\":2401,\"caption\":\"Pecihitam.org\"},\"image\":{\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/logo\/image\/\"},\"sameAs\":[\"https:\/\/www.facebook.com\/newpecihitam\/\",\"https:\/\/www.instagram.com\/pecihitam_org\/\",\"https:\/\/id.pinterest.com\/pecihitam_org\/\",\"https:\/\/www.youtube.com\/channel\/UCVZO49u3U4iibd-X7MmqBcQ\"]},{\"@type\":\"Person\",\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/person\/26f584cb333202a9193dd34cb3c1cc9b\",\"name\":\"Arif Rahman Hakim\",\"image\":{\"@type\":\"ImageObject\",\"inLanguage\":\"en-US\",\"@id\":\"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/person\/image\/\",\"url\":\"https:\/\/secure.gravatar.com\/avatar\/880beb33481817e1ff908f6602d7ec85?s=96&r=g\",\"contentUrl\":\"https:\/\/secure.gravatar.com\/avatar\/880beb33481817e1ff908f6602d7ec85?s=96&r=g\",\"caption\":\"Arif Rahman Hakim\"},\"description\":\"Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017\",\"url\":\"https:\/\/www.pecihitam.org\/author\/ariefhakim\/\"}]}<\/script>\n<!-- \/ Yoast SEO plugin. -->","yoast_head_json":{"title":"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara - Pecihitam.org","description":"Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir","robots":{"index":"index","follow":"follow","max-snippet":"max-snippet:-1","max-image-preview":"max-image-preview:large","max-video-preview":"max-video-preview:-1"},"canonical":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/","og_locale":"en_US","og_type":"article","og_title":"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara - Pecihitam.org","og_description":"Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir","og_url":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/","og_site_name":"Pecihitam.org","article_publisher":"https:\/\/www.facebook.com\/newpecihitam\/","article_published_time":"2019-10-22T09:37:25+00:00","article_modified_time":"2019-10-22T09:37:26+00:00","og_image":[{"width":1024,"height":603,"url":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg","type":"image\/jpeg"}],"author":"Arif Rahman Hakim","twitter_card":"summary_large_image","twitter_misc":{"Written by":"Arif Rahman Hakim","Est. reading time":"8 minutes"},"schema":{"@context":"https:\/\/schema.org","@graph":[{"@type":"Article","@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#article","isPartOf":{"@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/"},"author":{"name":"Arif Rahman Hakim","@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/person\/26f584cb333202a9193dd34cb3c1cc9b"},"headline":"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara","datePublished":"2019-10-22T09:37:25+00:00","dateModified":"2019-10-22T09:37:26+00:00","mainEntityOfPage":{"@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/"},"wordCount":1687,"commentCount":0,"publisher":{"@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#organization"},"image":{"@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage"},"thumbnailUrl":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg","keywords":["aqiqah","budaya aqiqah","sejarah aqiqah"],"articleSection":["Khazanah"],"inLanguage":"en-US","potentialAction":[{"@type":"CommentAction","name":"Comment","target":["https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#respond"]}]},{"@type":"WebPage","@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/","url":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/","name":"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara - Pecihitam.org","isPartOf":{"@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#website"},"primaryImageOfPage":{"@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage"},"image":{"@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage"},"thumbnailUrl":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg","datePublished":"2019-10-22T09:37:25+00:00","dateModified":"2019-10-22T09:37:26+00:00","description":"Dalam sejarahnya, tradisi aqiqah merupakan warisan dari tradisi Arab pra Islam yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kambing pada saat bayi lahir","breadcrumb":{"@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#breadcrumb"},"inLanguage":"en-US","potentialAction":[{"@type":"ReadAction","target":["https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/"]}]},{"@type":"ImageObject","inLanguage":"en-US","@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#primaryimage","url":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg","contentUrl":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2019\/10\/aqiqah.jpg","width":1024,"height":603,"caption":"aqiqah"},{"@type":"BreadcrumbList","@id":"https:\/\/www.pecihitam.org\/aqiqah-sejarah-akulturasi-budaya-arab-hingga-islam-nusantara\/#breadcrumb","itemListElement":[{"@type":"ListItem","position":1,"name":"Home","item":"https:\/\/pecihitam.org\/"},{"@type":"ListItem","position":2,"name":"Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara"}]},{"@type":"WebSite","@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#website","url":"https:\/\/pecihitam.org\/","name":"Pecihitam.org","description":"Suara Islam Ahlussunnah wal Jamaah","publisher":{"@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#organization"},"potentialAction":[{"@type":"SearchAction","target":{"@type":"EntryPoint","urlTemplate":"https:\/\/pecihitam.org\/?s={search_term_string}"},"query-input":"required name=search_term_string"}],"inLanguage":"en-US"},{"@type":"Organization","@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#organization","name":"Pecihitam.org","url":"https:\/\/pecihitam.org\/","logo":{"@type":"ImageObject","inLanguage":"en-US","@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/logo\/image\/","url":"https:\/\/pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2020\/07\/Logo-Pecihitam.org_.png","contentUrl":"https:\/\/pecihitam.org\/wp-content\/uploads\/2020\/07\/Logo-Pecihitam.org_.png","width":2401,"height":2401,"caption":"Pecihitam.org"},"image":{"@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/logo\/image\/"},"sameAs":["https:\/\/www.facebook.com\/newpecihitam\/","https:\/\/www.instagram.com\/pecihitam_org\/","https:\/\/id.pinterest.com\/pecihitam_org\/","https:\/\/www.youtube.com\/channel\/UCVZO49u3U4iibd-X7MmqBcQ"]},{"@type":"Person","@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/person\/26f584cb333202a9193dd34cb3c1cc9b","name":"Arif Rahman Hakim","image":{"@type":"ImageObject","inLanguage":"en-US","@id":"https:\/\/pecihitam.org\/#\/schema\/person\/image\/","url":"https:\/\/secure.gravatar.com\/avatar\/880beb33481817e1ff908f6602d7ec85?s=96&r=g","contentUrl":"https:\/\/secure.gravatar.com\/avatar\/880beb33481817e1ff908f6602d7ec85?s=96&r=g","caption":"Arif Rahman Hakim"},"description":"Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017","url":"https:\/\/www.pecihitam.org\/author\/ariefhakim\/"}]}},"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/16230"}],"collection":[{"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/users\/14"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=16230"}],"version-history":[{"count":0,"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/16230\/revisions"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/media\/16231"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=16230"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=16230"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.pecihitam.org\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=16230"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}