Pecihitam.org<\/strong> – Terkadang beberapa pasangan suami istri yang baru melangsungkan pernikahan ada beberapa mungkin budaya yang mana nama istri kemudian ditambahi dengan nama suami.<\/p>\n\n\n\n Banyak yang berbeda pendapat tentang menambah nama suami di belakang nama seorang perempuan (istri), bahkan tak jarang yang mengharamkannya. Dan hal tersebut dianggap berdosa seorang muslimah yang mencantumkan nama suami atau keluarga besar suaminya di belakang namanya.<\/p>\n\n\n\n Menurut pelarangan mereka, karena biasanya dianggap sebagai bentuk intisab sebagaimana dalam sebuah hadits yaitu menisbatkan diri kepada orang lain bukan bernasab kepada ayah sesungguhnya.<\/p>\n\n\n\n Tentunya, sebenarnya tak ada sama sekali relevansinya. Dalil intisab itu isinya melarang untuk berintisab (menasabkan diri) kepada orang selain ayahnya.<\/p>\n\n\n\n Misalnya mengaku anak zaid padahal bukan, memasang kata \u201cbin umar\u201d padahal bukan anaknya umar. Menjaga kemurnian nasab (hifdhun Nasab) merupakan salah satu tujuan primer hukum islam.<\/p>\n\n\n\n Pencantuman nama orang tua di belakang nama anak biasanya dipakai untuk sejumlah kepentingan. Salah satunya pencantuman nama itu dimaksudkan untuk penegasan nasab<\/a><\/strong> atau hubungan biologis.<\/p>\n\n\n\n Kemudian setelah ini dipahami, sekarang kita lihat saja tradisi sebagian daerah dalam menambah nama suami di belakang nama istri. Apakah maksudnya si istri menasabkan diri pada suami (mengaku sebagai anaknya suami atau anak leluhur suami) atau hanya memperkenalkan dirinya sebagai istrinya suami atau bagian dari keluarga besar suami?<\/p>\n\n\n\n Jawabannya tentu yang kedua. Sama sekali tak ada yang bermaksud menasabkan diri ke suami atau leluhur suami. Itu hanya bagian adat istiadat untuk menandai seseorang wanita masuk dalam keluarga besar siapa.<\/p>\n\n\n\n