PeciHitam.org<\/strong> \u2013 Di Indonesia sekarang ini, pegadaian merupakan salah satu alternatif demi memulai sesuatu hal yang baru. Contoh yang sering kita lihat, seperti membuka usaha baru dengan menggadaikan barang berharganya dengan harapan modal yang didapat dari menggadaikan barang itu bisa dikembangkan dan mengambil barang itu lagi kelak di pegadaian. Bagaimana hukum pegadaian dalam Islam?<\/p>\n Adapun sebuah hadits terkait gadai, sebagai berikut:<\/p>\n “Sesungguhnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya,” (Hr. Al-Bukhari no.2513 dan Muslim no. 1603). (Al-jumi’u Al-Sahihu Muslim,tt, hlm 87)<\/em><\/p>\n Maksud dan tujuan hadis di atas secara jelas menggambarkan fakta sejarah bahwa pada zaman Rasulullah SAW gadai telah dipraktikkan secara luas. Hadits ini menegaskan Rasululah SAW pernah melakukan utang piutang dengan yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besinya sebagai penguat kepercayaan transaksi tersebut.<\/p>\n Gadai (rahn) sendiri secara bahasa artinya tetap dan lestari, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama’ dengan ungkapan, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.<\/p>\n Perihal hukum pegadaian dalam Islam, ada sebuah buku yang menjabarkan secara luas lagi perihal hadits nabi diatas:<\/p>\n “Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila sipeminjam tidak mampu melunasi utangnya”. (Muhammad Shalihul Hadi, penggadaian Syaria\u2019ah, Jakarta: Salembang Diniah, 2003, hal.50.)<\/p>\n Adapun beberapa rukun dan syarat dalam melakukan gadai. Rukun ar-Rahn (Gadai), mayoritas ulama’ memandang bahwa rukun ar-Rahn (gadai) ada empat, yaitu: Ar-Rahn atau al-Marhun (barang yang digadaikan), Al-Marhun bih (utang), aqidain, dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang), Shigat ijab qabul.<\/p>\n Sedangkan Madzhab Hanafiyah memandang ar-Rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu sighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.<\/p>\n Agar terpenuhi rukun, maka diperukan syarat dalam pemenuhannya, yaitu: syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur). Syarat yang berhubungan dengan al-Marhun (barang gadai) yaitu:<\/p>\n 1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.<\/p>\n 2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikan sebagai jaminan gadai.<\/p>\n 3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-Rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.<\/p>\n Syarat yang terkait dengan shighat ijab qabul: ucapan serah terima disyaratkan: harus ada kesinambungan antara ucapan penyerah (ijab) dan ucapan penerima. Apa yang diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.<\/p>\n Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:<\/p>\n