Pecihitam.org<\/strong> – Jika pada kajian sebelumnya telah kita pahami bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari diri Rasul beserta semua peninggalan beliau dari baju, sandal, piring, gelas, cincin, tongkat hingga mimbar dan kubur Rasul pasca wafat beliau, kini kita akan melihat apakah hanya Nabi saja yang boleh ditabarruki ataukah mencakup para sahabat dan para manusia saleh lain pun boleh diambil berkahnya?<\/p>\n Baca juga: Betulkah Tabarruk Merupakan Perbuatan Bid\u2019ah atau Syirik, Seperti Tuduhan Minhum?<\/a><\/p>\n Pertama-tama, kita akan melihat beberapa teks tentang; apakah diperbolehkan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi\u2019in, Tabi\u2019 Tabi\u2019in dan para manusia saleh dan bertakwa pasca masa mereka?<\/p>\n Kita di sini akan melihat beberapa teks yang membuktikan bahwa para sahabat satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita tahu bahwa, menurut Ahlusunah wal Jamaah, semua sahabat adalah Salaf Saleh yang layak ditiru dan diikuti.<\/p>\n Baca juga<\/strong>: Begini Para Salaf As-Sholih Bertabarruk Terhadap Pribadi Rasulullah<\/a><\/p>\n 1. Imam an-Nawawi dalam kitab \u201cal-Majmu\u2019 Syarh al-Muhadzab\u201d (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo\u2019 yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah meminta doa hujan melalui Abbas (paman Rasul) dengan menyatakan: \u201cYa Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka tutunkan hujan bagi kami. Kemudian turunlah hujan\u201d. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar\u2019ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang sahih).<\/p>\n 2. Dalam kitab yang sama (seperti pada poin no 1 di atas) disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: \u201cYa Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad.<\/p>\n Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Lantas ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada disekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing\u201d.<\/p>\n 3. Ibnu Hajar dalam kitab \u201cFathul Bari\u201d (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: \u201cDapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi\u201d.<\/p>\n 4. Ibnu Atsir dalam kitab \u201cUsud al-Ghabah\u201d (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: \u201cSewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: \u201cSelamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain\u201d.<\/p>\n Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutamakannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah\u201d.<\/p>\n 5. Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: \u201cAku ingin masuk menjadi bagian dari Rasul\u201d.<\/p>\n 6. As-Samhudi dalam kitab \u201cWafa\u2019 al-Wafa\u2019\u201d (Jilid: 2 Halaman: 448) menyatakan bahwa; \u201c\u201dDahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang berhadapan dengan kubur (Rasul, red). Di situ terdapat pintu Rasul yang didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah).<\/p>\n Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: \u201cTiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini\u201d.<\/p>\n Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan \u201cTempat para Pemimpin\u201d (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)\u201d.<\/p>\n 7. Dalam kitab yang sama (seperti pada poin 6 di atas), as-Samhudi (pada Jilid: 2 Halaman: 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: \u201cPintu rumah Fatimah binti Nabi terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib selalu melewatinya\u201d.<\/p>\n 8. Ibn Sa\u2019ad dalam kitab \u201cat-Thabaqoot al-Kubra\u201d (jilid: 5 Halaman: 107) menukil riwayat yang menyatakan: \u201cSewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi\u2019 yang sedang menggali sumur. Lantas ia berkata kepada Husein: \u201cAku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikitpun. Jika engkau berkenan untuk mendoakan kami kepada Allah dengan berkah\u201d. Lantas Husein berkata: \u201cBerikan sedikit air yang kau punya!\u201d. Kemudian diberikan kepadanya air lantas ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi lantas mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi memancarkan air dengan melimpah\u201d .<\/p>\n 9. Ibnu Hajar dalam kitab \u201cas-Showa\u2019iq al-Muhriqoh\u201d (Halaman: 310 pasal ke-3 tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: \u201cKetika ar-Ridho (salah seorang keturunan Rasul, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Lantas ia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga menciumi tanah bekas jelannya kendaraannya\u2026\u201d. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab \u201cNur al-Abshar\u201d Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)<\/p>\n Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah bertabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan dibanding yang lain. Ini sebagai bukti bahwa mengambil berkah dari orang-orang saleh dan dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Saleh (sahabat) telah melakukannya.<\/p>\n