Pecihitam.org<\/strong> – Akhir-akhir ini Islam Nusantara<\/strong> menjadi wacana Publik. Tak hanya di Kalangan warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia ikut memperbincangkannya.<\/p>\n\n\n\n Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara<\/strong> adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh Negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi Negeri ini.<\/p>\n\n\n\n Baca juga<\/strong>: Kaedah Nahwu Islam Nusantara ala Santri Pondok Pesantren As\u2019adiyah Wajo<\/a><\/p>\n\n\n\n Sebagaimana Tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa waktu lalu, Istilah ini memang baru dideklaraasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. <\/p>\n\n\n\n Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyyah. Mengapa di sini ada perlu penyifatan An Nahdliyyah? Jawabannya adalah karena banyak kalangan lain di Luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jamaah (aswaja) tetapi memiliki cara Pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.<\/p>\n\n\n\n Negara Islam di Irak da Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para Mu’assis dan Ulama NU.<\/p>\n\n\n\n Islam Nusantara adalah cara Proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an. Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran dan moderat.<\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyah).<\/p>\n\n\n\n Pemikiran (Fikrah)<\/strong><\/p>\n\n\n\n Pilar pertama ini meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. <\/p>\n\n\n\n Tekstualis yang dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumuud al-manquulaat) sebagaimana yang terjadi pada kaum Salafi Wahabi di dalam memahami text-text Al-Qur’an.<\/p>\n\n\n\n Salah satu pernyataan Imam Al-Qarafi, ulama usul fikih menyatakan, jika “al-jumuud ‘alaa al-manquulaat abadan dalaal fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa Tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam Agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama.<\/p>\n\n\n\n Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.<\/p>\n\n\n\n Gerakan (Harakah)<\/strong><\/p>\n\n\n\n Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugasnya adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk Jam’iyyah dan Jama’ah yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus menerus.<\/p>\n\n\n\n Jadi, Posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al akhdh bl jadid al-ashlah). karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi , mencipta yang terbaik. Prosesnya terus menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap dan kritis.<\/p>\n\n\n\n Tindakan (Amaliyah)<\/strong><\/p>\n\n\n\n Pilar ketiga adalah Amaliyah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdliyyin harus lahir dari dasar pemikiran yag berlandaskan pada ikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliyah yang diperintah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.<\/p>\n\n\n\n Dengan cara demikian, amaliyah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada Tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul Fikih disebut sebagai ‘Urf’ atau ‘adat’ tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari Nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian Inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.<\/p>\n\n\n\nTiga Pilar Islam Nusantara<\/h2>\n\n\n\n
Ciri Islam Nusantara<\/h3>\n\n\n\n