Pecihitam.org- <\/strong>Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 211). Yang terpenting dalam pemberian hibah tersebut adalah dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-anak yang ada. Ini penting, agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. Lalu apa hibah kaitannya dengan warisan.?<\/p>\n\n\n\n Memang, prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW hendaknya bagian mereka disamakan. Kalaupun dibedakan hanya bisa dilakukan jika mereka saling menyetujuinya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pemberian hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagian warisan. Boleh jadi, pola pembagian demikian, oleh sementara pendapat dianggap sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi soal warisan. Di satu sisi menghendaki hukum waris Islam dilaksanakan, namun realisasinya telah ditempuh cara hibah, justru sebelum pewaris meninggal dunia. Apabila kompilasi menegaskan demikian, tampaknya didasari oleh kebiasaan yang dianggap “baik” oleh masyarakat. Karena, bukanlah sesuatu yang aneh, apabila pembagian harta warisan dilakukan, akan menimbulkan penderitaan pihak tertentu, lebih-lebih apabila penyelesaiannya dalam bentuk gugatan di pengadilan. Seperti kata Umar ibn al-Khathth\u00e4b<\/a>: <\/p>\n\n\n\n “Kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga, sehingga\nmereka membuat perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu\nmenyakitkan hati (penderitaan).\u201d <\/em>(lihat muhammad salam madzkur, al-qadla fi al-islam,<\/em>\n(beirut; dar al-nahdlah,tt) hal. 50).<\/p>\n\n\n\n Kadang-kadang hibah diberikan kepada sebagian ahli waris diikuti dengan\nperjanjian bahwa apabila ia sudah menerima hibah dalam jumlah tertentu, ia\nberjanji tidak akan meminta bagian warisan kelak jika si pemberi hibah\nmeninggal. Perjanjian semacam ini disebut dengan pengunduran diri (takharruj). <\/p>\n\n\n\n Takharruj adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli\nwaris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima\nbagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal\ndari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dar harta\npeninggalan yang bakal dibagi-bagikan.<\/p>\n\n\n\n Takharruj merupakan transaksi antara dua pihak atau lebih, satu\npihak menyerahkan sesuatu sebagai pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian warisannya\nsebagai tegenprestasi kepada pihak pertama. Riwayat dari Ibn Abbas menyebutkan:\n“Abd al-Rahman ibn Auf disaat sekaratnya menalak istrinya bernama\nTumadlir al-Asbagh al-Kalbiyah. Setelah ia meninggal dunia dan istrinya dalam\nmasa iddah, Utsman RA membagikan warisan kepadanya beserta tiga istrinya yang lain.\nKemudian mereka mengadakan perdamaian dengannya, yakni sepertiga puluh duanya,\ndengan pembayaran delapan puluh tiga ribu, dikatakan oleh sotu riwayat\n“dinar\u201d dan riwayat lain “dirham.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n Dalam hadis tersebut, 1\/32 (sepertiga puluh dua) adalah sama dengan\n1\/8 dibagi 4, yang waktu itu senilai 83.000 dinar, atau 83,000 dirham. Tumadlir\nmenerima pemberian itu, sebagai tegenprestasi karena ia telah rela tidak ikut menerima\nbagian warisan atau takharruj.<\/p>\n\n\n\n Persoalannya sekarang, perlu diidentifikasi agar jelas, apakah\nhibah yang diberikan seseorang kepada anak-anaknya itu dianggap sebagai warisan\natau hak sebagai hibah biasa. Keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Pertama,\napabila hibah itu diperhitungkan sebagai warisan, sangat tergantung kepada\nkesepakatan anak-anaknya yang lain, atau diperhitungkan menurut sistem\nkewarisan. Karena seperti kata ‘Umar ibn al-Khathth\u00e4b, perdamaian justru lebih\nbaik daripada nantinya harus melibatkan pengadilan. Kedua, apabila pemberian\nitu dinyatakan sebagai hibah saja, maka menurut petunjuk Rasulullah SAW, pembagiannya\nharus rata. Ini ditegaskan oleh tindakan Nabi \u201cjika anak-anakmu yang lain tidak\nengkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali”.<\/p>\n\n\n\n Yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan hibah adalah\npersaksian dua orang saksi, dan dibuktikan dengan bukti autentik. Ini\ndimaksudkan agar di kemudian hari ketika pemberi hibah meninggal dunia, tidak\nada anggota keluarga atau ahli waris yang mempersoalkannya karena ada iktikad\nyang kurang atau tidak terpuji.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga negara Indonesia yang berada di negara asing, dapat\nmembuat surat hibah di hadapan Konsulat atau kedutaan Republik Indonesia\nsetempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal ini (Ps 214\nRHD). Masalah teknis pelaksanaan hibah prinsipnya sama dengan wasiat. Bedanya, hibah\nadalah peralihan kepemilikan dapat dilakukan setelah penerima setuju dan\nmenyatakan penerimaannya, sementara dalam wasiat baru berlaku setelah pewasiat\nmeninggal dunia.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":" Pecihitam.org- Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 211). Yang terpenting dalam pemberian hibah tersebut adalah dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-anak yang ada. Ini penting, agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. Lalu apa hibah kaitannya dengan warisan.? Memang, prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW […]<\/p>\n","protected":false},"author":40,"featured_media":22041,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[1691,3211],"tags":[7014],"yoast_head":"\n