Pecihitam.org<\/strong> – Masih ingatkah anda bagaimana seorang Santri<\/strong> bisa terpilih menjadi Presiden? <\/p>\n\n\n\n

Dua bulan menjelang pergantian abad 21, atau tepatnya 20 Oktober 1999, barangkali menjadi sebuah kejutan besar bagi bangsa Indonesia bahkan masyarakat dunia. <\/p>\n\n\n\n

Hal tersebut juga menjadi kejutan bagi Penulis yang kala itu ikut menyaksikan lewat layar kaca, ketika seorang dari kalangan santri bernama KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur akhirnya terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) yang Ke-4.<\/p>\n\n\n\n

Penulis buku Biografi Gus Dur, Greg Barton, mengisahkan detik-detik terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. <\/p>\n\n\n\n

Beberapa jam sebelum penghitungan suara dimulai, kebanyakan orang menganggap bahwa Megawati akan melaju untuk meraih kemenangan. Sebab pada Pemilu, partai PDI-P yang mengusung Megawati, meraih suara terbanyak.<\/p>\n\n\n\n

Namun kejutan muncul, dimulai ketika Habibie (incumbent) yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) mengumumkan pengunduran dirinya dari calon presiden. Praktis, hanya tersisa Gus Dur dan Megawati.<\/p>\n\n\n\n

Pemilihan presiden, kala itu masih menggunakan sistem pemilihan yang dilakukan oleh anggota MPR. Ketika penghitungan mulai dilakukan, Megawati pada awalnya memimpin, namun perlahan namun pasti, perolehan suara Gus Dur yang disokong kubu Poros Tengah dapat mengimbangi perolehan suara Megawati.<\/p>\n\n\n\n

Bahkan, keadaan menjadi berbalik ketika pada penghitungan akhir Gus Dur mengumpulkan 60 suara lebih banyak. Gus Dur jadi Presiden!
\nDengan diiringi lantunan sholawat badar, Gus Dur dibantu berdiri dan dibimbing podium untuk disumpah menjadi presiden.<\/p>\n\n\n\n

Pidato Perdana Santri<\/strong><\/h2>\n\n\n\n

Usai diambil sumpah jabatan sebagai Presiden RI, Gus Dur menyampaikan pidato pertamanya. <\/p>\n\n\n\n

Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan komitmennya untuk menegakkan keadilan dan untuk mendatangkan kemakmuran bagi sebanyak mungkin warga masyarakat.<\/p>\n\n\n\n

Selain itu, yang tak kalah penting untuk mempertahankan keutuhan wilayah bangsa. \u201cKarena itu, kita tetap tidak bisa menerima adanya campur tangan dari negara lain atau bangsa lain kepada bangsa dan negara kita. Apa pun akan kita lakukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah kita, untuk mempertahankan harga diri kita sebagai bangsa yang berdaulat!\u201d Tegas Gus Dur.<\/p>\n\n\n\n

\u201cDemikian pula kita harus meletakkan sendi-sendi kehidupan yang sentosa bagi bangsa kita di masa-masa yang akan datang. Ini bukanlah tugas yang ringan, ini tugas yang berat. Apalagi karena pada saat ini kita tengah didera oleh perbedaan faham yang sangat besar oleh longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai bangsa,\u201d lanjutnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada akhir pidato, Gus Dur berbicara mengenai hakikat demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKarena itu, saya berharap bahwa kita semua sebagai warga dari bangsa Indonesia sanggup memahami hal ini dan akan tetap menjunjung demokrasi sebagai sendi kehidupan kita menuju masa yang akan datang. Hanya dengan cara seperti itu, kita dapat menegakkan kedaulatan hukum, kebebasan berbicara, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama,\u201d pungkas dia.<\/p>\n\n\n\n

Gus Dur mengemban amanah sebagai presiden hingga Juli 2001. Berbagai tudingan miring dan kasus yang dituduhkan kepada dirinya (meski tidak terbukti sampai sekarang), menjadi alasan pencopotan jabatannya sebagai presiden, yang kemudian digantikan wakilnya, Megawati.<\/p>\n\n\n\n

Sumber: Kepustakaan Presiden dan Greg Barton. 2002. Biografi Gus Dur. Yogyakarta. LKiS. via NU Online<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Pecihitam.org – Masih ingatkah anda bagaimana seorang Santri bisa terpilih menjadi Presiden? Dua bulan menjelang pergantian abad 21, atau tepatnya 20 Oktober 1999, barangkali menjadi sebuah kejutan besar bagi bangsa Indonesia bahkan masyarakat dunia. Hal tersebut juga menjadi kejutan bagi Penulis yang kala itu ikut menyaksikan lewat layar kaca, ketika seorang dari kalangan santri bernama […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":2454,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[10],"tags":[762,763,1630,1097],"yoast_head":"\n