Pecihitam.org<\/strong> – Sufisme sebagai praktik spiritual keagamaan biasanya sangat lekat dengan kalangan muslim tradisional ketimbang modernis. Hal ini terjadi lantaran kalangan tradisionalis, baik dari kaum abangan maupun santri, sama-sama merujuk pada khazanah mistik klasik dan tetap dilestarikan hingga sekarang. <\/p>\n\n\n\n Salah satu organisasi keagamaan yang memiliki gerakan sufisme yang khas adalah Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah organisasi tradisional yang di dalamnya pembinaan terhadap ajaran sufisme sangat ditekankan, khususnya ajaran Imam al-Ghazali. <\/p>\n\n\n\n Boleh\ndibilang NU mampu menyelaraskan antara mistik Islam berhaluan Ghazalian dengan\najaran ilmu kalam Asy\u2019ariyah-Maturidiyah, dan dalam hukum menganut salah satu\ndari keempat mazhab. <\/p>\n\n\n\n Dalam hal ini Nurcholish Madjid<\/a> mengatakan sebagai berikut: \u201cOrganisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama memperhatikan masalah ini (sufisme-tasawuf), dan membentuk badan yang dinamakan Jam\u2019iyyah Thariqah Mu\u2019tabarah (Perkumpulan Tarekat Mu\u2019tabarah). Muktamar NU di Situbondo 1984 menetapkan bahwa salah satu ketentuan tentang paham Ahlussunnah wal Jama\u2019ah<\/strong><\/a> adalah, dalam bidang tasawuf, mengikuti tarekat mu\u2019tabarah dengan berpedoman kepada ajaran imam al-Ghazali<\/strong><\/a>, di samping kepada ajaran para tokoh kesufian Sunni yang lain\u201d.<\/p>\n\n\n\n NU yang di dalamnya beranggotakan kaum santri berkeyakinan bahwa unsur batin dari kehidupan keagamaan lebih penting daripada bentuk lahir. Namun, kesalehan luar merupakan ekspresi iman batin dan cara memperkukuh spiritual.<\/p>\n\n\n\n Inilah yang tampaknya menjadi pegangan di kalangan santri yang begitu dekat dengan ajaran sufisme, bahkan sampai memiliki perkumpulan tarekat yang disepakati dan dilegalkan oleh NU sendiri.<\/p>\n\n\n\n Bahkan,\nClifford Geertz menafsirkan dimensi-dimensi ritual dan mistik kesalehan santri\ntradisional sebagai produk dari sintesis Islam dan agama Jawa pra-Islam.\nmenurut pandanganya, santri tradisional hidup di dalam dunia yang menyendiri,\nyang sebagian besar terisolasi dari pusat-pusat \u201cortodoksi\u201d Timur Tengah.\nPandangan mereka mengenai Islam lebih bernuansa Jawa daripada Islam.<\/p>\n\n\n\n Pandangan Geertz ini tampaknya kurang tepat dalam menggambarkan kondisi spiritual kaum santri. Memang kalangan santri tradisional sangat dekat dengan kultur Jawa, karena pesantren umumnya terpusat di Jawa. <\/p>\n\n\n\n Tapi perkumpulan tarekat yang dimiliki oleh NU, yang di dalamnya santri berperan penting, bukanlah suatu hasil kompromi antara Islam dan mistik kejawen, tetapi lebih mengacu pada ajaran sufisme dari ulama-ulama Timur Tengah, seperti Syech Abdul Qadir al-Jilani<\/strong><\/a> dengan tarekatnya Qadiriyah. <\/p>\n\n\n\n Di\nsini, praktik sufisme di kalangan santri memang tidak mengalami banyak\nperubahan, sebab ajaran sufisme di sini lebih dipahami sebagai alamilah\nkeagamaan, bukan wacana akademis yang perlu dikembangkan secara lebih lanjut.\nDengan demikian, wacana kontemporer sufisme di tubuh NU cenderung statis dan\ntidak mengalami perkembangan yang signifikan. <\/p>\n\n\n\n Berbeda\ndengan NU, Muhammadiyah justru mengalami sedikit pergeseran dalam wacana\nsufisme. Meski di kalangan Muhammadiyah sendiri sufisme kurang begitu populer,\ntapi ada saat di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki intensitas yang tinggi\nterhadap perkembangan ajaran sufisme dan membuat sebuah formulasi baru terhadap\najaran sufisme yang lebih disesuaikan dengan ajaran syariat yang ketat.<\/p>\n\n\n\n Salah satu tokoh Muhammadiyah yang memiliki peranan penting dalam mewacanakan sufisme kontemporer di Indonseia adalah Hamka. Melalui bukunya berjudul Tasawuf Modern, beliau telah sungguh-sungguh menjadi peletak dasar bagi wacana baru sufisme di tanah air. Wacana baru sufisme ini juga bisa disebut sebagai neo-sufisme. <\/p>\n\n\n\n Neo-sufisme\nadalah wacana kontemporer tentang sufisme yang mencoba mencari keselarasan\nantara syariat dan hakikat, antara dimensi lahir dan batin, di mana pelopornya\nadalah Fazlur Rahman.<\/p>\n\n\n\n Di dalam buku itu terdapat alur pemikiran yang cukup memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan sufisme atau esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap dikendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariat.<\/p>\n\n\n\n Apa yang dilakukan oleh Hamka di sini bukanlah pembaharuan praktik ajaran sufi, tetapi lebih pada wacana pembaruan sufi di Indonesia, yang dengannya, diharapkan setiap orang yang mempraktikkan ajaran sufi bisa lebih memperhatikan aspek-aspek syariat agar terjadi keseimbangan dan tidak berat sebelah. <\/p>\n\n\n\n