Pecihitam.org<\/strong> – Dalam perkembangan agama Islam sejak Nabi Muhammad Saw perbedaan pendapat Ulama sudah menjadi hal yang wajar. Seperti contoh dalam hal suksesi kepemimpinan pada masa Khulafaur Rasyidin proses pemilihan khalifah pun berbeda-beda. <\/p>\n\n\n\n Khalifah Abu Bakar diangkat atas kesepakatan bersama para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. Namun Khalifah Umar ditunjuk langsung oleh Khalifah Abu Bakar untuk menggantikannya sebelum beliau wafat.<\/p>\n\n\n\n Pada perkembangan selanjutnya, misalnya dalam hal ilmu fiqh terdapat beragam madzhab yang paling terkenal sampai sekarang berjumlah empat-disamping madzhab yang lain. Sebutlah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi\u2019i, dan Hanbali yang kesemuanya dinisbatkan kepada pelopor madzhab tersebut. Namun perbedaan pendapat ulama tersebut bukan menjadi alat untuk saling menyalahkan, justru yang terjadi adalah saling menghormati.<\/p>\n\n\n\n Perbedaan pendapat tersebut juga terjadi di Indonesia dari awal masuknya agama Islam sampai sekarang. Kisah perbedaan pendapat Ulama yang paling mencolok sebut saja antara Syekh Siti Jenar dengan Walisongo. <\/p>\n\n\n\n Namun karena penulisan sejarah yang dilakukan oleh beberapa sarjana Eropa mengakibatkan label sesat pada ajaran Syekh Siti Jenar. Hal yang sama juga terjadi antara Syekh Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri. <\/p>\n\n\n\n Lagi-lagi karena pengaruh Eropa yang pada akhirnya mempertentangkan semua ajaran antara kedua ulama tersebut tanpa mempertimbangkan konteks yang sedang terjadi.<\/p>\n\n\n\n Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah dua organisasi massa Islam (ormas) Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan<\/a><\/strong> pada tahun 1912. Disusul oleh K.H. Hasyim Asy\u2019ari<\/strong><\/a> dengan berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Keduanya merupakan sahabat karib dalam pengembaraan ilmunya mulai dari Nusantara sampai Makkah. <\/p>\n\n\n\n K.H. Ahmad Dahlan yang hidup di perkotaan Yogyakarta melahirkan pemikiran yang berbeda dengan K.H. Hasyim Asy\u2019ari yang hidup dengan latar belakang petani di Jombang, Jawa Timur.<\/p>\n\n\n\n Perbedaan yang paling mencolok dari kedua ormas tersebut adalah terkait dengan berbagai tradisi yang ada di masyarakat. NU lebih akomodatif terhadap tradisi yang mengakar kuat seperti tahlilan, maulidan, manaqiban dll. <\/p>\n\n\n\n Sedangkan Muhammadiyah menghukuminya sebagai sesuatu hal yang dianggap bid\u2019ah. Namun karena akar sejarah yang kuat, kedua ormas tersebut sama-sama menerima konsep bernegara Indonesia, tanpa perlu menjadikannya sebagai negara Islam secara formal.<\/p>\n\n\n\n