Pandangan ini digagas oleh Washil bin \u2018Atha\u2019. Washil bin \u2018Atha\u2019 awalnya adalah murid Hasan al-Bashri yang keduanya hidup pada masa Abbasiyah periode khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. <\/p>\n\n\n\n

Pandangan al-Washiliyah diawali dengan penolakan sifat Tuhan (nafyu al-Shifat). Seperti sifat Ilmu, Qodrat, Irodah, Hayyun. As-Syahrastani menyebutkan bahwa gagasan penolakan sifat Tuhan oleh aliran ini belum matang hingga akhirnya di gagas ulang ulang oleh al-Hudzail.<\/p>\n\n\n\n

Pandangan berikutnya Manzilah baina Manzilatain. Pandangan ini di gagas untuk melampaui dua pandangan teologis dalam menghukumi kekafiran pelaku dosa besar oleh Khawarij dan Murjiah.<\/p>\n\n\n\n

Khawarij menilai pelaku dosa besar dihukumi kafir, sedangkan Murji\u2019ah kafir atau mukmin diserahkan pada otoritas Tuhan di akhirat kelak. Kemudian Washil bin \u2018Atha\u2019 berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir mutlak dan tidak juga mukmin mutlak.<\/p>\n\n\n\n

2. Al-Hudzailiyah<\/strong><\/h4>\n\n\n\n

Aliran ini dipunggawai oleh Abu al-Hudzail bin al-Hudzail al-\u2018Allaf, ia mempelajari Muktazilah dari Utsman bin Khalid al-Thawil dan berlanjut ke al-Washil bin \u2018Atha\u2019.<\/p>\n\n\n\n

Al-Hudzail berpandangan bahwa Allah Maha Mengetahui karena sifat Ilmu-Nya dan Ilmu Allah itu adalah Dzat-Nya. Allah Maha Kuasa karena sifat Kuasa-Nya, dan Kuasa Allah itu juga sebagai Dzat-Nya, seperti itu seterusnya. Dari sinilah al-Hudzailah mengatakan bahwa sifat dan dzat Tuhan adalah dzat itu sendiri. <\/p>\n\n\n\n

Awalnya pandangan Al-Hudzail tentang penciptaan tindakan manusia selaras dengan Qadariyah. Manusia kuasa atas dirinya dan menciptakan perbuatannya sendiri. Akan tetapi menurut al-Syahrastani akhirnya al-Hudzailiyah adalah Jabariyah untuk urusan akhirat.<\/p>\n\n\n\n

3. Al-Nizhamiyah<\/strong><\/h4>\n\n\n\n

Al-Nizhamiyah disandarkan kepada pendirinya Ibrahim bin Siyar al-Nizham. Ia banyak berbeda pendapat dengan penganut Mu\u2019tazilah lain. Al-Nizhamiyah berpandangan bahwa kata al-Qadar (kuasa) tidak ditujukan kepada keburukan dan maksiat, dan tidak pula ditentukan oleh Allah.<\/p>\n\n\n\n

Pandangan ini berbeda dengan pandangan Mu\u2019tazilah secara umum, bahwa Allah itu Kuasa atas keburukan dan maksiat, namun Allah tidak melakukannya sebab hal itu merupakan keburukan. Oleh sebab itu Allah hanya melakukan kebaikan kepada umat manusia.<\/p>\n\n\n\n

Al-Nizhamiyah juga berpendapat bahwa manusia secara hakikat adalah jiwa dan ruh, organ luar dan dalam. Ruh itu merupakan fisik lembut yang menempel pada tubuh, melekat di hati dengan seluruh bagian cairannya.<\/p>\n\n\n\n

Al-Nizham juga menerangkan bahwa ruh itu memiliki kekuatan, kemampuan, kehendak dan hidup, ia hidup dengan sendirinya. Sedangkan kemampuan (al-Istitho\u2019ah) itu merupakan potensi sebelum perbuatan.<\/p>\n\n\n\n

Adapun al-Nizhamiyah dalam aliran filsafat universalitas \u2018Ada\u2019, sepakat dengan aliran platonic bahwa universal itu tak terpisah. \u2018Ada\u2019 selalu bersifat universal (kulliy).<\/p>\n\n\n\n

Pandangan universalitas \u2018Ada\u2019 di Mu\u2019tazilah ini kemudian diperdebatkan oleh Imam Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) dalam relevansinya dengan \u2018pengetahuan Tuhan\u2019. Pandangan ini kemudian berimplikasi bahwa Tuhan mengetahui yang universal, bukan partikular.<\/p>\n\n\n\n

4. Al-Khabitiyah dan al-Hadtsiyah<\/strong><\/h4>\n\n\n\n

Pelopornya ialah Ahmad bin Khatib yaitu salah satu sahabat al-Nizham. Ia termasuk penulis yang senang mempelajari buku-buku filsafat Yunani klasik. Menurut as-Syahrastani, aliran ini punya tiga pandangan yang berbeda:<\/p>\n\n\n\n

Pertama, <\/strong>menurutnya yang ikut serta memutuskan perkara akhirat kelak diantaranya adalah Isa al-Masih. Pandangan ini menyatakan bahwa Isa al-Masih yang akan menghisab semua perbuatan makhluk di akhirat kelak.<\/p>\n\n\n\n

Kedua, <\/strong>setiap ciptaan akan terlahir kembali di dunia ini dengan bentuk yang berbeda. Pandangan ini berangkat dari kesatuan ruh dan jiwa, jika jiwa hancur, sedangkan ruh bersifat universal, tidak terbatas, maka ruh memerlukan tubuh lain untuk ditempati. Pandangan ini dikenal dengan al-Tanasukhiyah (reinkarnasi).<\/p>\n\n\n\n

Ketiga,<\/strong> aliran ini berpendapat bahwa maksud hadis nabi:<\/p>\n\n\n\n

\u201cSesungguhnya kamu akana melihat tuhanmu di hari kiamat kelak, seperti kamu melihat bulan ini, kamu tidak akan kesulitan melihat-Nya \u201d (HR. al-Bukhari, al-Thabrani)<\/em><\/p>\n\n\n\n

Dari pandangan ini ia mengatakan bahwa akan tersingkap semua hijab yang membatasi antara Tuhan dan Citra dari semua makhluk yang ditampilkan. Sebagaimana melihat rembulan terang di malam hari, tanpa adanya awan yang menutupi.<\/p>\n\n\n\n

Perkembangan pemahaman Mu\u2019tazilah ini belakangan banyak diperdebatkan oleh para ahli ilmu kalam. Tidak banyak yang tersisa kecuali, sedikit dari karya-karya mereka yang masih diteliti oleh para pengkaji teologi Islam.<\/p>\n\n\n\n

Dari berbagai cabang aliran dalam Muktazilah terlihat sangat beragam pendapat dan pandangannya. Mulai dari ide ketuhanan, pahala, azab di hari kiamat dan seterusnya.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Pecihitam.org – As-Syahrastani menyebutkan dalam kitab al-Milal wa al-Nihal bahwa setiap kelompok mempunyai ide teologis yang berbeda satu sama lain. Ada yang memiliki karya dan ada juga yang tidak. Tidak jarang, antara satu ulama dan lain berbeda pandangan teologis. Pandangan teologis hanya salah satu cara penggambaran tentang konsep \u2018Ketuhanan\u2019. Barangkali kita menganggap bahwa firqah Muktazilah […]<\/p>\n","protected":false},"author":14,"featured_media":25011,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[6147],"tags":[7681,7682],"yoast_head":"\n