Pecihitam.org<\/strong> \u2013 Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah untuk merevisi total Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal atau UU JPH lantaran dinilai bertentangan dengan kaidah hukum, aspek sosiologis, dan aspek yuridis.<\/p>\n\n\n\n

“Kami\njuga telah melayangkan surat rekomendasi kepada Ketua DPR RI yang juga\nditembuskan kepada Presiden RI, Ketua Komisi VIII DPR RI, Badan Legislasi DPR\nRI, dan arsip,” ujar Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil, dikutip dari Tempo, Sabtu, 14 Desember 2019.<\/p>\n\n\n\n

Kiai Said menilai, UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH bermasalah secara\nfilosofis. Undang-undang ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum, yakni\nal-ashlu fil asyya\u2019i al-ibahah illa an yadullad dalilu \u2018ala tahrimiha (pada\ndasarnya semua dibolehkan atau halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan).<\/p>\n\n\n\n

PBNU, kata Kiai Said, juga menyoroti UU Tentang JPH secara sosiologis.\nMasyarakat Indonesia mayoritas Muslim.<\/p>\n\n\n\n

Menurutnya,  kondisi tersebut berbeda dengan\nnegara-negara lain di mana masyarakat Muslim merupakan penduduk minoritas yang\nperlu dilindungi oleh negara melalui regulasi dari segi konsumsi makanan haram.\n<\/p>\n\n\n\n

Oleh karena\nitu,\nkata dia, produk dari regulasi ini salah satunya\nadalah jaminan halal (sertifikat halal).<\/p>\n\n\n\n

“Dalam\nkonteks sosiologis di Indonesia, yang seharusnya disertifikasi adalah\nproduk-produk yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Kami pun\nmerekomendasikan agar lembaga yang ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan\nRI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat,” ujar Kiai Said.<\/p>\n\n\n\n

Secara Yuridis, lanjut Kiai Said, berdasarkan teori distribusi kewenangan Undang-Undang\ntentang JPH ini bermasalah. <\/p>\n\n\n\n

\u201cPada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang\nsesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun konstitusi memberikan batasan\nyaitu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak,\u201d\nujarnya.<\/p>\n\n\n\n

Oleh karenanya, distribusi kewenangan dalam konteks JPH tidak dapat\ndilakukan hanya oleh negara. <\/p>\n\n\n\n

Selain itu, menurut\nKiai Said, norma dalam Undang-undang JPH ini\nmemberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI untuk menerbitkan fatwa. <\/p>\n\n\n\n

\u201cPadahal dalam sistem hukum yang berlaku berdasarkan UUD 1945, kewenangan\nuntuk menerbitkan fatwa hanya berada di cabang kekuasaan yudikatif yaitu\nMahkamah Agung RI,\u201d terangnya.<\/p>\n\n\n\n

Monopoli\nkewenangan ini tampak dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal\ndan yang diikuti Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 Tentang Layanan\nSertifikasi Halal yang ditandatangani Menag RI pada 12 November 2019.<\/p>\n\n\n\n

“Atas\nsejumlah alasan itu lah, PBNU menilai UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan\nProduk Halal ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh karena bertentangan\ndengan kaidah hukum,” ujar Kiai Said.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Pecihitam.org \u2013 Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah untuk merevisi total Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal atau UU JPH lantaran dinilai bertentangan dengan kaidah hukum, aspek sosiologis, dan aspek yuridis. “Kami juga telah melayangkan surat rekomendasi kepada Ketua DPR RI yang juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua Komisi VIII DPR […]<\/p>\n","protected":false},"author":15,"featured_media":25698,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[2,3],"tags":[1766,7855],"yoast_head":"\n