Pecihitam.org- <\/strong>Kesetaraan gender dalam perspektif sejarah Islam dapat dikategorikan dalam tiga periode yakni, periode klasik, pertengahan, dan modern. Artikel kali ini hanya akan membahas tentang kesetaraan gender pada periode klasik saja. <\/p>\n\n\n\n Pada masa Rasulullah, kaum perempuan muslimah tampak dalam sosok perempuan yang dinamis, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al Qu\u2019an, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, al-istiql\u0101l al-siy\u0101sah (QS. al-Mumtahanah [60]: 12), seperti figur Ratu Bilqis yang mempunyai kerajaan \u2018arsyun \u2018azh\u012bm (superpower), dan figur-figur yang lain.<\/p>\n\n\n\n Gambaran yang demikian ideal ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab suci agama lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan prestasi cemerlang sebagaimana yang diraih kaum laki-laki. <\/p>\n\n\n\n Dalam jaminan al-Qur\u2019an, perempuan dengan leluasa memasuki semua sector kehidupan masyarakat, termasuk politik dan ekonomi. Ada sebuah hadits yang cukup popular dan seringkali dijadikan dalil yang menganggap bahwa tidak akan beruntung satu kaum bila diserahkan kepada perempuan. <\/p>\n\n\n\n Padahal anggapan tersebut adalah salah kaprah karena menggeneralisasi kasus tertentu yang sebenarnya berlaku hanya untuk kondisi yang dimaksud dalam hadits tersebut. Berikut terjemahan hadits yang saya kutip di buku Wawasan al-Qur\u2019an karya Quraish Shihab.<\/p>\n\n\n\n \u201cKetika Rasulullah\nSAW. Mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa\nmereka, beliau bersabda, \u201cTidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan\nurusan mereka kepada perempuan<\/em>.\u201d (Diriwayatkan oleh Bukhari, al-Nasa\u2019i, dan\nAhmad melalui Abu Bakrah).<\/p>\n\n\n\n Hadits tersebut di\natas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan tehadap semua\nmasyarakat dan dalam semua urusan. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa tidak\nditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan\nketerlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang\nmembatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak\nayat dan hadits yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya\nhak-hak tesebut.<\/p>\n\n\n\n Dalam sejarah Islam, peran perempuan dalam sektor publik dapat dibuktikan dalam kisah istri-istri Nabi. Kita menemukan di dalam Shahih Bukhori, salah satu kumpulan hadits yang otentik, menyebutkan bahwa perempuan muslim secara aktif membantu mereka yang luka dalam perang Uhud, termasuk di dalam kaum perempuan ini adalah para istri Nabi sendiri. <\/p>\n\n\n\n Satu orang menggambarkan bahwa ia melihat Aisyah dan istri Nabi yang lain membawa air untuk kaum laki-laki di medan perang. Aisyah meriwayatkan hadits bahwa dia (Aisyah) menemani Nabi dalam sebuah perang, dan ini terjadi setelah turunnya ayat tentang cadar.<\/p>\n\n\n\n