Pecihitam.org<\/strong> – Dua kali agama dan Pancasila seolah-seolah mengalami \u201cbenturan\u201d, pertama, saat tujuh kata pada Piagam Djakarta yang berbunyi \u201ckewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya\u201d direvisi menjadi empat kata \u201cKetuhanan Yang Maha Esa\u201d yang menjadi sila pertama dari Pancasila. Kemudian \u201cbenturan\u201d kedua, ketika Pancasila ditetapkan menjadi asas tunggal bagi setiap organisasi melalui Nomor 3\/1985 oleh pemerintah Orde Baru<\/a>.<\/p>\n\n\n\n K.H. A.N Firdaus tokoh Syarikat Islam dalam bukunya \u201cDosa-dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi\u201d, memasukkan revisi tujuh kata sebagai salah satu dosa politik umat Islam Indonesia. Dalam buku tersebut diurai sila per sila kesalahan Pancasila. <\/p>\n\n\n\n Kesalahan Pancasila yang diuraikannya, terkesan maksa dan mengada-ngada. Uraian K.H. A.N Firdaus tentang Pancasila lemah, bisa disanggah. Akan tetapi sebenarnya, perasaan kalah secara politik dari non-muslim yang melatarbelakangi uraiannya tersebut. <\/p>\n\n\n\n Apakah revisi tujuh kata menjadi\nempat kata sila pertama Pancasila itu merupakan kekalahan atau kemenangan\npolitik umat Islam? Sangat debatable. Tergantung sudut pandang. Tujuh kata\ntersebut berorientasi kepada syariah. Sepintas lalu dari sudut pandang\nformalisasi syariah, penghapusan tujuh kata tersebut adalah suatu kekalahan\npolitik umat Islam dari non-Muslim.<\/p>\n\n\n\n Hal yang tidak terpikirkan, andaikata tujuh kata itu ditetapkan menjadi sila pertama, mungkin akan terjadi perang saudara sesama umat Islam Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Sebab ketika sila pertama ini mau diterapkan dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, syariah versi siapa wajib dijalankan bagi pemeluknya? NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam atau Persis? Bukankah di zaman itu, friksi antar kelompok Islam cukup tajam.<\/p>\n\n\n\n Revisi sila pertama menjadi empat kata Ketuhanan Yang Maha Esa, sekaligus mengubah corak keagamaan negara Indonesia, dari formalitas ke substansial. Dari berorientasi kepada syariah menjadi berorientasi kepada aqidah. <\/p>\n\n\n\n Umat Islam Indonesia bisa bersatu atas dasar aqidah tauhid dan terhindar dari perang saudara karena perbedaan masalah penerapan syariah (fiqih). Revisi tujuh kata menjadi empat kata sila pertama Pancasila, seharusnya dianggap sebagai berkah yang wajib disyukuri bukan sebagai dosa politik yang harus disesali.<\/p>\n\n\n\n Sama seperti \u201cbenturan\u201d pertama, \u201cbenturan\u201d kedua antara agama dan Pancasila, kental dengan perasaan kalah secara politik umat Islam terhadap Orde Baru. Tokoh-tokoh umat Islam kecewa berat dan marah kepada Soeharto. <\/p>\n\n\n\n Soeharto yang ditolong waktu memberantas PKI dan didukung untuk naik ke puncak kekuasaan, malah meninggalkan ulama dan dekat dengan tokoh-tokoh non-Muslim. Kebijakan politik Soeharto tidak berpihak kepada umat Islam.<\/p>\n\n\n\n Sehingga wacana asas tunggal yang dilontarkan Soeharto ditolak oleh ulama dan tokoh-tokoh umat. Penolakan tersebut sejatinya bukan karena Pancasila itu salah menurut aqidah dan syariah Islam, akan tetapi lebih sebagai sikap perlawanan, pelampiasan kekecewaan dan kemarahan terhadap Soeharto. <\/p>\n\n\n\n Lalu NU mempelopori untuk menyudahi konflik penuh emosi antara ulama dan umara ini dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983 demi kemaslahatan umat, bangsa dan negara.<\/p>\n\n\n\n Jadi, masalah politiklah yang membuat seolah-olah antara agama dan Pancasila terjadi benturan. Pada realitasnya, agama dan Pancasila itu satu tubuh, satu jiwa dan\u00a0 satu ruh.\u00a0 Tidak ada pertentangan antara agama dan Pancasila.\u00a0 <\/p>\n\n\n\n