PeciHitam.org – <\/strong>Ibnu Rusyd dalam mukadimah Bidayah al-Mujtahid<\/em>, menyebutkan bahwa hukum Islam terbentuk harus bersumber dari al-Quran, al-Sunnah. Kedua sumber tersebut biasa dinamakan dengan nash<\/em>. Ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat dalam nash <\/em>maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui salah satu metode ijtihad yaitu qiyas<\/em>.<\/p>\n

Hal ini terjadi karena berkembangnya Islam dan persoalan-persoalan baru muncul dengan pesat sehingga mengakibatkan para fuqaha merasa kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya dengan bersandar pada nash.<\/em><\/p>\n

Penggunaan metode ijtihad\u00a0 ijma\u2019<\/em> (konsensus) bagi Ibnu Rusyd mungkin hanya bisa terjadi pada masa sahabat. Dengan berkembangnya ajaran Islam dan semakin luasnya wilayah Islam sangat sulit terjadi kata mufakat bagi semua mujtahid yang hidup pada masa tersebut.<\/p>\n

Menurut Ibnu Rusyd yang bisa terjadi dalam ijma\u2019<\/em> hanyalah kesepakatan dalam masalah-masalah \u2018amaliyah <\/em>dan bukan masalah teoritis. Di samping itu, dalam Ushul Fiqh, Ibnu Rusyd<\/a> menegaskan menetapkan dimensi yang dharuri<\/em> dan \u201cmembuang\u201d dimensi yang tidak dharuri. <\/em><\/p>\n

Untuk menegaskan dimensi yang dharuri, <\/em>Ibnu Rusyd bertolak pada klasifikasi keilmuan yang bersifat umum Ibnu Rusyd menyebut tiga klasifikasi keilmuan:<\/p>\n

Pertama, <\/em>ilmu yang hanya bertujuan untuk menamkan keyakinan mendalam pada jiwa, seperti ilmu tentang kebaharuan alam, dan tentang bagian yang tak terbagi-bagi lagi.<\/p>\n

Kedua, <\/em>ilmu yang bertujuan untuk diamalkan. Ia terbagi dua: partikular dan universal. Yang partikular adalah mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat dan sebagainya.<\/p>\n

Sedangkan yang universal adalah pengetahuan terhadap sumber-sumber asal, seperti al-Kitab, al-Sunnah dan al-Ijma. Selain itu, ia juga menggunakan pengetahuan terhadap hukum-hukum yang lahir dari sumber asal.<\/p>\n

Ketiga, <\/em>ilmu yang memberi kaidah-kaidah dasar yang bisa mengantarkan seseorang pada kebenaran sesuai dengan dua jenis keilmuan diatas, seperti pengetahuan terhadap dalil-dalil beserta bagian-bagiannya. Menurut Ibnu Rusyd, kebutuhan seseorang terhadap ilmu yang terakhir lebih penting dari pada terhadap dua jenis ilmu lainnya.<\/p>\n

Ibnu Rusyd juga mengenyampingkan tentang penggunaan logika (mantiq) <\/em>dalam ushul fiqh, <\/em>hal ini dilatar belakangi karera Ibnu Rusyd menilai logika bukanlah bagian dari ushul fiqh. <\/em>Logika berasal dari luar disiplin ushul fiqh, <\/em>yakni filsafat yang berasal dari tradisi Yunani.<\/p>\n

Oleh karena itu, Ibnu Rusyd tidak menjadikan logika sebagai atas teoritis bagi ushul fiqh, <\/em>juga tidak memasukkannya sebagai pengantar bagi ushul fiqh. <\/em>Dengan mengenyampingkan posisi logika, Ibnu Rusyd sebenarnya hendak mengembalikan ushul fiqh<\/em>ke dalam \u201cHabitat disiplinnya\u201d dengan melihatnya dari \u201cdalam\u201d disiplin ushul fiqh <\/em>itu sendiri. Bukan dari luar disiplinnya. Bagian \u201cdalam\u201d inilah yang dinilai sebagai bagian dharuri <\/em>dalam ushul fiqh.<\/em><\/p>\n

Ibnu Rusyd menjelaskan pemahaman qiyas yang beredar di kalangan para ahli ushul. <\/em>Menurut Ibnu Rusyd, para ahli ushul fiqh <\/em>menggambarkan qiyas sebagai tindakan membawakan makna sesuatu pada sesuatu yang lain, baik dalam bentuk penegasan maupun penegasan hukum.<\/p>\n

Jika misalnya penegasan dan penegasannya pada salah satunya lebih terlihat jelas dari pada yang lain. Itu disebabkan adanya kumpulan sifat dan Illat<\/em> antara keduanya.<\/p>\n

Sesuatu yang hukumnya lebih jelas dinamai asal, sesuatu yang diberi ketentuan hukum dengan mengikutinya pada asal tersebut cabang, sedangkan sifat atau sebab yang berkumpul pada keduanya disebut illat<\/em>.<\/p>\n

Ibnu Rusyd mengkritik konsep qiyas seperti ini. Dia mancatat ada dua model qiyas: qiyas shibhi <\/em>dan qiyas illah. <\/em>Yang pertama berkaitan dengan penyertaan hukum sesuatu yang tidak ada hukumnya pada sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam shari\u2019ah, karena adanya keserupaan antara keduanya.<\/p>\n

Sedang model kedua berkaitan dengan penyertaan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya pada seuatu yang telah ada ketentuan hukumnya, karena adanya kesamaan illat.<\/p>\n

Namun, tegasnya, perlu dibedakan dua hal: pertama, <\/em>mengqiyaskan sesuatu yang tidak ada hukumnya; kedua, <\/em>penggantian dilalah lafzhiyah <\/em>yang bersifat universal pada dilalah lafzhiyah <\/em>yang bersifat partikular, atau sebaliknya penggantian posisi yang partikular pada yang universal.<\/p>\n

Menurut filsuf Andalusia ini, apa yang selama ini disebut sebagai qiyas oleh kebanyakan kalangan, sebenarnya bukanlah qiyas. Ia termasuk dari jenis penggantian yang partikular pada posisinya yang universal. Jadi, Ibnu Rusyd memasukkan ke dalam kategori kedua dari bentuk lafazh zhahir <\/em>yang kedua.<\/p>\n

Demikian kiranya metode ijtihad Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid<\/em>. Ibnu Rusyd dalam menetapkan sebuah hukum Islam menggunakan Al-Quran dan al-Sunnah sebagai dasar utama.<\/p>\n

Dalam memecahkan permasalahan hukum syar\u2019I <\/em>yang semakin kompleks tersebut Ibnu Rusyd banyak menggunakan qiyas <\/em>(analogi). Ibnu Rusyd tidak menggunakan Ijma\u2019 masalah teoritis. Wallahu A\u2019lam<\/em>.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

PeciHitam.org – Ibnu Rusyd dalam mukadimah Bidayah al-Mujtahid, menyebutkan bahwa hukum Islam terbentuk harus bersumber dari al-Quran, al-Sunnah. Kedua sumber tersebut biasa dinamakan dengan nash. Ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui salah satu metode ijtihad yaitu qiyas. Hal ini terjadi karena berkembangnya Islam dan persoalan-persoalan baru […]<\/p>\n","protected":false},"author":16,"featured_media":39983,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[6],"tags":[5076,10032],"yoast_head":"\n