Pecihitam.org- <\/strong>Tujuan dari ilmu Tarekat yang pada awalnya hanyalah dimaksudkan sebagai metode, cara, dan jalan yang ditempuh seorang sufi menuju pencapaian spiritual tertinggi, pensucian diri atau jiwa. Maksud penyucian jiwa adalah menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela guna menuju ma\u2019rifat Allah. <\/span><\/p>\n Adapun sifat-sifat tercela dalam Buku “Solusi Tasawuf Atas Problem Manusia Modern” meliputi : hasad (iri hati), haqaq (dengki atau benci), su\u201fudzan (buruk sangka), kibir (sombong), ujub (merasa sempurna diri dari orang lain), riya (memamerkan kelebihan), suma\u201f (mencari-cari nama atau kemashuran), bukhl (kikir), hub al-mal (materialistic), takabur (membagakan diri), ghadhab (pemarah), ghibah (pengumpat), namimah (berbicara di belakang orang lain \/ jawa ngerasani) kidzib (dusta), khianat (ingkar janji).<\/span><\/p>\n Pensucian diri atau jiwa dalam bentuk intensifikasi dzikrAllah, berkembang secara sosiologis menjadi sebuah institusi sosial-keagamaan yang memiliki ikatan keanggotaan yang sangat kuat.<\/p>\n Esensi dari institusi tersebut misalnya berupa interaksi guru-murid, interaksi antar murid atau anggota tarekat, dan norma atau kaidah kehidupan religius yang melandasi pola persahabatan di antara mereka.<\/p>\n Secara organisatorik, tarekat merupakan organisasi dan Trimingham menyebutnya sebagai sufi order yang berbasis ketaatan atau kepatuhan yang luar biasa, yang terlembaga dalam jiwa para murid atau anggota tarekat, atau fanatisme terhadap guru atau mursyid tarekat.<\/p>\n Namun demikian, institusi ketaatan tersebut pada ujungnya adalah mengarahkan wajah spirit para murid tarekat tertuju taat kepada Allah. Dengan demikian, secara manajerial, tarekat adalah suatu organisasi dengan pola dinamika dan otoritas yang top-down, yang sangat tergantung pada kepemimpinan mursyid tarekat.<\/p>\n Sejarah perkembangan tarekat mencatat bahwa tarekat-tarekat itu secara natural mengalami perjalanan Panjang. Sebagai contoh adalah munculnya kehidupan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H).<\/p>\n Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya), yang dipraktekan oleh para pejabat Bani Umayyah. Berkembangnya tasawuf filosofis yang dipelopori oleh Al-Hajjaj (309 H), dan Ibn Arabi (637 H), tampaknya tidak lepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cendrung tersilaukan oleh berkembangnya pola hidup rasional.<\/p>\n