Kedua<\/strong>, <\/em>Boleh dengan syarat apabila terdiri dari sifat yang dhahir dan mundhabith. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Amidy, Imam Asnawi dan Ibn Subki Shahibul Jam\u2019ul Jawami\u2019.<\/p>\n

Karena menurut mereka yang menyebabkan hikmah dilarang sebagai sandaran pembentukan hukum adalah tidak terstandari jadi diperlukan syarat untuk menghilangkan alasan sehingga hikmah itu dilarang.<\/p>\n

Ketiga<\/strong>, <\/em>Boleh secara muthlak. Memposisikan hikmah sebagai sandaran pembentukan hukum adalah perkara yang dibolehkan. Karena hikmah merupakan perwujudan dari illat. Terlebih lagi al-Ghazali, Imam ar-Razi dan al-Baidlowi berpendapat bahwa menetapkan sandaran pembentukan hukum dengan hikmah boleh secara mutlak. Mereka mengemukakan dalil sebagai berikut:<\/p>\n

\n
• Jika tidak boleh menta\u2019lil dengan hikmah maka tidak boleh menta\u2019lil dengan sifat dzahir.<\/li>\n<\/ul>\n

  Karena sifat dzahir dapat diperhitungkan menjadi illat suatu hukum harus mengandung hikmah. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa hikmah yang telah diketahui juga dimungkinkan untuk memunculkan hukum. Maka boleh menta\u2019lil dengan hikmah.<\/p>\n

  \n
  • Ta\u2019lil dengan hikmah adalah lebih utama daripada menta\u2019lil dengan sifat.<\/li>\n<\/ul>\n

    Karena hikmah adalah asal dari sifat tersebut yang merupakan tujuan utama dalam pensyari\u2019atan hukum. Maka berpegang atas asal (hikmah) lebih utama dari pada berpegang dengan far\u2019 (sifat). Karena pada dasarnya hikmah merupakan sesuatu yang sangat mempengaruhi secara hakiki.<\/p>\n

    Sedangkan sifat hanya dapat berpengaruh pada hukum apabila mengandung hikmah suatu hukum. Oleh karena itu penyandaran hukum dengan hikmah lebih utama dari penyandaran hukum dengan sifat.<\/p>\n

    Menurut Ali ibn Abbas ibn Ustman al-Hikamy dalam kitabnya Haqiqat al-Khil\u0101f fi at-Ta\u2019l\u012bl bi al-Hikmah wa Atsaruhu f\u012b al-Fiqh al-Islami, pada dasarnya munculnya perdebatan boleh atau tidaknya penggunaan hikmah sebagai sandaran pembentukan hukum sebenarnya dilakukan para pengikut madzhab, bukan imam madzhab itu sendiri.<\/p>\n

    Bahkan jelas bahwa para imam yang empat menjadikan hikmah sebagai alasan dalam pembentukan hukum. Bahkan menurut penelitian Muhammad Musthafa Tsalabiy para sahabat Nabi menjadikan maslahah sebagai illat.<\/p>\n

    Berikut akan dikemukakan contoh kasus yang menjadikan hikmah menjadi sandaran hukum yang dilakukan para sahabat Nabi. Misalnya menyangkut kebijakan Umar ibn al-Khattab yang mencambuk peminum khamr sebanyak 80 (delapan puluh) kali.<\/p>\n

    Pada masa Nabi dan Abu Bakar peminum khamr dicambuk (dijilid) sebanyak 40 (empat puluh) kali sesuai dengan apa yang telah digariskan Nabi.<\/p>\n

    Penetapan Umar dengan menambah empat puluh kali lagi dari empat puluh menjadi delapan puluh tidak lain adalah karena berpijak kepada mashlahah yaitu untuk menjerakan peminum khamr agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Kebijakan Umar ini, ketika itu disepakati oleh sahabat yang lainnya.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

    Pecihitam.org- Posisi Hikmah sebagai sandaran pembentukan hukum, para ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya. Dalam hal ini terdapat tiga jenis kelompok ulama dengan pendapatnya masing-masing dalam memposisikan hikmah, diataranya: Pertama, Dilarang secara muthlak Menggunakan hikmah sebagai sandaran pembentukan hukum merupakan hal yang dilarang. Bahkan al-Amidy berani mengklaim bahwa larangan ini adalah pendapat mayoritas ulama Usul. Az-Zarkasyi […]<\/p>\n","protected":false},"author":40,"featured_media":43849,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[1691],"tags":[10498],"yoast_head":"\n