Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Secara normatif, pembagian harta waris<\/a><\/strong> bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara kongrit dalam Al- Qur\u2019an dan Al- Sunnah. Para Ulama sepakat bahwa ketentuan yang ada dalam nash tersebut termasuk ayat-ayat dan sunnah yang menunjukkan petunjuk yang pasti ( dalalah qathiyah). Namun demikian sebagian masyarakat dalam menyelesaikan pembagian harta warisan dengan cara damai. <\/p>\n\n\n\n Karena dalam kenyataanya terkadang terdapat ahli waris yang menerima bagian besar, namun ternyata secara ekonomi telah berkecukupan. Sementara masih ada ahli waris lainnya yang menerima bagian sedikit, padahal ia masih dalam ekonomi yang kekurangan. Maka diambillah jalur tengang yaitu pembagian warisan dengan cara damai.<\/p>\n\n\n\n Jika diperhatikan, pembagian warisan seperti ini merupaka termasuk Qur\u2019ani dan juga merupakan upaya-upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dan yang lainya.<\/p>\n\n\n\n Dalam KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) pasal 183 disebutkan bahwa, \u201c Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadarinya\u201d.<\/p>\n\n\n\n Dalam hukum kewarisan Islam, perdamaian itu diperbolehkan, sepanjang dilakukan dengan dasar saling merelakan diantara mereka. Usaha mengadakan perdamaian merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh Islam, lebih-lebih jika terjadi permusuhan.<\/p>\n\n\n\n Perdamaian keluarga dalam hukum Islam disebut \u201cshulh\u201d. Shulh dalam pembagian harta waris berarti perdamaian atau permufakatan diantara para ahli waris untuk merelakan dikuranginya sebagian atau keseluruhan hak warisnya atas dasar keikhlasan yang murni dari pihak yang dikurangi.<\/p>\n\n\n\n Shulh hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan tertentu bila kemaslahatan memerlukannya, yaitu semata-mata dilakukan dengan maksud meniadakan kesempitan dan kemadlaratan yang timbul akibat pembagian harta waris.<\/p>\n\n\n\n Karena apabila shulh ini tidak ditempuh justru akan menimbulkan rasa iri, dengki, hasud yang pada akhirnya akan timbul permusuhan antara anggota keluarga yang satu dengan anggota yang lain. Hal ini harus dihindari, sebagaimana kaidah fiqhiyah :<\/p>\n\n\n\n \u062f\u0631\u0621\u0627\u0627\u0644\u0645\u0641\u0627\u0633\u062f\u0645\u0642\u062f\u0645 \u0639\u0644\u0649 \u062c\u0644\u0628 \u0627\u0644\u0645\u0635\u0627\u0644\u062d<\/strong> Kaidah ini menghendaki adanya kewajiban mencegah kerusakan sebelum kerusakan itu terjadi. Upaya pencegahan tersebut harus dilakukan sesuai dengan segala cara yang memungkinkan.<\/p>\n\n\n\n Dalam pembagian warisan secara damai ini mengedepankan asas musyawarah untuk mecapai mufakat, sehingga antara ahli waris secara ikhlas menerima hasil musyawarah.<\/p>\n\n\n\n Asas ini dipraktekkan sebagian masyarakat dalam hal pembagian harta warisan antara ahli waris. Setiap ada harta yang harus dibagi para ahli waris mengadakan rembugan. Tujuanya agar dalam pembagian harta ditemui kata sepakat, sehingga hubungan kekeluargaan terjalin dengan baik. Dalam proses rembugan atau musyawarah itulah kerelaan tiap ahli waris memegang peranan penting.<\/p>\n\n\n\n
“Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”.<\/em><\/p>\n\n\n\n