Pecihitam.org<\/strong> – Sebagai Jam\u2019iyah atau Organisasi Kemasyarakatan yang terbesar di Indonesia, NU menjadi sebuah wajah Islam bagi Negara kita. Maka kita sebagai Nahdliyin patutlah bersyukur akan hal tersebut, sebab bisa dibayangkan jika yang menjadi wajah islam Negara kita adalah Ormas-ormas yang Intoleran dan Islam-islam radikal maka akan bertolak belakang dengan semboyan dan Idiologi Bangsa kita. <\/p>\n\n\n\n Ada beberapa alasan dan latar belakang yang bisa kita lihat mengapa kita harus memilih menjadi Warga NU daripada memilih Ormas Keagamaan yang lainnya, yakni:<\/p>\n\n\n\n 1. Latar Belakang Sejarah<\/strong><\/p>\n\n\n\n Nahdlatul Ulama atau disingkat NU adalah Organisasi Kemasyarakatan yang konsen dibidang Sosial, Ekonomi, Budaya dan Agama. NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 yang diprakarsai oleh Syaikhuna KH. Hasyim Asy\u2019ari<\/a><\/strong> dan K.H.A. Wahab Chasbullah serta Ulama-ulama lainnya seperti KH. Bisri Sansuri, KH Ridlwan Abdullah, KH. Asnawi, KH. Ma\u2019sum, KH. Nawawi KH. Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz dll. (LP Ma\u2019arif, 2004: 8-9; Yayasan Saifuddin Zuhri [YSZ], 1994: 142). <\/p>\n\n\n\n Pada tahun 1920-an persaingan antara Islam Tradisionalis dan Islam Modernis dalam faham dan idiologi semakin memanas, Islam Modernis ingin menghapus faham-faham yang sudah kolot dan praktek-praktek ibadah yang dianggap salah dan mendekati kufur, seperti adanya ziarah kubur atau mendoakan orang yang sudah meninggal secara bersama-sama dan diruntut sampai 7 hari (Tahlilan). <\/p>\n\n\n\n Sedangkan mewakili islam tradisionalis KH. A. Wahab Chasbullah menolak hal tersebut dan tetap mempertahankan ajaran yang dicetuskan oleh walisongo tersebut. Menurut kiai Wahab praktek ibadah yang diajarkan oleh walisongo justru sangatlah mudah diterima oleh masyarakat, karena sangat cerdas, lentur, mudah dipahami, mudah diikuti dan tidaklah melanggar ketentuan-ketentuan dalam beragama. <\/p>\n\n\n\n Maka ketika Nahdlatul Ulama sudah berdiri muncul kaidah \u201cal-muhafadzah ala qadim al-salih waa al-akhdzu bil jadidal-aslah<\/em>\u201d yang artinya \u201cmenjaga kesinambungan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik\u201d.<\/p>\n\n\n\n 2. Latar Belakang Pendidikan<\/strong><\/p>\n\n\n\n Pada tahun 1918 lahir Taswirul Afkar yang bertujuan untuk menyediakan tempat bagi amak-anak yang mau mengaji dan belajar. Namun karena kaum modernis menginginkan untuk meninggalkan madzhab kaum Islam tradisionalis yakni Ahlusunnah wal jama\u2019ah<\/a><\/strong>, terang saja kiai-kiai dari kaum tradisionalis menolak dengan keras sehingga menyebabkan perpecahan antara kaum tradisionalis dan kaum modernis dalam lembaga tersebut.<\/p>\n\n\n\n Ulama-ulama dari kaum modernispun keluar dari taswirul afkar seperti KH. Mas Mansur sehingga membuat lembaga tersebut mengalami kemunduran, namun kiai-kiai dari kalangan tradisionalis tidak pantang menyerah dan membuat wadah baru yakni Nahdlatul Wathan yang merupakan madrasah bagi kalangan tradisionalis.<\/p>\n\n\n\n Nahdlatul Wathan terus berkembang dan semakin besar yang akhirnya melahirkan wadah khusus bagi anak-anak muda yakni Syubbanul Wathan (Pemuda tanah air) yang bergerak dalam membahas sosial, politik serta keilmuan-keilmuan lainnya.<\/p>\n\n\n\n 3. Latar Belakang Politik Kebangsaan<\/strong><\/p>\n\n\n\n Dalam tahun yang sama juga terjadi gerakan Politik Hindia belanda yang secara arogan melarang dan membatasi umat islam yag akan melaksanakan Ibadah Haji ke tanah suci, sehingga dianggap perlu untuk bisa memperjuangkan aqidah umat Islam di Nusantara. Maka setelah lahirnya Nahdlatul Ulama yang mengakar kuat di pesantren-pesantren se-Nusantara, NU juga turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.<\/p>\n\n\n\n