\u201cKita ini sebagai suatu bangsa, walaupun agama apa juga, kita tetap sebagai suatu bangsa, walaupun ada perbedaan anggapan atau kepercayaan serta paham atau cara pandang hidup, tetapi sebagai bangsa kita hendaknya tidak boleh dipisah-pisahkan oleh macam-macam perbedaan paham, perbedaan cara memandang, dan perbedaan kepercayaan<\/em>.\u201d<\/p>\n\n\n\n Pecihitam.org<\/strong> – Kalimat di atas adalah tulisan KH Wahid Hasyim dalam karyanya \u201cIslam antara Materialisme dan Mistik\u201d. <\/p>\n\n\n\n Kiai Wahid merupakan tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU), juga Pahlawan Nasional. Petikan kalimat di atas mencerminkan jiwa nasionalisme Kiai Wahid. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam perikehidupan berbangsa hendaknya tidak jadi alasan untuk tidak menjunjung persatuan. Nasionalisme mengikat kita untuk tidak cerai-berai.<\/p>\n\n\n\n Kesetiaan Kiai Wahid pada nasionalisme dan persatuan Indonesia tergambar dari sikapnya ketika malam setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 terdapat gugatan dari penduduk Indonesia Timur non muslim terhadap Piagam Jakarta. <\/p>\n\n\n\n Mereka menggertak bakal memisahkan diri dari Indonesia jika tujuh kata dalam butir pertama Piagam Jakarta itu tak dihapus. Butir pertama Piagam Jakarta itu berbunyi:<\/p>\n\n\n\n \u201cKetuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya\u201d<\/p>\n\n\n\n KH Wahid Hasyim sebetulnya tergolong tokoh perwakilan Islam dalam BPUPKI perumus Piagam Jakarta. Namun, sebagaimana watak kolektif Nahdlatul Ulama yang moderat, Kiai Wahid dengan arif dan bijaksana memberikan solusi yang diterima semua kalangan. <\/p>\n\n\n\n Beliau berusul agar frasa itu diubah menjadi \u201cKetuhanan Yang Maha Esa\u201d. Usulan itu diterima dan menjadi sila pertama Pancasila kita hingga hari ini. Satu dasar negara yang mengikat segenap bangsa Indonesia agar tak terpecah-belah.<\/p>\n\n\n\n