Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Mengutip catatan KH. Sahal Mahfudh<\/strong><\/a> mengatakan Syeikh Ahmad bin Ruslan asy-syafi’i mengemukakan bahwa “sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma’rifatullah dengan keyakinan<\/strong>“. <\/p>\n\n\n\n Kemudian memurut KH. Sahal Mahfudz dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial bahwa tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah dihari pembalasan nanti seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulimuddin.<\/p>\n\n\n\n Memasuki abad ke-20 manusia tengah mengalami kemajuan teknologi yang pesat, bahkan perkembangan teknologi dan sains bisa dirasakan hingga ke pelosok desa. Ketika sains dan teknologi mulai merebak dimana-mana saat itulah sains dan teknologi dianggap sebagai sebuah pembebasan bagi keterbelakangan manusia.<\/p>\n\n\n\n Manusia dikaruniai sebuah keberkahan yang melimpah atas pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keran kebebasan atasnya terbuka sangat lebar sehingga menjadikan manusia berlomba-lomba untuk bisa menciptakan dan menikmati kemudahan-kemudahan serta manfaat-manfaat dari pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.<\/p>\n\n\n\n Namun tanpa disadari manusia akhirnya terlalu menggantungkan hidupnya terhadap sains dan teknologi, sedikit demi sedikit kemudian manusia mulai lalai terhadap kekuatan Allah sang maha pencipta yang telah memberikan karunia itu semua kepada manusia.<\/p>\n\n\n\n Seperti yang dikatakan J Donald Walters<\/strong> seorang teolog kontemporer bahwa pada era kemajuan dan perkembangan teknologi manusia sedikit demi sedikit mengalami krisis moral dan spiritual, manusia menjadi buta terhadap kehormatan dan etika. Padahal kehormatan dan etika selalu menjadi benteng yang kokoh bagi setiap peradaban umat manusia.<\/p>\n\n\n\n Kita tentu saja bisa sepakat dengan apa yang disampaikan oleh walters, sebab faktanya dengan adanya kemajuan teknologi yang pesat ini banyak yang hilang dalam diri bangsa Indonesia. Banyak dari generasi kita yang sudah tidak mengenal lagi etika sosial antar sesama bahkan sampai dalam etika beragama.<\/p>\n\n\n\n Sehingga menurut Dr. KH. Ali. M. Abdillah Wakil Sekretaris komisi pengkajian dan penelitian MUI, bahwa untuk bisa mengendalikan atau paling tidak meredam ironi tersebut maka dibutuhkan tasawuf untuk bisa menempatkan kepada tempatnya yang semula.<\/p>\n\n\n\n Tasawuf menjadi sebuah penyejuk yang luar biasa dalam derasnya arus kehidupan modern, ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Menurut Kiai Ali dengan bertasawuf ditengah-tengah pusaran Ilmu pengetahuan dan teknologi ini bukan berarti manusia harus meninggalkan keduanya apalagi menolaknya. Akan tetapi tetap menerima dan tetap berada pada rel yang tepat yakni tetap berusaha untuk selalu merefleksikan hati kita kepada tuhan penguasa segalanya.<\/p>\n\n\n\n Sebab banyak orang yang salah sangka dan salah kaprah dalam mengartikan tasawuf. Contohnya ada sebagian orang yang bertasawuf dengan cara meninggalkan dunianya yaitu pekerjaan bahkan sampai keluarganya. <\/p>\n\n\n\n Akibatnya ia juga meninggalkan kewajiban terhadap keluarhanya anak istrinya. Menurut kiai ali hal ini tidak dibenarkan dalam bertasawuf dan termasuk kedalam kategori praktek yang salah kaprah.<\/p>\n\n\n\n