taklifi <\/em>bagi mereka yang tidak memiliki akal sempurna.<\/p>\nBeban syariat bagi mereka yang memenuhi syarat, tetap tidak mengabaikan kondisi-kondisi tertentu yang memberatkan muslim. Jika ada hal yang memberatkan maka diberlakukan keringanan dalam hukum syariat.<\/p>\n
Karena\u00a0 Islam sendiri menghendaki adanya kemudahan bukan kesukaran. Kemudahan tidak berarti menjadi syariat Islam dibuat gampangan. <\/em><\/p>\nDalil Pokok Keringanan dalam Islam<\/strong><\/h2>\nAllah SWT dan Nabi Muhammad SAW menghendaki adanya kemudahan dalam mengamalkan agama Islam dengan berbagai keringanan dalam hukum syariat jika ada Udzur Syari <\/em>tertentu. sebagaimana kaidah Ushul Fikih <\/em>menerangkan \u0627\u0644\u0645\u0634\u0642\u0629 \u062a\u062c\u0644\u0628 \u0627\u0644\u062a\u064a\u0633\u0631 yang artinya Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.<\/em><\/p>\nKesulitan atau kesusahan dalam menjalankan hukum syariat bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan syariat tersebut, contohnya sakit dan susah bersuci dengan wudhu. Maka Islam memberi kompensasi berupa tayyamum <\/em>menggunakan debu suci.<\/p>\nKompensasi dalam hukum fikih harus berlandaskan alasan-alasan yang\u00a0 bisa dibenarkan secara syari, <\/em>tidak boleh karena kemalasan. Kompensasi dalam hukum fikih banyak dikomentari oleh par Ulama sebagaimana Imam Syafii menuliskan kaidah;<\/p>\n\u0627\u0644\u0627\u0645\u0631 \u0627\u0630\u0627 \u0636\u0627\u0642 \u0627\u062a\u0633\u0639<\/strong><\/p>\nSesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (diringankan)<\/p>\n
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Ulama-ulama jumhur <\/em>tentang kemudian bagi Muslim yang dalam kondisi sempit. Kaidahnya adalah \u0627\u0644\u0627\u0634\u064a\u0627\u0621 \u0627\u0630\u0627 \u0636\u0627\u0642\u062a \u0627\u062a\u0633\u0639 yang bermakna ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas<\/em>.<\/p>\nPendapat Imam Syafii dan Ulama lainnya bukannya tidak memiliki pembenaran teologis, akan tetapi sangat berkesesuaian dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran:<\/p>\n
\u064a\u064f\u0631\u0650\u064a\u062f\u064f \u0627\u0644\u0644\u0651\u064e\u0647\u064f \u0628\u0650\u0643\u064f\u0645\u064f \u0627\u0644\u0652\u064a\u064f\u0633\u0652\u0631\u064e \u0648\u064e\u0644\u0627 \u064a\u064f\u0631\u0650\u064a\u062f\u064f \u0628\u0650\u0643\u064f\u0645\u064f \u0627\u0644\u0652\u0639\u064f\u0633\u0652\u0631\u064e \u0648\u064e\u0644\u0650\u062a\u064f\u0643\u0652\u0645\u0650\u0644\u064f\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0652\u0639\u0650\u062f\u0651\u064e\u0629\u064e \u0648\u064e\u0644\u0650\u062a\u064f\u0643\u064e\u0628\u0650\u0651\u0631\u064f\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0644\u0651\u064e\u0647\u064e \u0639\u064e\u0644\u064e\u0649 \u0645\u064e\u0627 \u0647\u064e\u062f\u064e\u0627\u0643\u064f\u0645\u0652 \u0648\u064e\u0644\u064e\u0639\u064e\u0644\u0651\u064e\u0643\u064f\u0645\u0652 \u062a\u064e\u0634\u0652\u0643\u064f\u0631\u064f\u0648\u0646\u064e<\/strong><\/p>\nArtinya; \u201cAllah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur<\/em>\u201d<\/em> (Qs. Al-Baqarah: 185)<\/em><\/p>\nKelengkapan ayat di atas membahas tentang keringanan dalam menjalankan puasa, jika berhalangan karena perjalanan jauh melelahkan atau sakit bisa diganti denan hari lainnya. Demikian itu adalah keringanan dalam hukum syariat bagi mereka yang bersyukur.<\/p>\n
Keringanan dalam bentuk kompensasi syariat tidak diformulasikan oleh Ulama dalam bentuk kaidah Ushul Fikih <\/em>yang dapat digunakan sebagai alat memahami apa yang Allah kehendaki. Sebagaimana Qaul Imam Amidi <\/em>tentang Ushul Fikih <\/em>adalah alat memahami adanya Syariat.<\/em><\/p>\nKeringanan dalam Hukum Syariat<\/h2>\n Islam memandang keringanan dalam syariat sebagai bentuk fleksibelitas dan kompensasi agar tetap menjalankan Ibadah. Jalur keringanan dalam hukum syariat memperlihatkan humanisme <\/em>hukum islam dengan mengindahkan hal rintang yang dihadapi Muslim.<\/p>\nCatatan Islam menunjukan, keringanan dalam hukum syariat atau takhfifatul Syari <\/em>memiliki 7 dimensi istilah. Berikut penjelasan dan ilustrasi singkatnya;<\/p>\n\nTakhfif Isqat <\/em>(\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u0627\u0633\u0642\u0637), keringanan dengan gugurnya kewajiban. Contohnya adalah seorang yang sakit, maka tidak ada kewajiban baginya untuk haji dan shalat jumat sampai sembuh. Tidak diperlukan mengganti shalat jumat yang ditinggalkan ketika sudah sembuh.<\/li>\nTakhfif Tanqis<\/em> (\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u062a\u0646\u0642\u0635), yaitu keringanan dengan mengurangi ukuran atau jumlah. Ilustrasinya ketika orang melakukan perjalanan jauh, diperbolehkan untuk meringkas shalat (Shalat Qashar<\/em>).<\/li>\nTakhfif Ibdal<\/em> (\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u0627\u0628\u062f\u0627\u0644), adalah keringanan dengan mengganti dengan lainnya. Ilustrasinya ketika terjadi kelangkaan air, maka diperbolehkan untuk bertayamum, atau ketika sakit boleh shalat dengan duduk, berbaring dan isyarat.<\/li>\nTakhfif Taqdim<\/em> (\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u062a\u0642\u062f\u064a\u0645), adalah keringanan dengan mengawalkan dalam waktu pelaksanaan. Contohnya sebagaimana mengumpulkan shalat dalam bentuk Jamak Taqdim, <\/em>shalat Dzuhur dan Ashar dikumpulkan menjadi 1 waktu, dikerjakan pada waktu Dzuhur.<\/li>\nTakhfif Takhir <\/em>(\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u062a\u0623\u062e\u064a\u0631), adalah keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Sebagaimana contoh poin ke-4, maka Shalat Dzhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Ashar. Maka mengumpulkan shalat ini dinamakan dengan Jamak Takhir.<\/em><\/li>\nTakhfif Tarkhis<\/em> (\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u062a\u0631\u062e\u064a\u0635), adalah keringanan karena kondisi yang mengharuskan. Model keringanan ini hanya berlaku parsial <\/em>dan temporer <\/em>ketika rukhsah <\/em>memiliki alasan kuat. Sebagai contoh kehalalan untuk memakan atau meminum dzat yang haram untuk tujuan medis.<\/li>\nTakhfif Taghyir<\/em> (\u062a\u062e\u0641\u064a\u0641 \u062a\u063a\u064a\u064a\u0631), adalah keringanan dengan melakukan perubahan runtutan. Ilustrasinya ketika didirikannya shalat Khauf <\/em>ketika terjadi perang. Urutan dalam shalat berubah tidak lagi bisa shalat dalam kondisi normal.<\/li>\n<\/ol>\nIstilah dalam keringanan dalam hukum syariat di atas terbatas sebagai nama, dan ada sumber kaidah yang mendasari adanya istilah tersebut. Kaidah-kaidah sumber yang\u00a0 menjadi dasar keringanan dibahas dalam Ushul Fikih <\/em>tentang keringanan dalam Hukum Syariat.<\/p>\nKaidah Ushul Fikih <\/em>Tentang Keringanan<\/strong><\/h2>\nKaidah Ushul <\/em>Fikih tentang keringanan dalam hukum syariat sekurangnya memiliki 9 cabang. Keseluruhan cabang tersebut berlandaskan kepada dalil Surat Al-Baqarah ayat 185 tentang keringanan menjalankan Ibadah. Kaidah-kaidahny adalah sebagai berikut;<\/p>\nKaidah Pertama tentang Keringanan dalam Hukum Syariat<\/h3>\n Imam Ghazali membuat sebuah kaidah tentang keringanan sangat terkait dengan perilaku seseorang. Beliau mengatakan \u0643\u0644 \u0645\u0627 \u062a\u062c\u0648\u0632 \u062d\u062f\u0647 \u0627\u0646\u0639\u0643\u0633 \u0627\u0644\u0649 \u0636\u062f\u0647 yang bermakna Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya. <\/em>Contohnya adalah gerakan dalam shalat selama dalam batas wajar diperbolehkan, dan jika berlebihan maka membatalkan shalat.<\/p>\nKaidah Kedua tentang Keringanan dalam Hukum Syariat<\/h3>\n Kaidah ini sangat terkenal karena sering dialami oleh Muslim ketika akan melakukan Ibadah ternyata kemudian diketahui cacatnya. Dalilnya adalah \u0627\u0644\u0636\u0631\u0631 \u064a\u0632\u0627\u0644 yang bermakna Bahaya harus dihilangkan. <\/em><\/p>\nMaka ketika membeli barang pembeli berhak untuk memilih barang yang akan dibeli guna menghindari cacat, dan Pernikahan sah bisa batal\/ rusak Akadnya ketika ditemukan cacat yang belum diketahui sebelumnya dan tidak bisa ditolerir.<\/p>\n
Kaidah Ketiga<\/h3>\n Bahwa Muslim diharuskan untuk menghindari bahaya dalam Ibadah. Menghindari bahaya harusnya menuju keamanan, maka kaidahnya adalah \u0627\u0644\u0636\u0631\u0631\u0644\u0627 \u064a\u0632\u0627\u0644 \u0628\u0627\u0644\u0636\u0631\u0631 yang artinya Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya. <\/em>Ilustrasinya ketika kita akan menolong orang kelaparan dan mengambil jatah orang lan yang juga sedang kelaparan.<\/p>\nKaidah Keempat<\/h3>\n Dalam kondisi darurat seorang Muslim diperbolehkan untuk melanggar hukum syariat, akan tetapi hanya bersifat temporer. Kaidah Ushul Fikihnya <\/em>adalah \u0627\u0644\u0636\u0631\u0648\u0631\u0627\u062a \u062a\u0628\u064a\u062d \u0627\u0644\u0645\u062d\u0638\u0648\u0631\u0627\u062a yang artinya Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang. <\/em>Syaratnya adalah kondisi darurat yang menyebabkan boleh, ketika Illat <\/em>hukumnya hilang, maka kebolehannya juga hilang.<\/p>\nKaidah ini sangat terkenal dikalangan Pesantren dan Orang Islam karena sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ilustrasinya ketika seorang tersesat dihutan dan kelaparan mendekati kematian, maka diperbolehkan untuk memakan hewan apapun yang ditemui walaupun hewan tersebut haram. Jika masih menemui hewan halal atau makanan lainnya tentu kaidah ini tidak berlaku.<\/p>\n
Kaidah Kelima<\/h3>\n Kaidah keringanan dalam Hukum syariat selanjutnya adalah \u062f\u0631\u0621 \u0627\u0644\u0645\u0641\u0627\u0633\u062f \u0645\u0642\u062f\u0645 \u0639\u0644\u0649 \u062c\u0644\u0628 \u0627\u0644\u0645\u0635\u0627\u0644\u062d artinya Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. <\/em><\/p>\nKaidah berlaku umum dalam setiap kondisi yang menghadapkan kerusakan pada Muslim dan mendapat manfaat maslahah, <\/em>maka dahulukan menghilangkan.<\/p>\nContohnya adalah ketika kita ingin mendapatkan sunnah <\/em>memasukan air wudhu kedalam hidung ketika puasa. Maka menolak batalnya puasa harus didahulukan, daripada mendapatkan sunnah <\/em>wudhu, karena dikhawatirkan air masuk kedalam tubuh.<\/p>\nKaidah Ushul Fikih <\/em>yang 4 lainnya tidak jauh aplikasinya dengan 5 yang sudah disebutkan. Keempat kaidah tersebut adalah \u0645\u0627 \u0627\u0628\u064a\u062d \u0644\u0644\u0636\u0631\u0648\u0631\u0629 \u064a\u0642\u062f\u0631 \u0628\u0642\u062f\u0631\u0647\u0627 bahwa Pembolehan ketika darurat bersifat temporer dan kadar terbatas.<\/p>\nKaidah tentang kebutuhan mendesak tercantum dalam kaidah \u0627\u0644\u062d\u062c\u0629 \u0642\u062f \u062a\u0646\u0632\u0644 \u0645\u0646\u0632\u0644\u0629 \u0627\u0644\u0636\u0631\u0648\u0631\u0629 sebagaimana tidak ada keharaman dalam melihat wanita yang dikhitbah.<\/p>\n
Keringanan dalam hukum syariat Islam juga mempertimbangkan adanya kerusakan. Kaidahnya adalah \u0627\u0630\u0627 \u062a\u0639\u0627\u0631\u0636 \u0627\u0644\u0645\u0641\u0633\u062f\u062a\u0627\u0646 \u0631\u0639\u064a \u0627\u0639\u0638\u0645\u0647\u0645\u0627 \u0636\u0631\u0631\u0627 \u0628\u0627\u0631\u062a\u0643\u0627\u0628 \u0627\u062e\u0641\u0647\u0645\u0627 jika ada dua problem maka pilih yang terkecil masalahnya.<\/p>\n
Nalar ini juga berlaku dalam hukum membunuh Perampok ketika berduel, karena hal ini mempunyai kandungan problem terkecil. Ash-Shawabu Minallah<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"PeciHitam.org –\u00a0Ushul Fikih mendasarkan nalar pikirnya kepada ayat al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Syariat Islam sendiri memiliki tujuan dalam kehidupan manusia agar masalahah, hidup dalam keteraturan dan harmoni. Guna mencapai tujuan syariat harus didasari dengan ketaatan dan keberimanan dalam menjalankannya. Syariat juga dibisa dikatakan sebagai hukum taklifi karena dibebankan kepada setiap muslim yang sudah berakal, […]<\/p>\n","protected":false},"author":16,"featured_media":56960,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[1691],"tags":[11774],"yoast_head":"\n
Keringanan dalam Hukum Syariat Menurut Kaidah Ushul Fiqih - Pecihitam.org<\/title>\n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n\t \n\t \n\t \n \n \n \n\t \n\t \n\t \n