Menurut Imam Al-Amidi asy-Syafi\u2019i dalam kitabnya yang berjudul\u00a0Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam<\/em>\u00a0(Juz IV: 347), menyebutkan bahwa ada dua syarat wajib dan satu syarat anjuran bagi mufti, antara lain:<\/p>\n

Pertama<\/em>, ahli ijtihad, yaitu orang yang mengetahui dalil-dalil logika, dan dalil-dalil\u00a0sama\u2019i\u00a0<\/em>(wahyu) dan jenis-jenisnya, juga perbedaan tingkatannya terkait arah penunjukan dalil-dalil tersebut, serta mengetahui\u00a0nasikh mansukh<\/em>, dalil-dalil yang saling bertolak belakang dan\u00a0tarjih\u00a0<\/em>terhadapnya, serta mengetahui tata cara merumuskan hukum dari dalil-dalil itu.<\/p>\n

Kedua<\/em>, bersifat adil dan terpercaya, sehingga jawaban hukum yang disampaikannya dapat dipercaya. Atas dasar inilah orang fasik tidak sah fatwanya.<\/p>\n

Ketiga<\/em>, syarat anjuran, dalam berfatwa itu tujuannya untuk memberikan arahan dan petunjuk kepada publik mengenai hukum\u00a0syara<\/em>\u2019, bukan motif atau orientasi\u00a0riya<\/em>\u2019 (pamer) dan\u00a0sum\u2019ah\u00a0<\/em>(ingin tenar). Mempunyai sifat tenang dan berwibawa, agar orang yang mendengarkannya bersemangat menerima yang ia sampaikan, dan menjaga diri dari menyakiti manusia, serta menjauhkan sikap yang dapat berakibat orang berpaling darinya.<\/p>\n

Syarat Mujtahid (Orang yang Memberi Ijtihad)<\/strong><\/h2>\n

Jika seseorang ingin memberikan ijtihad, fatwa ataupun menjawab masalah agama, ada banyak syarat yang harus ia penuhi terlebih dahulu. Setidaknya ada delapan syarat mujtahid, ditambah satu syarat bagi mufti, antara lain:<\/p>\n

\n
1. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu bahasa, nahwu<\/em>, sharaf<\/em>, ma\u2019ani<\/em>, bayan <\/em>dan uslub <\/em>bahasa, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab;<\/li>\n
2. Mengetahui makna ayat-ayat hukum Al-Qur\u2019an (sekitar 500 ayat hukum);<\/li>\n
3. Mengetahui hadis-hadis hukum, yaitu sekitar 500 (versi Imam Al-Mawardi), 3000 hadis (versi Ibnul \u2018Arabi), bahkan 300 ribu atau 500 ribu hadis (versi Imam Ahmad);<\/li>\n
4. Mengetahui\u00a0perihal ilmu nasikh\u00a0<\/em>dan\u00a0mansukh\u00a0<\/em>Al-Quran dan Sunnah, dalam ayat-ayat dan hadis-hadis tertentu;<\/li>\n
5. Mengetahui tempat-tempat ijma\u2019;<\/li>\n
6. Mengetahui qiyas<\/em> dan syarat-syaratnya, \u2018illat<\/em> hukum dan metode istinbat<\/em>-nya dari nash-nash, mengetahui kemaslahatan manusia dan prinsip-prinsip universal bagi syara\u2019<\/em>;<\/li>\n
7. Menguasai ilmu ushul al-fiqh;<\/li>\n
8. Paham maqasid asy-syariah<\/em> yang bersifat universal (fahmu maqasid asy-syariah al-\u2018ammah<\/em>);<\/li>\n
9. Berintegritas, bersifat adil, yakni menjauhi kemaksiatan yang merusak sifat adil. Sungguh pun ketatnya syarat ijtihad itu, ijtihad partikular mengenai suatu bidang tertentu (tajazzu\u2019 al-ijtihad<\/em>), bagi orang yang menguasai satu bidang tertentu, bukan bidang yang lain, boleh berijtihad dalam lingkup bidangnya itu.<\/li>\n<\/ol>\n

   Tiga Perangkat Metodologis<\/strong><\/h2>\n

   Merujuk tulisan Ustadz Ahmad Ali MD pada laman islam.nu.or.id, ketika seseorang hendak menjawab pertanyaan hukum, ijtihad maupun fatwa, setidaknya ada tiga perangkat metodologis yang harus diperhatikan, antara lain:<\/p>\n

   Pertama,\u00a0Tahqiq al-Manath<\/em>, yakni upaya mengidentifikasi dan memverifikasi substansi obyek hukum sehingga dapat menghindari kesalahan\u00a0teknis dalam penyesuaian antara satu hukum dengan obyeknya. Menekankan urgensi seorang mujtahid memahami dan mendalami sesuatu\/peristiwa (kasus) yang sedang terjadi<\/p>\n

   Kedua,\u00a0I\u2019tibar Ma\u2019alat al-Ahkam<\/em>, yakni mempertimbangkan dan memantau kondisi aplikasi hukum yang telah ditempuh pada perangkat\u00a0Tahqiqul Manath<\/em>. Memahami dan mempertimbangkan dampak atau implikasi hukum yang akan terjadi (mutawaqqa<\/em>\u2019): menarik maslahat<\/em> atau justru menyebabkan mafsadat<\/em>.<\/p>\n

   Ketiga,\u00a0Mura\u2019at al-taghayyurat<\/em>, yakni memantau perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam realita, karena kebijaksanaan hukum dapat berubah berdasarkan perubahan waktu, tempat, kondisi, motivasi, dan adat-istiadat\/tradisi. Dalam konteks ini, perlu\u00a0mura\u2019at al-khilaf<\/em>, yakni mempertimbangkan ikhtilaf ulama mengenai suatu hukum.<\/p>\n

   Lima Parameter Memahami Hukum<\/strong><\/h2>\n

   Lebih lanjut, beliau juga menambahkan lima parameter memahami hukum yang dirumuskan oleh Prof Dr Khalid Abul Fadhl (pakar hukum Islam kontemporer) dalam karyanya\u00a0Speaking in God\u2019s Name: Islamic Law, Authority and Women<\/em>.<\/p>\n

   Lima parameter ini dibutuhkan agar pemahaman, menjawab masalah agama, dan penerapan hukum Islam itu, bersifat otoritatif dan tidak otoriter (sewenang-wenang).<\/p>\n

   Pertama, melakukan kejujuran (honesty<\/em>), yakni seseorang dalam merumuskan dan\/atau menjawab pertanyaan hukum tidak bersikap pura-pura memahami sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi bersikaplah jujur mengenai wawasan dan kemampuannya dalam memahami hukum.<\/p>\n

   Kedua, kesungguhan (diligence<\/em>), yakni penuh tanggung jawab agar tidak mencederai yang berhak menerima hak.<\/p>\n

   Ketiga, melakukan pertimbangan secara menyeluruh (comprehensiveness<\/em>), yakni mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait.<\/p>\n

   Keempat, melakukan rasionalitas (reasonableness<\/em>), yakni melakukan interpretasi (penafsiran) dan menganalisis hukum itu secara rasional (logis).<\/p>\n

   Kelima, mengendalikan diri (self-restraint<\/em>), yakni harus mengenal batasan peran yang dimiliki, sehingga dapat menahan diri untuk tidak menarik kesimpulan mengenai suatu persoalan ketika bukti-buktinya tidak mencukupi.<\/p>\n

   Melihat berbagai macam syarat yang harus dipenuhi ketika akan menjawab masalah agama ataupun hukum Islam di atas, tentunya tujuannya agar dapat menyaring dan menyeleksi agar jawaban yang disampaikan tidak sembarangan ataupun ngawur.<\/p>\n

   Tidak ada lagi ustadz karbitan yang bicara seenaknya, seperti mengharamkan genre film, mengharamkan sebuah game, menuduh lagu anak-anak anti Islam dan sebagainya.<\/p>\n

   Oleh karena itu, posisi Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) menjadi satu contoh dan model lembaga yang penting dan otoritatif untuk dimintai pandangan hukumnya terkait masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat. Ash-Shawabu Minallah<\/em>.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

   PeciHitam.org – Hari ini siapapun bisa mengakses segala informasi dari belahan bumi manapun hanya dengan menggunakan smartphonenya. Hanya dengan menggoyang-goyangkan jempolnya, informasi yang dikehendaki pun terpapar. Namun di sisi lain, banyak pula terdapat informasi yang terkesan ngawur dan tanpa dasar pertimbangan yang mumpuni. Hal ini tentu hanya akan memperkeruh suasana. Seperti halnya konten ceramah yang […]<\/p>\n","protected":false},"author":16,"featured_media":57709,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[7],"tags":[11884],"yoast_head":"\n