Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Jika Nabiyullah Ibrahim as. pernah mengikhlaskan putranya (Nabi Ismail) sebagai kurban untuk disembelih atas perintah Allah. Maka hal yang sama juga pernah terjadi pada Abdullah (ayah Nabi Muhammad) sebagai wujud nadzar Abdul Muthalib (kakek Nabi) kepada Allah<\/p>\n\n\n\n Lantas jika itu sebuah nadzar, mengapa Nabi Muhammad Saw tetap lahir ke dunia dan menjadi rahmat untuk seluruh umat manusia? Apakah nadzar tersebut dilanggar oleh sang kakek, Abdul Muthalib?<\/p>\n\n\n\n Biar nggak penasaran, mari dibaca dengan seksama kisah lengkapnya.<\/p>\n\n\n\n Abdullah bin Abdul Muthalib digambarkan sebagai pemuda berwajah tampan dan menarik. Selain itu Abdul Muthalib juga disegani oleh kaum Quraisy karena kebijaksanaannya, kemampuannya dan kewibawaannya.<\/p>\n\n\n\n Keluarga bani Hasyim memang terkenal kaya dan juga dermawan. Suatu ketika Abdul Muthalib dipilih menjadi pengganti pamannya (Muthalib) untuk memegang tanggung jawab menyediakan kebutuhan untuk jamaah haji. <\/p>\n\n\n\n Awalnya semuanya terasa baik-baik saja, namun ada satu hal yang membuat Abdul Muthalib merasa sangat miskin, yakni hanya dikaruniai satu anak laki-laki saja.<\/p>\n\n\n\n Karena satu saja dirasa tidak cuku, kondisi tersebut membuat Abdul Muthalib tak henti-hentinya berdoa kepada Allah untuk memberinya beberapa anak laki-laki lagi.<\/p>\n\n\n\n Doa tersebut lantas dikuatkan dengan sebuah nadzar: “Jika dianugerahi 10 anak laki-laki yang tumbuh hingga dewasa, maka ia akan mengorbankan salah satu di antara sepuluh anaknya kepada Allah.”<\/p>\n\n\n\n Tak dinyana, doa Abdul Muthalib dikabulkan oleh Allah. Ia kemudian dianugerahi sembilan anak laki-laki lagi, sehingga total seluruh anak laki-lakinya berjumlah genap sepuluh.<\/p>\n\n\n\n Semua putranya tumbuh sehat hingga dewasa dan yang paling ia sayangi adalah putra bungsunya, yakni Abdullah. Namun ketika Abdullah semakin tumbuh dewasa, nadzar yang pernah diungkapkan berhasil menghantui hari-hari Abdul Muthalib. <\/p>\n\n\n\n Ia beranggapan bahwa mungkin Allah lebih menyayangi Abdullah sehingga akan memilihnya untuk dijadikan pengorbanan sebagai wujud realisasi nadzarnya.<\/p>\n\n\n\n Abdul Muthalib adalah sosok yang selalu menepati janji. Oleh sebab itu, suatu hari ketika semua anaknya telah dianggap benar-benar siap, ia pun menyampaikan nadzarnya di hadapan putra-putranya. Mereka semua tak punya pilihan kecuali setuju, karena janji ayah adalah janji anak juga.<\/p>\n\n\n\n Keesokan harinya Abdul Muthalib memerintahkan setiap anaknya untuk membuat nama pada sebuah anak panah. Selanjutnya, Abdul Muthalib mengundang pengundi panah resmi Quraisy untuk hadir di Ka\u2019bah.<\/p>\n\n\n\n Abdul Muthalib menyuruh semua anaknya memasuki tempat suci tersebut dan menyampaikan perihal nadzarnya tersebut kepada Juru qid-h (pengundi panah). Dengan menyebut nama Allah, anak panah tersebut diundi dan yang keluar adalah anak panah milik Abdullah.<\/p>\n\n\n\n Dengan berurai air mata, Abdul Muthalib menggandeng Abdullah dengan sebilah pisau besar di tangannya. Abdul Muthalib melaksanakan nadzar ini tanpa sepengetahuan istri-istrinya. Dan ketika Fatimah dari Bani Makhzum (Ibu dari Abdullah, Abu Thalib, dan Zubayr) mengetahui hal tersebut, ia menentang keras keputusan sang suami.<\/p>\n\n\n\n Ketika Abdul Muthalib dan Abdullah sudah bersiap-siap melakukan pengorbanan, tumbal, Mughirah (Kepala Suku Bani Makhzum) berkata:<\/p>\n\n\n\n \u201cJangan korbankan dia, kita akan mencari penggantinya walaupun dengan seluruh kekayaan Makhzum.\u201d<\/p>\n\n\n\n Seluruh orang yang hadir di Ka\u2019bah pun sepakat untuk tidak mengorbankan Abdullah. Karena khawatir jika tradisi ini akan berlanjut dan diikuti orang-orang lain di kemudian hari.<\/p>\n\n\n\n Akhirnya, Abdul Muthalib setuju untuk mengkonsultasikan masalah ini kepada perempuan bijak di Yatsrib terlebih dahulu tentang persembahan lain yang dapat menggantikan putranya: Abdullah.<\/p>\n\n\n\n Setelah bertemu dengan perempuan bijaksana tersebut, Abdul Muthalib disarankan untuk menempatkan Abdullah di samping seluruh hewan peliharaannya (sepuluh ekor unta), lalu mengundinya.<\/p>\n\n\n\n Jika anak panah masih terjatuh atas nama Abdullah, maka tambahkan sepuluh ekor unta lagi dan begitu seterusnya hingga undian anak panah terjatuh pada unta-unta tersebut. Abdul Muthalib lalu kembali lagi ke Mekkah dengan hati sangat berharap kepada Allah agar merelakan pergantian pengorbanan tersebut.<\/p>\n\n\n\n Pengundian mulai dilakukan dan anak panah masih terjatuh di depan Abdullah, maka ditambahkan sepuluh ekor unta lagi. Pengundian dilakukan lagi dan anak panah masih terjatuh di depan Abdullah lagi. Begitu seterusnya, hingga jumlah unta yang terkumpul mencapai seratus ekor.<\/p>\n\n\n\n Dengan jumlah seratus ekor unta, barulah anak panah terjatuh di hadapan para unta. Abdul Muthalib tetap merasa perlu berhati-hati. Ia pun meminta pengulangan undian hingga tiga kali dan memang anak panah terjatuh di hadapan unta. Hal tersebut meyakinkan Abdul Muthalib bahwa Allah telah menerima penebusannya dan Abdullah tidak jadi menjadi tumbal.<\/p>\n\n\n\n