Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Barangkali dari kita sering mendengar keluarga muslim yang anaknya dianggap bandel atau kurang berprestasi kemudian mengirim (atau mengancam akan mengirim) mereka ke pesantren. Memang bagi beberapa anak, masuk ke pondok pesantren terkesan seperti masuk penjara, sehingga ancaman orang tua yang demikian terdengar menakutkan.<\/p>\n\n\n\n Citra pesantren sebagai tempat pembuangan bagi anak nakal ini memang agak kurang mengenakkan sebetulnya. Namun kisah Kiai Haji Ahmad Umar Abdul Mannan, pengasuh dan salah satu kiai generasi pertama Pondok Pesantren Al Muayyad Solo Jawa Tengah bisa memberi gambaran bagaimana pesantren memang tempat mendidik dan mengasah akhlak para santri.<\/p>\n\n\n\n Pondok pesantren Al Muayyad Solo ini dipimpin oleh Kiai Ahmad Umar Abdul Mannan atau dikenal dengan panggilan Kiai Umar. Di pondok pesantren ini, kita akan menemukan kisah melegenda tentang cara kiai dan ustadz menghadapi santri-santri yang nakal. Namun karena barakahnya, di kemudian hari santri tersebut akhirnya menjadi kiai yang juga punya pondok pesantren dengan ribuan santri.<\/p>\n\n\n\n Meski Kiai Umar tidak begitu dikenal secara nasional apalagi di kalangan non-santri, pada era 1980-an. Namun Mbah Kiai Ma\u2019shum Lasem<\/strong><\/a> menganggap Kiai Umar sebagai sosok penting di tanah Jawa, selain KH. Arwani Amin dari Kudus, KH. Abdul Hamid dari Pasuruan, dan Habib Anies Alwi Al-Habsyi dari Solo.<\/p>\n\n\n\n Mengapa nama Kiai Ahmad Umar Abdul Mannan jarang dikenal oleh masyarakat umum? Mungkin karena sejak dulu beliau enggan ikut serta dalam urusan politik. Termasuk politik PBNU.<\/p>\n\n\n\n Meski cukup banyak pengurus NU yang datang dan mencoba mendekati Kiai Umar untuk masuk politik, namun beliau menolaknya. Sikapnya yang kerap menghindari persoalan politik ini adalah ciri khasnya<\/p>\n\n\n\n Seperti dikutip laman NU, Kiai Umar pernah berkata, \u201cOrang itu pangkatnya lain-lain. Ada yang pangkatnya memikirkan NU, ada yang pangkatnya mengurusi NU. Lha kita ini baru sampai pangkat mengamalkan NU. Ya sudah, jadi bagian kita ini saja kita laksanakan. Mengajar santri, memelihara orang kampung. Jangan terlalu banyak orang memikirkan dan mengurusi NU, tapi sedikit mengamalkannya,\u201d ujar Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n Suatu hari kepala pengurus pondok (biasa disebut Lurah Pondok) merasa pusing bukan kepalang mengatasi santri-santri nakal yang kerap membikin ulah. Maka, sang lurah pun melaporkan masalah ini kepada Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n Mendapat laporan soal santri-santri yang nakal ini, Kiai Umar kemudian memanggil Lurah Pondok. \u201cKang, tolong catat nama santri-santri yang nakal ya? Diranking ya? Paling atas paling nakal. Urutannya, paling nakal, nakal sekali, nakal, agak nakal.\u201d kata Kiai Umar<\/p>\n\n\n\n Mendapati perintah demikian, Lurah Pondok merasa senang bukan kepalang. Dalam bayangan Lurah Pondok, beban sebagai seorang kepala pengurus pesantren bisa sedikit berkurang. Setidaknya, tidak akan melihat lagi para santri nakal, pikirnya.<\/p>\n\n\n\n \u201cKapokmu kapan lee. Dikasih tahu pengurus pondok ngeyel saja. Sekarang namamu tak tulis pakai spidol besar-besar,\u201d kata Lurah Pondok girang sekembalinya ke kantor pengurus pondok.<\/p>\n\n\n\n Dengan semangat Lurah Pondok menulis beberapa nama santri nakal. Setelah selesai mendaftar beberapa nama santri Nakal, ia langsung melapor. \u201cIni, Kiai,\u201d katanya kepada Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n Lurah Pondok kemudian pamit dan menunggu keputusan Kiai Umar. Seminggu, dua minggu, tiga minggu. \u201cKok tidak apa-apa?\u201d batin Lurah Pondok, heran.<\/p>\n\n\n\n Santri-santri nakal itu masih saja berkeliaran di pesantren. Jangankan diusir atau dikeluarkan dari pesantren, dipanggil ke Ndalem (rumah kiai) untuk menghadap Kiai Umar saja tidak.<\/p>\n\n\n\n Akhirnya karena penasaran, Lurah Pondok lantas memberanikan diri sowan untuk bertanya, \u201cPak Kiai, nyuwun sewu.\u201d<\/p>\n\n\n\n \u201cIya kenapa?\u201d tanya Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n \u201cItu, Pak Kiai, santri-santri nakalnya kok belum diusir dari pondok?\u201d tanya Lurah Pondok.<\/p>\n\n\n\n \u201cLho? Siapa? Santri yang mana?\u201d<\/p>\n\n\n\n \u201cItu, santri yang kemarin saya catat nama-namanya dan saya serahkan ke Pak Kiai.\u201d<\/p>\n\n\n\n \u201cLho, kok diusir emang kenapa?\u201d tanya Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n \u201cLha, kan itu santri nakal-nakal,\u201d jawab Lurah Pondok semakin bingung.<\/p>\n\n\n\n Kiai Umar hanya tersenyum mendengar pertanyaan Lurah Pondok. \u201cKang, mereka ini, santri-santri mbeling ini, mereka dipondokkan justru karena mereka nakal. Dipondokkan itu memang supaya tidak nakal,\u201d kata Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n Lurah Pondok bingung. Lalu buat apa panjenengan perintahkan saya mencatat nama-nama santri yang nakal ini? tanya Lurah Pondok.<\/p>\n\n\n\n \u201cKang, kamu kan tahu sendiri kalau setelah salat tahajud, doaku ya mendoakan seluruh santri-santriku semua. Nah, catatan nama-nama itu tak bawa, untuk khususon. Biar diprioritaskan,\u201d terang Kiai Umar.<\/p>\n\n\n\n Mendengar penjelasan itu, Lurah Pondok manggut-manggut, tanda paham.<\/p>\n\n\n\n Kiai Umar memang punya cara sendiri untuk mendidik santri nakal. Bahkan, tidak jarang beliau memanggil santri nakal ke ndalem-nya dan dijamu dengan makanan yang enak-enak. Diajak bicara baik-baik, sampai si santri merasa bersalah dan akhirnya mau memperbaiki diri.<\/p>\n\n\n\n Kisah inilah yang kemudian menginspirasi Lurah Pondok yang di kemudian hari menerapkan cara yang sama dalam menghadapi santri nakal di pesantren yang diasuhnya. Lurah Pondok ini adalah KH. Baidlowi Syamsuri pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabu, Purwodadi, Jawa Tengah.<\/p>\n\n\n\n Bukan hanya mendoakan, Kiai Baidlowi juga sering menggunakan cara yang sama dengan Kiai Umar: menjamu santri nakal makan di kediamannya untuk diajak bicara dan dinasehati baik-baik.<\/p>\n\n\n\nKisah Santri Nakal<\/strong><\/h2>\n\n\n\n