Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831
{"id":61643,"date":"2020-07-18T05:00:00","date_gmt":"2020-07-17T22:00:00","guid":{"rendered":"https:\/\/pecihitam.org\/?p=61643"},"modified":"2020-07-17T22:25:43","modified_gmt":"2020-07-17T15:25:43","slug":"taqlid-yang-dianggap-haram","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/www.pecihitam.org\/taqlid-yang-dianggap-haram\/","title":{"rendered":"Meluruskan Masalah Taqlid yang Dianggap Haram oleh Sebagian Kalangan"},"content":{"rendered":"\n

Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Pada dasarnya kita pasti tahu bahwa, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama orang yang \u2019alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu). Kedua orang \u2019awam (yang kurang mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan).<\/p>\n\n\n\n

Dari sini cukup jelas, bahwa orang yang tidak paham butuh bantuan yang pintar untuk menjelaskan suatu permasalahan. Di dalam literatur fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlid atau ittiba.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya ada yang mengatakan dengan serampangan bahwa taqlid itu haram dengan alasan lebih mengikuti pendapat ulama dan tidak mengikuti al Quran dan sunnah nabi. Ulama kan bisa salah sedangkan Al Quran dan sunnah itu pasti benar, kata mereka.<\/p>\n\n\n\n

Pemahaman ini perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Mari kita lihat, Syaikh Muhammad Sa\u2019id Ramadhan al\u2010Buthi <\/a><\/strong>mengidentifikasikan taqlid sebagai berikut,<\/p>\n\n\n\n

“Taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.\u201d (Al\u2010Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid\u2019ah al\u2010syari\u2019ah al\u2010Islamiyyah, 69)<\/em><\/p>\n\n\n\n

Memang benar, Taqlid itu hukumnya haram, namun keharaman ini diperuntukan bagi seorang mujtahid. Sedangkan bagi orang yang awam yang bukan mujtahid wajib hukumnya untuk taqlid. <\/p>\n\n\n\n

Imam Suyuthi<\/strong><\/a> mengatakan: \u201dKemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT: (QS. Al\u2010Anbiya\u2019 7), \u201dBertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.\u201d (Al\u2010Kawkab al\u2010Sathi\u2019 fi Nazhmi al\u2010Jawami 492)<\/p>\n\n\n\n

Istilah lain dari taqlid adalah ittiba\u2019, karena keduanya mempunyai arti yang sama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Ramadhan al Buthi, “Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba\u2019. Sebab dua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adnya perbedaan secara bahasa antara keduanya.\u201d (Al\u2010Lamazhabiyyah Akhtharu Bid\u2019ah Tuhaddid al\u2010Syari\u2019ah al\u2010Islamiyah,69)<\/p>\n\n\n\n

Taqlid kepada ulama yang memiliki ilmu agama juga merupakan perintah dari Allah Swt, hal ini secara jelas tercantum dalam firman-Nya:<\/p>\n\n\n\n

\u201cMaka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui\u201d. (An Nahl 43).<\/em><\/p>\n\n\n\n

Para ulama telah sepakat bahwa ayat diatas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti (taqlid) kepada orang yang memahaminya. Seluruh ulama ushul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid pada mujtahid.<\/p>\n\n\n\n

Al-Allamah Thayyib bin Abi Bakr al\u2010Hadhrami menegaskan \u201cOrang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber\u2010taqlid.\u201d (Mathlab al\u2010 Iqazh fi al\u2010Kalam al\u2010Syai\u2019in min Ghurar al\u2010Alfazh, 87)<\/p>\n\n\n\n

Adapun Taqlid dari segi Ijma\u2019 di zaman sahabat menunjukkan bahwa para sahabat Nabi Saw. antara satu dengan yang lain tidak sama tingkatan ilmunya dan tidak kesemua-nya ahli fatwa. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun<\/a><\/strong>. <\/p>\n\n\n\n

Dan masalah agama pun tidak diambil dari mereka semua. Diantara mereka ada yang jadi mufti atau mujtahid , tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum agama, tidak selalu menerangkan dalil\u2010dalil nya kepada yang meminta fatwa.<\/p>\n\n\n\n

Rasulullah Saw telah mengutus para sahabatnya yang ahli hukum kedaerah\u2010daerah yang penduduknya tidak mengenal Islam, selain hanya mengetahui akidah dan rukun\u2010 rukunnya saja. Kemudian para penduduk daerah tersebut mengikuti fatwa utusan Rasulullah Saw dengan mengamalkan ibadah dan muamalah, serta segala macam urusan yang ada sangkut \u2013paut nya dengan halal dan haram.<\/p>\n\n\n\n

Apabila para sahabat utusan Nabi menjumpai masalah yang tidak ditemukan dalil-nya dari Al Kitab dan as Sunnah, mereka akan melakukan ijtihad dan memberi fatwa menurut petunjuk dari hasil ijtihadnya. Selanjutnya, penduduk setempat mengikuti fatwa tersebut. Hal di atas sebagaimana riwayat ketika sahabat Mua\u2019dz dikirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman sebagaimana berikut:<\/p>\n\n\n\n

\u201cDari sahabat Mu\u2019adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu\u2019adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu\u2019adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu\u2019adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu\u2019adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu\u2019adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai\u2010Nya.”<\/em><\/p>\n\n\n\n

Imam al Ghazali<\/strong><\/a> dalam kitabnya Al Mustaasyfa pada bab taqlid dan istifta (meminta fatwa): \u201cDalil orang awam harus taqlid ialah ijma\u2019 sahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam, tanpa memerintahkannya mencapai darajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama\u2019 maupun para awam\u201d.<\/p>\n\n\n\n

Imam Al Aamidi berkata dalam kitabnya Al Ahkaam fii ushulil Ahkaam: \u201cAda pun dalil taqlid dari segi ijma\u2019 ialah orang awam zaman sahabat dan tabi,in sebelum timbul golongan menentang, selalu meminta fatwa kepada para mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan hukum syariat. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan \u2010 pertanyaan tanpa menyebut kan dalil\u2010dalinya dan tidak ada seorang pun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma\u2019 bahwa seorang awam boleh mengikuti mujtahid secara muthlak \u201c.<\/p>\n\n\n\n

Syekh Abdullah Darraz mengatakan: \u201cDalil taqlid dari segi akal pikiran ialah bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum, ada dua kemungkinan.<\/p>\n\n\n\n