Ilmu Ushul yang Semakin Terkikis<\/strong><\/h2>\nAl-Qur’an yang bersifat universal dan sh\u00e2lih li kulli zaman wa makan<\/em> (relevan di segala waktu dan tempat) harusnya tidak dipahami dan diacu sebagai kaidah mati, dalam arti semua ketentuan hukum dalam al-Qur’an harus diterapkan dalam kehidupan praksis dengan tanpa melihat kondisi dan situasi masyarakat sekitar, dengan konsekuensi melakukan tambal sulam terhadap hal-hal yang dirasa bertentangan.<\/p>\nKondisi seperti ini semakin parah dengan adanya pihak yang coba memahami ayat-ayat (kewarisan) hanya dalam kerangka adat masyarakat Arab masa Nabi, sehingga membawa implikasi pada terjadinya benturan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang memiliki sistem dan bentuk kekeluargaan yang berbeda.<\/p>\n
Penggunaan ilmu kontemporer (antropologi) sebagai kerangka acu tambahan dalam pola kerja pemikiran hukum Islam Hazairin ternyata telah membuat posisi ushul fiqh menjadi terpinggirkan.<\/p>\n
Pendekatan yang tidak lazim ini menjadi problem tersendiri dan bisa dikatakan sebagai faktor penyebab mengapa pemikiran Hazairin ini kurang mendapatkan respons positif dan proporsional dari masyarakat luas. Bahkan pemikiran ini banyak mendapat tantangan dari kalangan ulama NU.<\/p>\n
Hazairin sendiri memahami dan mengakui keberadaan fikih dan juga ushul fiqh sebagai produk dan metode pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan makhluk hidup lainnya, dan antara manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil pemikiran, fikih bisa melahirkan norma (hukum).<\/p>\n
Sedangkan ushul fiqh sebagai pokok fikih adalah spare part yang mampu menggerakkan pemikiran ijtihad dengan landasan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas.<\/p>\n
Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqih, dan dengan demikian senantiasa akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi maupun metode pengembangannya.<\/p>\n