Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Ajaran Islam di wilayah\u00a0 Nusantara sebelum kemunculan Walisanga, keadaan umat Islam di penjuru wilayah nusantara saat itu,\u00a0 mengalami krisis aqidah membuat Umat Islam kemunduran. <\/p>\n\n\n\n Umat Islam ketika itu, banyak melakukan kegiatan ritual keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti: menyembah berhala ,syirik dan kegiatan lainnya. Ajaran\u00a0 Hindu-Budha yang melekat dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Islam selama berabad-abad lamanya.<\/p>\n\n\n\n Melihat hal ini mendorong para Walisanga<\/a> menyebarkan ajaran Islam, dengan melakukan metode- metode dakwah\u00a0 yang bersifat bijak, dan mereka memperkenalkan Islam tidak secara serta merta, tidak instant dan merumuskan strategi jangka panjang. <\/p>\n\n\n\n Salah satu mengembangkan ajaran Islam lewat beberapa langkah strategis, yaitu Tadrij (bertahap ), Adamul Haraj (tidak menyakitkan).<\/p>\n\n\n\n Lewat cara ini para wali membawa Islam tidak mengusik tradisi mereka, bahkan tidak juga mengusik agama serta kepercayaan mereka. <\/p>\n\n\n\n Multietnis, multibudaya dan multibahasa menjadi alasan para wali mempertahankannya disaat mereka menyebarkan ajaran Islam. <\/p>\n\n\n\n Pada masa itu, ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat sesuai adat budaya dan kepercayaan melalui proses asimilasi dan sinkretisasi.<\/p>\n\n\n\n Metode dakwah<\/a> yang dibawa oleh para Walisanga tersebut demikian unikunik, dan damai membuat mereka tertarik yang akhirnya banyak di antara mereka berpindah agama\u00a0 dan masuk ajaran Islam. <\/p>\n\n\n\n Ketika ajaran Islam mulai diterima dikalangan masyarakat saat itu, kebiasaan atau adat istiadat yang lama masih tetap mereka lakukan, sehingga terjadi campur baur antara kebiasaan adat istiadat ajaran Hindu-Budha dengan ajaran Islam.<\/p>\n\n\n\n Campur baur, antara ajaran Hindu-Budha, dan\u00a0 ajaran Islam yang telah mengakar kuat dikalangan masyarakat membuat sulit dipisahkan, antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi ajaran Hindu-Budha. <\/p>\n\n\n\n Kemunculan Walisanga pada awal tahun 1500 M menjadi awal kebangkitan Islam di wilayah nusantara. Kebangkitan Islam di wilayah nusantara bersamaan dengan munculnya Walisanga membuat masyarakat Islam mengalami kemajuan pola hidup yang lebih baik. <\/p>\n\n\n\n Kehidupan masyarakat Islam kala itu terlihat dari pola pikir, etika, gaya hidup, meski mereka belum bisa menghilangkan tradisi,adat kebiasaan ajaran Hindu-Budha masa lalu. <\/p>\n\n\n\n Keadaan ini terjadi mengingat para Walisanga tidak menghilangkan kebiasaan- kebiasaan tradisi ajaran Hindu-Budha ketika para Walisanga menyebarkan ajaran Islam sehingga lambat laun muncul tradisi budaya baru, yaitu tradisi budaya Islam .\u00a0<\/p>\n\n\n\n Hal ini terjadi pada akhir abad ke-14, atau awal abad ke-15, yang saat itu hampir semua masyarakat di pesisir pantai utara Pulau Jawa memeluk agama Islam. Tidak lain diyakini sebagai hasil dakwah dari Walisongo. <\/p>\n\n\n\n Dakwah yang dilakukan Walisanga ketika itu mampu melakukan perubahan dari agama sebelumnya Hindu-Budha menjadi muslim dalam jangka 50 tahunan.<\/p>\n\n\n\n 50 tahun tidaklah waktu yang sebentar! Lantas bagaimana strategi Walisanga sampai akhirnya disebut mampu mengislamkan semua\u00a0 masyarakat di pesisir pantai utara Pulau Jawa?. <\/p>\n\n\n\n Kesemuanya itu terungkap secara jelas dalam buku, “Islam Indonesia,Islam Paripurna:Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional (Imdadun Rahmat, 2017)<\/p>\n\n\n\n Setidaknya ada 5 pendekatan dakwah yang digunakan Walisanga: Pertama, Maulana Malik Ibrahim<\/a> dan Sunan Ampel<\/a> yang disebut melakukan pendekatan\u00a0 teologis. Mereka berdakwah sampai hingga tingkat lapisan masyarakat paling bawah. <\/p>\n\n\n\n Cara menyebarkan ajaran Islam di kalangan bawah, yaitu: masyarakat diajari tentang nilai-nilai Islam, perbedaan antara pandangan hidup Islam dengan lainnya, serta menanamkan dasar-dasar Islam.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Kedua, Sunan Giri<\/a> yang disebut menggunakan pendekatan ilmiah, salah satunya membangun pesantren, membuat pelatihan, hingga pengkaderan, dan menugaskan muridnya untuk berdakwah\u00a0 di suatu tempat. <\/p>\n\n\n\n Pendekatan lain yang sering digunakan Sunan Giri dalam berdakwah , yaitu: menciptakan permainan anak-anak mulai dari Jemblongan hingga permainan padang bulan<\/p>\n\n\n\n Ketiga, Pendekatan kelembagaan, dalam arti para wali tidak semua berdakwah di masyarakat langsung. Namun, ada juga yang berdakwah dibidang pemerintahan salah satunya Sunan Kudus<\/a>. <\/p>\n\n\n\n Sunan Kudus yamg\u00a0 ikut terlibat langsung dalam kesultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati<\/a>. Mereka ikut serta mendirikan kesultanan dan aktif di dalamnya. Keberadaan mereka\u00a0 memiliki pengaruh besar di kalangan bangsawan, birokrat, pedagang, dan lainnya.<\/p>\n\n\n\n Keempat, Sunan Muria<\/a> dan Sunan Drajat<\/a> dikenal cara dakwahnya\u00a0 dengan pendekatan sosial. Kedua anggota Walisanga ini lebih senang hidup jauh dari keramaian dan memilih berdakwah pada masyarakat yang tinggal di desa-desa atau kampung-kampung. Meningkatkan pemahaman keagamaan menjadi sasaran Sunan Drajat dan Sunan Muria sebagai upaya meningkatkan kehidupan sosial.<\/p>\n\n\n\n Kelima yang disebut pendekatan kultural. Sunan Kalijaga dan Sunan Muria dikenal dakwahnya dalam pendekatan kultural. Islamisasi budaya dengan menyisipkan ajaran-ajaran Islam hingga muncul budaya-budaya baru yang mengandung nilai-nilai Islam. <\/p>\n\n\n\n Gamelan Sekaten, gapura masjid hingga baju takwo merupakan contoh dari produk budaya dari Sunan Kalijaga dan Sunan Muria di masa itu\u00a0<\/p>\n\n\n\n Saat pendekatan kultural berlangsung, budaya Hindu-Budha yang telah mengakar kuat di kalangan masyarakat kala itu membuat terjadi sinkretisme, hingga pada akhirnya akulturasi budaya baru tak bisa dihindari. <\/p>\n\n\n\n