Pecihitam.org<\/a><\/strong> – Spiritualitas manusia sudah menjadi trend komoditi bentuk yang bebas dan membebaskan, ia kadang seolah merubahkan diri menjadi penjara dalam rongga dada dari pada sebuah keutamaan. <\/p>\n\n\n\n Artinya bila manusia gagal memaknai, ia akan memvonis setiap kejadian sesuai kehendaknya. <\/p>\n\n\n\n Tentu hal ini merobek rakitan kedewasaan yang seharusnya menjadi tunggangan spiritual, bak mengusang dan mengelupas sampai bersembunyi di rongga ufuk dunia, meredum terbang entah kemana.<\/p>\n\n\n\n Kebenaran sejati yang sudah dititahkan milik Tuhan, sering dikobarkan nalar sporadis manusia yang beranaluri kelam. Ia kadang menerobos angkuh, menghantam kromo norma sosial, bahkan “menduakan” perilaku sopan sebagai atribut bernegara. <\/p>\n\n\n\n Kesatuan Nusantara yang telah lama sekali mati-matian dirajut para ulama dan negarawan besar, perlahan mengerucut dijadikan “candaan” oleh barisan manusia serampangan. Kitapun mulai khawatir, apakah ini yang digariskan Tuhan:\u00a0<\/p>\n\n\n\n Hematnya, mahligai mega bernama Nusantara sah dalam pandangan dunia, namun dihuni oleh mayoritas roh benawat yang berakal pekat, akhirnya tercerai berai. <\/p>\n\n\n\n Ini disebabkan oknum individu hingga kelompok yang tidak pandai bersandiwara, enggan mau menguatkan dialogi yang kompromistis. Ada sebagian ‘geng’ fanatisme yang ingin mendaulatkan formalisasi hukum agama, juga sebagian lain upaya ingin menawarkan istilah model pembaharuan hukum agama.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Media massa nasional yang seharusnya sebagai subyek pengendali akal budi, semakin menampilkan gaya hidup tanpa kendali. Koran, internet, hingga televisi sesungguhnya telah didikte sebagai agen biro iklan daripada sebagai tempat pebentukan opini, pikiran politik dewasa dan pesan-pesan moral. <\/p>\n\n\n\n Tak ayal, dalam konten media-media itu dikiblatkan dan manusia sebagai anggota tetap budaya konsumerisme kekinian, karena kehabisan energi untuk bertahan dari pengaruh pasar dunia.<\/p>\n\n\n\n Praktek eksploitasi sumber daya manusia, akhirnya, terus terkeruk menjadi isu “purbakala” yang bernama kapitalisme.\u00a0 Sangat mahal untuk menjungkal model tersebut karena bisa mengorbankan banyak manusia, kecuali dengan etika kemakmuran sambil mengadopsi sistem ekonomi yang ada. <\/p>\n\n\n\n Di lain sisi, ketika masyarakat dihadapkan isu sentimen, seperti rumput kering, dilempar puntung rokok menyala saja mudah tersinggung dan terbakar, menjelma jadi “LSM” dadakan yang kasar.<\/p>\n\n\n\n Agama atau kepercayaan sewajarnya adalah lambang identitas kolektif dan berkepedulian sesama. Menurut analisa Weber, agama harus menjadi landasan kuat dalam mencerahkan kemajuan serta menjelma prinsip manusia kekinian. <\/p>\n\n\n\n Tetapi, dalam prakteknya, agama semakin diduplikat menjadi alat tafsir “ala” kadarnya, seperti legitimasi praktek kekuasaan kelompok tertentu, sehingga mematikan gerakan emansipatoris yang dialogis, wajar hal ini dihadapkan kapada narasi yang utopis.<\/p>\n\n\n\n Dalam realitas, kedaulatan wacana nampaknya kesulitan berkembang, seiring adanya benturan serius mulai dari pembentukan narasi anyar tanpa meninggalkan paradigma yang masih berlaku di masyarakat, hingga pembentukan narasi dengan mengabaikan paradigma yang sudah berlaku. <\/p>\n\n\n\n Tentu ini menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, baik diskusi kaum abangan hingga kelompok yang sudah mapan. Semuanya itu ditujukan untuk membentuk pemikiran yang ideologis.\u00a0<\/p>\n\n\n\nKamu kira mereka (umat) itu bersatu, (padahal) hati mereka tercerai berai. QS:59:13<\/em><\/pre>\n\n\n\n
Upaya Menhindari Narasi Utopis<\/h2>\n\n\n\n