Di dalam Dua Puluh Tujuh Tahun menjadi Mufti dan Guru Agama<\/em>
Menjadi Mufti tiada bergaji dan tiada ambil persen daripada anak negeri<\/em>
Dan pada kerajaan semata-mata karena Allah Ta\u2019ala mencari pahala.<\/em>
Belasting pencarian kebun dan lainnya bayar seperti orang ramai.<\/em>
Mengaji tiada ada bayaran dari murid-murid dari murid<\/s> \u2013 yang ada\u00a0<\/em>
Cuma rugi menyediakan rumah tempat diam murid dan tempo-tempo<\/em>
Memberi belanja beras dan uang dan lainnya.<\/em>
Beberapa kerugian jabatan mufti daripada memberi makan<\/em>
Orang yang perkara dan kertas dan pena dan tinta\u00a0<\/em>
Dan payah menulis putusan dan fatwa dan<\/em>
Membalas surat-surat pertanyaan dari jauh.<\/em>
Tiada seperti mengerjakan usaha sendiri kebun dan<\/em>
Lainnya oleh sebab jabatan Mufti yang berat<\/em>
Tiada ada perhasilan sekali-kali dalam jabatan Mufti\u00a0<\/em>
Dua Puluh Tujuh Tahun hamba semata kerena Allah Ta\u2019ala<\/em>
Mencari pahala \u2013 Sekarang badan uzur tiada sanggup<\/em> Lagi <\/em>

Wassalam<\/em>
Oleh yang Sebenarnya Mufti Indragiri<\/em>

Abdurrahman Siddiq<\/em>
Banjari<\/em>, 1 Muharram 1354\u00a0<\/em><\/pre>\n<\/div><\/div>\n\n\n\n
Dari informasi tertulis melalui surat ini, ditarik beberapa simpulan:<\/p>\n\n\n\n
Pertama<\/em>, Tuan Guru Sapat telah menjabat selama 27 tahun sebagai Mufti Indragiri sekaligus guru Agama. Jabatan ini diembannya dalam dua priode pemerintahan, pertama raja Uwok Raja Muda Indragiri (1902-1912), sebagai pemegang jabatan sultan ke-25 dan Sultan Mahmud Syah raja Indragiri ke-26 (1912-1963). <\/p>\n\n\n\n
Dan yang paling terpenting adalah, angka 27 itu menurut perhitungan tahun hijriah, bukan tahun masehi. Sehingga, bila ia mengundurkan diri tahun 1354 maka 27 tahun sebelumnya adalah 1327 H.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedua<\/em>, ia tidak ingin mengambil gaji dan menerima upah atas jabatannya. Ini menjadi bukti sifat amanah atas perjanjian yang ia lakoni selama berpuluh tahun. <\/p>\n\n\n\n
Sebab, sebelum diangkat menjadi Mufti Indragiri Tuan Guru Sapat menolak jabatan itu. Tetapi pihak kerajaan Indragiri tetap membujuknya. Ia bersedia menerima tawaran itu asalkan tidak digaji serta tidak tinggal di pusat kerajaan Indragiri. <\/p>\n\n\n\n
Permohonan tersebut dikabulkan, maka sejak awal menjabat Mufti ia tidak menikmati fasilitas yang disediakan kerajaan Indragiri, tetapi menyepi membangun pusat pendidikan Islam dan berkebun di pedalaman Hidayat Sapat hingga wafat 1458 H\/ 1939 M.<\/p>\n\n\n\n
Ketiga<\/em>, sebuah klarifikasi, meski ia menjabat sebagai Mufti Indragiri, namun ia memiliki kedudukan yang sama dengan masyarakat biasa soal belasting (bea, cukai, atau pajak) perkebunan dan pertanian yang ia garap. <\/p>\n\n\n\n
Ia tampaknya ingin membersihkan diri dari tuduhan orang lain yang menduga bahwa dirinya bebas dari kewajiban membayar belasting kepada pihak kerajaan Indragiri sebagai pendapatan hasil bumi di bidang pertanian. Meski menduduki jabatan terhormat, ia tetap memegang teguh prinsip keadilan sebagai rakyat biasa.<\/p>\n\n\n\n
Keempat<\/em>, Tuan Guru Sapat berhasil menggagas berdirinya sekolah gratis. Santri-santri yang belajar di institusinya di kampung Hidayat, Sapat, tidak dibebani dengan uang bulanan, bahkan ia sendiri yang menyediakan asrama, dan sesekali menanggung makanan pokok sehari-hari untuk mereka yang golongan menengah ke bawah. <\/p>\n\n\n\n
Menurut catatan A. Muthalib, awal abad ke-20 ada banyak sekali orang Indragiri maupun luar Indragiri yang belajar, bahkan termasuk dari Malaysia dan Singapura. <\/p>\n\n\n\n
Ada sekitar 180 orang murid yang belajar setiap harinya, sehingga beras yang ditanak bisa mencapai 15-45 Kg untuk sekali masak. Padahal jam makan 3 kali dalam sehari (A. Muthalib, 2009: 95-96).<\/p>\n\n\n\n
Kelima<\/em>, beliau menulis \u201cbeberapa kerugian menjadi mufti<\/em>\u201d bukan menunjukkan bahwa dirinya tidak ikhlas, tetapi hanya menjadi alasan pengunduran diri semata. <\/p>\n\n\n\n
Sebab, tanpa jabatan sebagai Mufti-pun beliau merupakan orang terpelajar yang erat kaitannya dengan pena, kertas, dan tinta. Selain itu, ia juga merupakan tokoh yang produktif dalam menulis, terutama ketika bermukim di Bangka dan Sapat. <\/p>\n\n\n\n
Karyanya yang terkenal adalah Syair Ibarat Khabar Kiamat<\/em> dan Amal Makrifah<\/em>, keduanya berdimensi sufistik. Sayangnya hingga kini tidak ditemui dan belum ada akademisi yang mengungkap keberadaan naskah surat-surat dan korespondensi antara masyarakat dengan Tuan Guru Sapat selaku Mufti Indragiri. <\/p>\n\n\n\n
Bila ini ditemukan maka akan menambah lapangan penelitian para sarjana dan memperkaya khazanah serta dinamika keislaman di Indragiri abad ke-20.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Keenam<\/em>, ia kembali menjadikan alasan bahwa jabatan Mufti sangat berat, tidak sama seperti menggarap lahan pertanian. Seolah ia ingin fokus pada usaha perkebunannya, karena selama menjadi Mufti kebunnya dikerjakan oleh oranglain. <\/p>\n\n\n\n
Alasan yang ketujuh <\/em>inilah sebenarnya yang menjadi inti alasannya, setelah 27 menjadi mufti, Tuan Guru Sapat merasa dirinya telah masuk usia lanjut dan ingin memasuki purna bakti. <\/p>\n\n\n\n
Tuan Guru Sapat lahir 1284 kemudian tahun 1327 menjadi mufti dalam usia 43 tahun, dan mengundurkan diri pada usia 69 tahun (1354). Berselang 4 tahun kemudian, 1358 H\/ 1939 M beliau wafat dan dimakamkan di Kampung Hidayat Sapat.<\/p>\n\n\n\n
Sumber:\u00a0<\/p>\n\n\n\n
A.Muthalib, Tuan Guru Sapat: Kiprah dan Perannya dalam Pendidikan Islam di Indragiri Hilir Riau pada Abad XX<\/em>, (Yogyakarta: Eja Publisher, 2009).<\/li>
Imran Effendy, Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari<\/em>, (Pekanbaru: LPNU Press, 2006).<\/li><\/ul>\n\n\n\n
Penulis<\/strong>: Arivaie Rahman (Pegiat Tafsir Nusantara,Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)<\/em>
Editor<\/strong>: Baldan<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Pecihitam.org – Tuan Guru Sapat atau Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif al-Banjari merupakan Mufti Kerajaan Indragiri periode 1327-1354 H\/ 1908-1935 M. Ia menjabat sebagai Mufti kerajaan Indragiri selama 27 tahun. Jabatan ini sebelumnya diduduki oleh Sayid Ali Alaydrus, seorang keturunan Sayid Abdullah bin Abu Bakar Asakran yang bermakam di Rantau Mapesan, Rengat, Indragiri Hulu, […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":65450,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[16],"tags":[12871],"yoast_head":"\n