Oleh: Herwanita, S.Sos.I, M.I.Kom<\/strong>, Sekertaris PW Fatayat NU Sulsel<\/p>\n\n\n\n Fatayat\u00a0NU dan\u00a0Irisan Histografi NU di Sulawesi Selatan<\/strong><\/p>\n\n\n\n Fatayat NU sebagai badan otonom dari Nahdatul Ulama (NU) tidak akan bisa dilepaskan secara historis dari perjalanan dan dinamika Nahdatul Ulama dari masa ke masa. Demikian pula dengan konteks histori dan geografi kehadiran Nahdatul Ulama di Sulawesi Selatan yang hadir di pasca kemerdekaan. Meskipun paham Ahlus Sunnah Waljamaah<\/em> (Aswaja) yang identik dengan NU sudah berkembang di Sulawesi Selatan jauh sebelumnya, bahkan embrio lahirnya NU sudah ada di Sulsel sejak tahun 1930.<\/p>\n\n\n\n Awal tahun 1960 \u2013an, NU di Sulawesi Selatan belum mampu menegasikan diri sebagai sebuah organisasi keagamaan yang disegani di Sullsel, berbeda dengan pergerakan Muhamaddiyah yang sejak pertengahan tahun 1930-an telah eksis khususnya di wilayah Soppeng dan Wajo. Meskipun dalam dokumen sejarah ditemukan pada sekitar tahun1933 di Makassar pernah terbentuk Jamiah NU Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan memunculkan nama Abdul Hamid Daeng Maggasing sebagai ketua umum dan KH Ahmad Bone sebagai rais suriah, namun tidak terlalu aktif, bahkan justru yang aktif adalah organisasi sehaluan dengan NU yaitu Rabitatul Ulama.<\/p>\n\n\n\n NU sebagai kelembagaan baru diperkenalkan secara intens di Sulsel di sekitar tahun 1950-an, itupun atas inisiasi pengurus pengurus NU di Jawa. Bahkan ketika NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri yaitu Partai NU. Maka KH. Abdul Wahid Hasyim yang di utus ke Sulawesi pada saat itu berusaha keras menjumpai beberapa ulama aswaja di daerah daerah pelosok Sulawesi selatan seperti KH. Abdurrahman Ambo Dalle Pimpinan pompes DDI Mangkoso. Meski negosiasi gagal untuk mengajaknya bergabung dengan partai politik NU, Perjuangan beliau ini menjadi bukti bagaimana Sulawesi Selatan menjadi salah satu pertimbangan besar konfigurasi kekuatan NU secara politik nasional pada saat itu .<\/p>\n\n\n\n Kiprah NU di Sulsel kemudian mulai tampak menumbuh dan berkembang setelah periode tahun 1970. Khususnya dari kalangan muda NU yang aktif di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Kemunculan PMII sebagai sebuah embrio baru perkembangan pergulatan NU Ulama di Sulsel karena beberapa hal , pertama <\/em>tokoh tokoh PMII di kala itu memiliki kemampuan akdemik dan intelektual yang cukup diperhitungkan, kedua<\/em>, aktivitas mereka dalam wilayah pengkaderan menciptakan banyak kader NU yang kemudian bergabung dengan banom banom NU, seperti Ansor, IPPNU dll, bahkan secara geneologi pemahaman ada yang terekrut bukan verasal dari NU seperti muhammadiyah yang menjadi kader NU generasi pertama di keluarga mereka. Mereka inilah kader kader muda yang berdiaspora keluar berjejaring menempati posisi posisi strategis di NU bahkan di luar NU.<\/p>\n\n\n\n Bagaimana dengan perkembangan Fatayat NU Sulawesi Selatan seiring dengan konfigurasi perjalanan NU di Sulawesi Selatan. Dalam catatan dokumen, keberadaan dan eksistensi Fatayat NU di Sulawesi Selatan baru terdengar dipertengahan 80 an. Meskipun secara admistrasi organisasi , beberapa periode generasi kepengurusan yang tidak tercatat dalam dokumen admistrasi dalam kurun waktu 10 tahun awal. Namun sejarah perjalanan dan penguatan Fatayat, tidak terlepas dari bagaimana keberadaan NU yang ditopang oleh pesantren peantren yang berhaluan aswajah, bertumbuhnya banom NU seperti PMII, IPPNU dan Ansor serta organisasi sayap dari daerah yang berhaluan aswaja. Tokoh tokoh PMII dan NU dengan pemikiran pemikirannya seperti Prof. Dr. Musdah muliah pernah memegang pucuk pimpinan Fatayat NU di Sulawesi Selatan pada Dekade 80-an.<\/p>\n\n\n\n Pesantren Pesantren berhaluan Aswaja itu hari ini masih hadir dan berdinamika dalam perjalanan kaderisasi formal maupun non formal sebagai bagian dari jamaah dan jamiah NU. Sebut saja PP Assadiyah Sengkang, DDI Mangkoso, PP Bontoala, PP Annahdah dan cabang cabang lainnya dengan nama yang berbeda dan di dirikan olah para santri sebaran pesantren-pesantren tersebut.<\/p>\n\n\n\n Tipologi dan metode kaderisasi Fatayat NU<\/strong><\/p>\n\n\n\n Dari lintasan perjalanan sejarah keberadaan NU di Sulawesi Selatan sebelumnya, tentu memberikan gambaran bagaimana pola yang sama mewarnai kaderisasi Fatayat NU di Sulawesi Selatan. Sebagaimana dipahami bersama bahwa kaderisasi adalah jantung dari sebuah organisasi. Kader dan kaderisasi tentu merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi dan membentuk citra organisasi.<\/p>\n\n\n\n Menurut Berliana Kertakusumah, dalam bukunya Geneologi Kepemimpinan Kontemporer (2006), kader adalah sekelompok orang yang terorganisasi secara terus menerus dan menjadi tulang punggug bagi kesatuan kelompok yang lebih besar. Seseorang bisa disematkan pada dirinya sebagai kader fatayat maupun organisasi lain misalnya jika memenuhi unsur; bergerak dan terbentuk dalm organisasi, memiliki komitmen yang utuh dan mempunyai standar tertentu sesuai yang ditetapkan organisasi. Sedangkan kaderisasi adalah upaya organisasi untuk mengaktualisasikan potensi manusia sesuai dengan ideologi yang dimiliki, termasuk pengetahuan, sikap dan keterampilan . dari penjelasan di atas setidaknya ada dua perbedaan kader dan kaderisasi, pertama<\/em> kader adalah orang atau pihak yang terlibat dalam organisasi. Sedangkan kaderisasi merupakan upaya organisasi untuk mengimplementasikan ideologi yang di usung, kedua, <\/em> kader merupakan pelaku, sementara kaderisasi ialah aksinaya. Untuk melakukan kaderisasi dibutuhkan seorang kader yang mempuni.<\/p>\n\n\n\n Dari pemaparan di atas dapat dibuat pemetaan potensi kader dan pola perekrutan kader bagi fatayat NU Sulawesi Selatan dengan melihat beberapa peluang:<\/p>\n\n\n\n\n