Pecihitam.org<\/strong> – Untuk dapat menetapkan sah tidaknya hukum hubungan persusuan, selain dari ketentuan syarat sah hukum persusuan<\/a><\/strong> yang harus terpenuhi secara keseluruhan, namun juga harus ada penetapan hukum hubungan persusuan yang tegas, baik itu dari pengakuan dari pihak terkait, dan atau dengan bukti, baik itu yang diajukan oleh pihak terkait, ataupun yang didapati oleh hakim. Berikut penjelasan tentang pengakuan yang dapat diakui sebagai penetapan hukum persusuan.<\/p>\n\n\n\n Menurut\nulama Hanafiyah, sahnya suatu pengakuan adalah dengan adanya pengakuan dari lelaki dan\nperempuan secara bersamaan atau salah satu dari keduanya. Namun menurut ulama\nMalikiyah, dengan adanya pengakuan dari kedua belah pihak secara bersamaan atau\npengakuan dari orang tua kedua pihak tersebut.<\/p>\n\n\n\n Jika pengakuan adanya hubungan\nmahram persusuan antara lelaki dan perempuan sebelum melaksanakan pernikahan,\nmaka tidak boleh ada hubungan pernikahan antara keduanya setelah itu, namun\njika keduanya tetap menikah, maka akad pernikahan mereka rusak atau tidak sah\ndan sang perempuan tidak berhak mendapatkan mahar.<\/p>\n\n\n\n Jika pengakuan itu terjadi setelah adanya ikatan\npernikahan antara keduanya, maka wajib bagi keduanya untuk berpisah, namun jika\nmereka enggan berpisah, maka hakimlah yang berhak untuk memisahkan mereka\nsecara paksa, karena sudah jelas bahwa akad pernikahan mereka tidak sah\nhukumnya, dan sang perempuan berhak mendapatkan mahar mitsil<\/em> dan sedikit\nbagian dari mahar musamma<\/em>.<\/p>\n\n\n\n Jika pengakuan hanya dari\npihak lelaki, seperti dia mengatakan \u201c Perempuan itu adalah saudara perempuan\nsaya atau dia adalah ibu saya atau dia adalah anak saya dalam saudara\npersusuan.\u201d Lalu jika pengakuan itu terjadi sebelum pernikahan, maka diharamkan\nadanya ikatan pernikahan setelah itu, namun jika setelah ikatan pernikahan,\nmaka wajib bagi pihak lelaki untuk menceraikan pihak perempuan, namun jika\npihak lelaki tidak mau, maka wajib bagi hakim untuk memisahkan mereka secara\npaksa. <\/p>\n\n\n\n Lalu jika pihak perempuan\ndiceraikan sebelum dukhul, maka berhak atasnya setengah mahar, dan jika setelah\ndukhul, maka berhak baginya seluruh mahar, dan berhak atasnya rumah tinggal\njuga nafkah selama masa iddahnya.<\/p>\n\n\n\n Apabila pengakuan berasal dari pihak perempuan, dan\nterjadi sebelum adanya ikatan pernikahan, maka pihak perempuan haram untuk\nmenikah dengan sang lelaki, namun halal bagi pihak lelaki untuk menikahi pihak\nperempuan jika pihak lelaki tidak mempercayai pengakuan sang perempuan, dengan\nalasan ditakutkan pengakuan itu hanya dijadikan alasan bagi pihak perempuan\nagar tidak menikah dengan laki-laki tersebut atau tujuan lainnya dimana sang\nperempuan berbohong atas pengakuannya, dan sesungguhnya talak adalah hak\nlaki-laki bukan hak perempuan, maka lelaki lebih berhak atas pernikahan. <\/p>\n\n\n\n Namun jika\npengakuan pihak perempuan terjadi setelah adanya ikatan pernikahan, maka\npengakuan tersebut tidak berpengaruh pada kesahan akad pernikahan mereka\nsebelumnya, kecuali jika sang suami juga ikut membenarkan pengakuan sang istri.\n<\/p>\n\n\n\n Selama belum\nada pihak lain yang mengetahui juga menyaksikan pengakuannya, maka dibolehkan\nbagi pihak yang menyatakan pengakuannya untuk kembali dari pengakuan itu, baik\nitu sebelum ikatan pernikahan ataupun setelah ikatan pernikahan. Yangmana ia\nmengatakan \u201cSesungguhnya saat itu aku lalai, aku lupa\u201d, karena dimungkinkan pengakuannya\nsaat itu karena ia mendapatkan kabar dari orang lain, namun setelah mendapatkan\nkejelasan, ternyataorang itu berbohong.<\/p>\n\n\n\n Namun\njika pengakuannya telah disaksikan dan diketahui pihak lain, maka tidak boleh\nbaginya untuk kembali dari pengakuannya itu. <\/p>\n\n\n\n Apabila\npengakuan terjadi sebelum dukhul, maka pihak perempuan tidak berhak mendapatkan\nmahar atau harta apapun, kecuali jika pengakuan itu berasal dari pihak lelaki\natau sang suami lalu sang istri mengingkarinya, maka hubungan pernikahan\ntetaplah putus, dan sang istri berhak mendapatkan setengah mahar.<\/p>\n\n\n\n Bila\npengakuan terjadi setelah dukhul, maka sang istri berhak mendapatkan mahar\nsepenuhnya, kecuali apabila pihak perempuan mengetahui hubungan mahram\npersusuan antara mereka sebelum dukhul, sedangkan pihak laki-laki belum\nmengetahuinya, maka pihak perempuan berhak untuk mendapatkan \u00bc dinar dan tidak\nberhak atasnya nafkah dan rumah tinggal selama masa iddah.<\/p>\n\n\n\n Jika\nsang istri memberikan pengakuan, lalu sang suami mengingkarinya, lantas hal itu\nterjadi sebelum dukhul, maka sang istri tidak berhak mendapatkan mahar, karena\nsang istrilah yang menyatakan bahwa dirinya tidak berhak atas suaminya. <\/p>\n\n\n\n Apabila pengakuan istri terjadi setelah dukhul, maka istri tidak berhak mendapatkan mahar, karena dia sendirilah yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang pezina. Namun jika pihak lelaki mengingkarinya, maka baginya mahar.[1]<\/a><\/p>\n\n\n\n Demikianlah salah satu cara penetapan hukum hubungan persusuan, dimana pengakuan seseorang (sesuai ketentuan syariat) atas ada-tidaknya hubungan persusuan antara pihak terkait dapat menjadi landasan yang kuat dan dapat berimplikasi pada konsekuensi hukum setelahnya. <\/p>\n\n\n\n Selanjutnya adalah pembahasan mengenai landasan penetapan hukum hubungan persusuan kedua<\/a><\/strong>, yaitu bukti, yang akan dibahas pada Hukum Hubungan Persusuan atas Pengakuan dan Bukti (Bagian 2). <\/p>\n\n\n\nPengakuan<\/strong><\/h4>\n\n\n\n
\n\n\n\n