PeciHitam.org<\/strong> \u2013 Sosial Media untuk sekarang ini menjadi kebutuhan yang bisa kita kategorikan sebagai kebutuhan primer. Adapun bersikap bijak dibutuhkan dalam menggunakan sosmed. Lantas bagaimana cara bersikap bijak terhadap sosial media di Era Milenial seperti sekarang?<\/p>\n Kehadiran media sosial kian mempermudah lagi. Dalam hitungan detik kita sudah bisa berinteraksi dan berkirim pesan melalui tulisan, suara, gambar, bahkan video ke orang di belahan dunia lain. Luas bumi yang mencapai lebih dari setengah miliar kilometer persegi seolah mengkerut. Informasi beredar secara instan, kehidupan sosial banyak bergeser ke dunia maya, dan sebagian orang bahkan rela menghabiskan separuh waktunya untuk berselancar di internet atau media sosial.<\/p>\n Islam bukan agama yang anti perubahan. Namun demikian, ia punya prinsip-prinsip yang tak boleh dilanggar. Kita seyogianya memosisikan media sosial tak lebih dari sekadar alat, bukan tujuan. Tentang bersikap bijak terhadap sosial media, media sosial sebagai was\u00eelah, bukan gh\u00e2yah. Kenapa? Sebagaimana pisau yang bermanfaat bila digunakan memasak dan merugikan bila dipakai melukai orang lain, begitu pula media sosial. Dalam dirinya terkandung potensi positif tapi sekaligus negatif.<\/p>\n Semakin meningkatnya pengguna media sosial dari hari ke hari tak menjamin semakin berkualitas dari segi pemanfaatannya. Banyak kita jumpai media sosial menjadi ajang pamer (riya’) amal kebaikan\u2014usaha mencari citra kesalehan di mata masyarakat. Dari sini kita secara tak langsung menggeser maksud ibadah yang semestinya untuk Allah menjadi untuk popularitas dan kebanggaan diri.<\/p>\n Media sosial juga kerap menjadi arena caci-maki antarkelompok yang berbeda agama, aliran, pandangan politik, dan sejenisnya. Tak jarang media sosial disesaki debat kusir saling menjatuhkan,\u00a0ghibah\u00a0(gosip), fitnah, berita bohong, hingga peningkatan jumlah musuh-musuh baru. Hanya berbekal jari tangan dan pikiran keruh dalam sekejam kita sudah membuat mudarat bagi pihak lain.<\/p>\n Padahal dalam hadits shahih disebutkan bahwa di antara karakter seorang Muslim adalah mampu menjamin saudaranya dari malapetaka tangan dan lisannya.<\/p>\n \u0627\u0644\u0645\u064f\u0633\u0652\u0644\u0650\u0645\u064f \u0645\u064e\u0646\u0652 \u0633\u064e\u0644\u0650\u0645\u064e \u0627\u0644\u0645\u064f\u0633\u0652\u0644\u0650\u0645\u064f\u0648\u0646\u064e \u0645\u0650\u0646\u0652 \u0644\u0650\u0633\u064e\u0627\u0646\u0650\u0647\u0650 \u0648\u064e\u064a\u064e\u062f\u0650\u0647\u0650<\/strong><\/p>\n \u201cSeorang Muslim adalah orang yang tidak melukai saudara Muslim lainnya baik dengan lisan dan tangannya,<\/p>\n Imam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali dalam kitab Bid\u00e2yatul Hid\u00e2yah menjelaskan bahwa lisan manusia terdiri dari dua jenis, yakni lidah yang berada di dalam mulut dan lidah berupa qalam (pena). Tulisan memiliki fungsi yang mirip dengan pembicaraan.<\/p>\n Qalam dalam konteks hari ini bisa diidentikkan dengan media sosial yang memiliki peran yang sama, yakni memproduksi tulisan yang pengaruhnya bisa negatif maupun positif. Dengan demikian, sikap bijak kita terhadap media sosial termasuk ikhtiar kita untuk menjadi Muslim yang baik sebagaimana hadits di atas.<\/p>\n Yang paling rentan dilupakan saat bermedia sosial adalah betapa berharganya waktu. Berbagai kemudahan yang disediakan sering membuat pengguna berselancar berjam-jam melewati batas kebutuhan semestinya. Orang kadang tak hanya bertegur sapa dengan sesama atau publikasi aktivitas di medsos, tapi juga sampai pada kegiatan-kegiatan mubazir bahkan maksiat.<\/p>\n