Pecihitam.org<\/strong> – Khilafiyah sebenarnya hal biasa yang selalu muncul dalam kehidupan dunia umat manusia, baik dalam sosial maupun agama. Hanya saja kita orang awam seringkali kaget, karena sebelumnya tidak mengerti bahwa beda pendapat bisa terjadi pada siapa saja, dari politikus hingga rakyat biasa, dari orang awam hingga pemuka agama, tak terkecuali ulama.<\/p>\n\n\n\n Sejatinya, yang terpenting adalah bukan bagaimana melenyapkan perbedaan, tapi bagaimana kita menyikapinya, terutama di zaman internet ini, dimana informasi dengan begitu mudah didapat bahkan dipaksa untuk menerimanya lewat media sosial. Informasi yang kadang benar tidaknya masih meragukan. <\/p>\n\n\n\n Bagaimana Ahlusunnah Wal Jamaah<\/a><\/strong> menyikapi khilafiyah? Akan coba kita telaah bersama.<\/p>\n\n\n\n Khilafiyah berasal dari bahasa Arab, seakar dengan kata \u201cikhtilaaf\u201d, yaitu dari kata kerja tiga huruf \u201ckhalafa\u201d yang diantara terjemahnya \u201cberbeda, berlainan\u201d. Hanya saja ada beda dalam penggunaannya. <\/p>\n\n\n\n Kata \u201ckhilafiyah\u201d yang berasal dari \u201ckhaalafa\u201d (bertambah huruf alif setelah fa\u2019 fi\u2019l-nya) digunakan untuk menyebut masalah atau sesuatu yang menimbulkan perbedaan, sedangkan \u201cikhtilaaf\u201d yang berasal dari kata \u201cikhtalafa\u201d (bertambah huruf alif di awal dan huruf ta antara fad dan \u2018ain fi\u2019l-nya) digunakan untuk menyebut perbedaannya. <\/p>\n\n\n\n Bila kita bandingkan dengan bahasa Inggris, maka kata \u201ckhilafiyah\u201d mendekati arti kata \u201ccontroversial\u201d, yaitu sesuatu yang sifatnya menimbulkan perbedaan dan memancing perdebatan. Kata ini yang kemudian diserap dan dibakukan dengan penulisan “kontroversial”. <\/p>\n\n\n\n Adanya Ikhtilaf Dan Khilafiyah Niscaya<\/strong><\/p>\n\n\n\n Dalam sejarah kehidupan para ulama, tak jarang kita menemukan adanya fatwa atau sikap mereka yang menimbulkan perdebatan sesama ulama. Sejak zaman generasi terbaik umat ini yaitu para sahabat Nabi radhiyallahu \u2018anh<\/em>um, hingga generasi selanjutnya. <\/p>\n\n\n\n Ada banyak contoh kasus dalam hal ini. Baik yang sifatnya politik maupun pendapat keagaaman. Contoh dalam politik adalah diangkatnya Sayyidina Abu Bakr sebagai khalifah telah memunculkan kontroversi antara ahlul bait dengan mayoritas sahabat, sehingga kemudian melahirkan bibit-bibit Syi\u2019ah dalam Islam. Contoh dalam pendapat keagamaan diantaranya tentang qiraat (bacaan) al-Qur\u2019an. <\/p>\n\n\n\n Al-Imam an-Nawawi<\/a><\/strong> dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan, \u201cMasalah khilafiyah sudah terjadi diantara para sahabat, tabi\u2019in, dan ulama sesudah mereka radhiyallahu anhum<\/em>\u201d (2:24). Dalam al-Qur\u2019an disebutkan :<\/p>\n\n\n\n \u0648\u064e\u0644\u064e\u0648\u06e1 \u0634\u064e\u0622\u0621\u064e \u0631\u064e\u0628\u064f\u0651\u0643\u064e \u0644\u064e\u062c\u064e\u0639\u064e\u0644\u064e \u0671\u0644\u0646\u064e\u0651\u0627\u0633\u064e \u0623\u064f\u0645\u064e\u0651\u0629\u0657 \u0648\u064e\u0670\u062d\u0650\u062f\u064e\u0629\u0657\u06d6 \u0648\u064e\u0644\u064e\u0627 \u064a\u064e\u0632\u064e\u0627\u0644\u064f\u0648\u0646\u064e \u0645\u064f\u062e\u06e1\u062a\u064e\u0644\u0650\u0641\u0650\u064a\u0646\u064e <\/strong><\/p>\n\n\n\n \u201cJikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat\u201d (QS Hud : 118).<\/p>\n\n\n\n Imam Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat ini mengomentari \u201cMaksudnya, perselisihan tetap ada di kalangan manusia dalam masalah agama dan akidah mereka menjadi terbagi ke dalam berbagai madzhab dan pendapat.\u201d<\/p>\n\n\n\n Hal ini menunjukkan bahwa adanya sesuatu atau perkara yang memunculkan beda pendapat adalah hal yang niscaya, karena Allah tidak menghendaki umat manusia hanya dalam satu saja, tanpa ada perbedaan diantara mereka.<\/p>\n\n\n\n Kendati ikhtilaaf<\/em> adalah hal yang niscaya, namun Allah memberi pengecualian pada ayat selanjutnya :<\/p>\n\n\n\n \u0625\u0650\u0644\u064e\u0651\u0627 \u0645\u064e\u0646 \u0631\u064e\u0651\u062d\u0650\u0645\u064e \u0631\u064e\u0628\u064f\u0651\u0643\u064e\u06da \u0648\u064e\u0644\u0650\u0630\u064e\u0670\u0644\u0650\u0643\u064e \u062e\u064e\u0644\u064e\u0642\u064e\u0647\u064f\u0645\u06e1\u06d7 <\/strong><\/p>\n\n\n\n \u201cKecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.\u201d<\/p>\n\n\n\n Ini menunjukkan bahwa dalam menyikapi khilafiyah ada orang-orang justeru mendapat rahmat Allah. Inilah yang akan kita diskusikan kali ini. Yaitu bagaimana menyikapi khilafiyah agar menjadi sebuah rahmat Allah.<\/p>\n\n\n\n Penyebab Terciptanya Khilafiyah Dan Ikhtilaf<\/strong><\/p>\n\n\n\n Ada banyak faktor terciptanya khilafiyah yang memicu lahirnya ikhtilaf. Diantaranya:<\/p>\n\n\n\n 1. Perbedaan paham atas suatu dalil.<\/p>\n\n\n\n Contoh dalam hal ini adalah tentang hukum berkurban. Diriwayatkan bahwa Baginda Rasulullah shallallahu \u2018alaih wa aalih wa sallam tidak pernah meninggalkan kurban, baik ketika mukim maupun musafir. <\/p>\n\n\n\n Menurut Imam Maalik dalam suatu riwayat, Rabi\u2019ah, al-Awzaa\u2019i, al-Laits bin Sa\u2019d dan Imam Abu Hanifah dalam salah satu riwayat, hukum berkurban wajib. Namun dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberi rincian bahwa jika seseorang memiliki harta senisab maka wajib berkurban bila tidak maka tidak wajib. <\/p>\n\n\n\n Kewajibannya hanya pada orang yang bermukim dan tidak pada musafir. Menurut mayoritas fuqaha, berkurban hukumnya sunnat muakkad. Baik fuqaha di kalangan sahabat Nabi seperti Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ibn Mas\u2019ud, Sayyidina Ibn \u2018Abbas dan Sayyidina Ibn \u2018Umar. Inilah yang diperpegangi madzhab Syafi\u2019i dan Imam Ahmad bin Hanbal dan menurut pendapat \u201cmasyhur\u201d dalam madzhab Imam Maalik. <\/p>\n\n\n\n Bahkan diriwayatkan oleh at-Thahawi bahwa Imam Abu Yusuf dan Muhammad (asy-Syaibani) murid Imam Abu Hanifah juga berpegang pada pendapat ini.<\/p>\n\n\n\n 2. Perbedaan penerimaan atas suatu riwayat.<\/p>\n\n\n\n Perbedaan ini diantaranya karena seorang mujtahid tidak meyakini kesahihan riwayat suatu hadits yang diyakini oleh mujtahid lainnya. Ada banyak contoh mengenai hal ini.<\/p>\n\n\n\n 3. Perbedaan prinsip dan metode dalam istidlal (pendalilan).<\/p>\n\n\n\n Perbedaan ini berada di ranah ushul fiqh. Ada banyak kitab disusun para ulama yang membahas masalah ini. Diantaranya \u201cAsbaab al-Ikhtilaaf al-Fuqahaa\u201d susunan Dr. Musthofa Ibrahim az-Zilmi. Dalam kitab ini penyusun menelusuri akar perbedaan delapan madzhab besar dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi\u2019i, Hanbali, Zhahiri, Syi\u2019ah Imamiyah dan Syi\u2019ah Zaidiyah) dan menguraikannya dari sudut pandang prinsip dan metode pendalilan.<\/p>\n\n\n\n 4. Perbedaan tingkat pengetahuan dan penguasaan serta wawasan.<\/p>\n\n\n\n Bila para ulama generasi Salaf umumnya berbeda karena beda memahami dan penerimaan atas dalil ataupun karena beda metode memahami dalil, maka perbedaan yang muncul pada generasi akhir umumnya disebabkan beda tingkat pengetahuan dan penguasaan serta wawasan. <\/p>\n\n\n\n Misal ketika Gus Dur mengusulkan \u201cAssalamu\u2019alaikum\u201d diganti dengan ucapan \u201cSelamat Pagi\/Siang\/Malam\u201d, banyak orang ribut dan menyalahkan. Padahal itu karena ketidaktahuan mereka bahwa dalam fiqh ke-sunnah-an mengucap salam tidak mesti dengan lafazh \u201cAssalaamu\u2019alaikum\u201d, bisa saja dengan redaksi dan bahasa berbeda. <\/p>\n\n\n\nDefinisi Khilafiyah<\/strong><\/h2>\n\n\n\n