Zakat Fitrah Dengan Uang Menurut Pandangan Imam Madzhab

Zakat Fitrah Dengan Uang Menurut Pandangan Imam Madzhab

PeciHitam.org – Banyak sekali pertanyaan yang muncul tentang bagaimana hukum jika seseorang mengeluarkan Zakat Fitrah Dengan Uang? Ulama Syafi’iyyah sepakat bahwasannya zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat (mustahiq) dalam bentuk uang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Meskipun seperti itu, praktiknya di beberapa daerah di Indonesia masih banyak yang kurang memahami kesepakatan ulama ini.

Menyikapi fenomena tersebut, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggungharjo, Grobogan Jawa Tengah, memberikan penjelasan terkait zakat dengan menggunakan uang atau melalui uang. Term melalui uang artinya hanya sebagai alat tukar perantara sehingga penyaluran zakat tetap dalam bentuk makanan pokok.

Di sini panitia menjelaskan bahwa konsep-konsep tersebut sesuai dengan ketentuan syariat, tapi masyarakat tetap dimudahkan yaitu bisa berangkat dari rumah dengan membawa uang menuju stand/pos zakat setempat.

Pertama, panitia zakat menyuplai beras dengan membeli atau bermitra kepada salah satu toko penyedia beras di mana setiap muzakki yang datang membawa uang akan dilayani jual beli murni dengan beras yang disediakan oleh panitia terlebih dahulu. Setelah pemberi zakat (muzakki) menerima beras, transaksi penerimaan zakat baru kemudian dijalankan sebagaimana biasanya.

Sementara ini, ada beberapa tempat yang sudah menjalankan sistem jual beli mirip seperti di atas, namun kesalahannya terletak pada beras yang dibuat transaksi jual beli bukan beras murni persediaan panitia, tapi beras yang telah diterima panitia dari hasil zakat beras orang lain yang terlebih dahulu datang kemudian beras zakat itu dijual kembali kepada muzakki lain yang datang kemudian. Menjual beras zakat seperti ini tidak diperbolehkan.

Kedua, panitia yang tidak resmi mendapat SK dari pemerintah tidak dinamakan sebagai amil, mereka hanya berlaku sebagai relawan saja. Artinya semua operasional tidak boleh dibebankan/diambilkan dari zakat. Panitia seperti ini bisa mengambil untung dari hasil jual beli beras yang memang murni untung jual beli untuk kepentingan operasional.

Baca Juga:  Apakah Berhubungan Seks dengan Hewan Termasuk Zina? Bagaimana Hukumnya?

Contohnya, panitia mengumumkan, masyarakat yang ingin menyalurkan zakat melalui panitia dengan membawa beras silahkan datang dengan membawa beras 2,5 kg (ada pendapat yang 2,7 kg, silakan memilih).

Bagi yang ingin membawa uang, besar nominalnya adalah Rp. 25.000,-
Jika sekarang beras standar diasumsikan dengan besaran harga Rp. 8.400,-/kg, maka setiap kali ada muzakki yang datang membawa uang, panitia akan untung Rp. 4.000,-/muzakki.

Dengan empat ribu inilah roda operasional panitia berjalan tanpa mengganggu harta zakat sama sekali. Jika ada 100 orang saja yang datang membawa uang, maka uang Rp. 400.000 sudah cukup untuk operasional panitia yang meliputi pembelian kantong plastik, konsumsi, transportasi dan lain sebagainya.

Ketiga, karena ini menyangkut jual beli murni, jual beli tidak diperkenankan digelar di masjid. Panitia harus mendirikan stand tersendiri di bagian yang terpisah dari masjid atau diselenggarakan di ruang serbaguna, madrasah, pesantren atau rumah warga.

Keempat, secara umum Syafi’iyyah memandang bahwa kiai atau ustadz bukan bagian dari sabilillah, mustahiq zakat. Mereka yang tidak berhak menerima zakat kecuali jika kebetulan mereka termasuk golongan/ashnaf lain selain sabilillah.

Seperti kebetulan mereka fakir atau miskin, maka mereka berhak menerima zakat atas nama dia sebagai fakir miskin bukan kapasitasnya sebagai kiai atau ustadz. Hanya ada satu pendapat lemah dari kutipan Imam Qaffal yang mengatakan guru mengaji dan sejenisnya termasuk sabilillah yang berhak menerima zakat.

Dengan solusi alternatif demikian, harapan kedepannya, masing-masing antara masyarakat dan panitia saling dimudahkan dengan tetap konsisten mengikuti pendapat Syafi’iyyah.

Terkait hukum membayar zakat fitrah langsung dalam bentuk uang, para ulama juga berbeda pendapat. Pendapat pertama, mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat dalam bentuk uang. Mereka bersandar pada hadits riwayat Abu Said:

Baca Juga:  Ini Dia Hukum Membaca Al-Qur’an di HP Tanpa Wudhu!

كُنَّا نُخْرِجُهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، وَكَانَ طَعَامُنَا التَّمْرُ وَالشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَالأَقْطُ

“Pada masa Rasul shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR. Muslim, hadits nomor 985)

Pada hadits di atas, para sahabat Nabi tidak mengeluarkan zakat fitrah kecuali langsung dalam bentuk makanan. Kebiasaan mereka dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan cara demikian merupakan dalil kuat bahwasannya harta yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah harus berupa bahan makanan.

Mereka juga berargumentasi bahwa zakat fitrah merupakan ibadah yang diwajibkan atas jenis harta tertentu sehingga tidak boleh dibayarkan dalam bentuk selain jenis harta dimaksud, sebagaimana tidak boleh menunaikannya di luar waktu yang sudah ditentukan.

Pendapat kedua, menurut mazhab Hanafi, zakat fitrah dengan uang boleh dilakukan. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. (Ali Imran: 92)
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai.

Pada masa Rasulullah, hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah bahan makanan pokok, karenanya pada masa itu, Zakat Fitrah dilakukan dengan menggunakan bahan makanan pokok yang bersifat lokal yaitu Gandum.

Sedangkan pada masa kini, kita bisa melihat bahwa terkadang seseorang lebih membutuhkan uang untuk bertahan hidup, karena dengan uang mereka bisa membeli sesuatu yang benar benar mereka butuhkan. Karenanya, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan.

Di samping itu, mereka juga berpendapat bahwa menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum Islam.

Baca Juga:  Bolehkah Melamar Janda yang Masih dalam Masa Iddah?

Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang membawa kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat. Bagi muzakki, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang sangatlah mudah. Sedangkan bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak pada saat itu. (Lihat: Abdullah Al-Ghafili, Hukmu Ikhraji al-Qimah fi Zakat al-Fithr, halaman 2-5).

Kebiasaan Rasul sallallahu ala’ihi wasallam dan para sahabat dalam menunaikan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, merupakan dalil yang kuat akan tidak bolehnya berzakat dengan selain bahan makanan. Adapun solusi alternatif bagi muzakki yang tidak mendapatkan bahan makanan adalah, amil zakat menyediakan beras untuk dibeli oleh para muzakki terlebih dahulu, kemudian mereka menyerahkannya kepada Amil.

Akan tapi, jika membayar dalam bentuk bahan makanan dianggap berat, dan ada hajat mendesak serta maslahat nyata untuk berzakat menggunakan uang maka diperbolehkan bertaqlid kepada madzhab Hanafi dengan syarat bertaqlid secara totalitas, yaitu berzakat dalam bentuk uang yang senilai dengan bahan makanan (beras) sebanyak 3,8 kilogram.

Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya talfiq (mencampuraduk pendapat ulama) yang hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *