Zuhud yang Sebenarnya, “Hanya Orang Bodoh dan Gila yang Tidak Ingin Kaya”

zuhud yang sebenarnya

“Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”.

Pecihitam.org – Zuhud didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati kepada harta benda (materi). Meski demikian Zuhud bukan berarti anti terhadap materi, bahkan sebenarnya seorang Zahid bisa saja mempunyai harta kekayaan yang sangat berlimpah, hanya saja kekayaan itu tidak digantung dalam hati.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bagi para sufi memandang dunia ini sebagai “Al-Dunya mazra’atu al-Akherat” sebuah jembatan yang harus dilalui untuk menuju akherat. Dengan demikian mereka tetap melakukan etos kerja untuk berikhtiyar mencari penghasilan bagi kehidupan sehari-harinya, sambil berserah diri, tawakkal kepada Allah, tetap rajin melaksanakan shalat wajib dan sunnah dan memperbanyak dzikir.

Namun memang bagi kaum sufi lebih memandang dunia laksana api, dimana mereka memanfaatkan sebatas sesuai kebutuhan, dengan tetap waspada akan percikan yang bisa saja suatu saat akan membakar hangus semuanya. Para sufi berkata:

“Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan”.

Syekh Abdul Qadir Jaelani pernah menyampaikan:

“Semua harta benda (dunia) adalah batu ujian yang banyak membuat manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah kecuali jika pengumpulannya dengan niat baik untuk akherat. Maka bila pentasyarufaannya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia itupun akan menjadi harta akherat”.

Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” ini juga mengatakan: “Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”.

Bahkan beliau selalu menganjurkan para muridnya untuk selalu berusaha, jangan malu dalam mencari nafkah selama itu halal dan tidak bertentangan dengan Al-Quran maupun Hadist serta aturan-aturan negara. Kemudian agar bisa berhasil harus mencoba sampai 7 jenis usaha, beliau mengistilahkannya sebagai 7 sumber mata air.

Baca Juga:  Sejarah Thariqah Qadiriyyah, Salah Satu dari Empat Thariqat Besar dalam Dunia Tasawuf

Beliau berusaha mengubah persepsi keliru tentang tasawuf. Bertasawuf tidak harus identik dengan kemiskinan, yang benar adalah bertasawuf itu mengubah orang bodoh menjadi pandai, orang miskin menjadi kaya namun hatinya tetap bisa terus berdzikir mengingat Allah Swt.

Buktinya, mari kita lihat. Syaikh Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin QS merupakan salah satu Wali Qutub yang kaya raya. Bahkan diriwayatkan, kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu krisis keuangan kerajaan Mugol India dan selalu berzakat 60.000 ton gandum setiap tahunnya.

Sufi lain mengatakan; “Kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah Swt”.

Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali mengatakan; “Jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat untanya. Tapi jika ia terlalu sibuk dan menghabiskan waktu untuk merawat unta, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkannya dan ia akan mati di gurun pasir”.

Maksudnya adalah, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita tenggelam didalamnya. Imam Al-Ghazali bertanya; “Apakah uang itu membuat mu gelisah? Orang yang terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”.

Baca Juga:  Uzlah, Jalan Sunyi Munuju Tuhan bagi Para Sufi

Maka persoalannya adalah Zuhud bukan berarti kita tidak boleh mempunyai uang, justru, sebenarnya bagaimana cara kita mempunyai uang cukup, namun pada saat yang sama hati kita tetap ingat kepada Allah dan tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.

Ibnu ‘Arabi sang sufi yang kaya raya berkata, “Dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian. Ambillah yang kurang dari pada yang lebih didalamnya. Puaslah apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi hari akhirat.

Apa yang kamu tanam didunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak di puji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang salah adalah jika apa yang kau perbuat untuk duniamu itu menyebabkanmu buta terhadap kebenaran dan nafsumu berambisi terhadap dunia”.

Suatu ketika Rasulullah Saw ditanya, “Apa arti keduniawian itu? Rasulullah menjawab, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”.

Dari sini dapat kita tahu, bahwa kegiatan-kegiatan duniawi itu tidaklah buruk, adapun keburukannya terletak pada apa yang membuat lupa kepada Allah Swt.

Baca Juga:  Muhadharah, Mukasyafah dan Musyaha­dah: Perjalanan Spiritual Para Sufi Menuju Allah

Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sekali sufi yang hidup makmur. Contohnya;

  • Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal dengan karyanya Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar karena perkerjaannya menjual minyak wangi.
  • Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri, karena ia adalah penjual barang pecah belah.
  • Al- Hallaj al-Khazzaz, yang mencari nafkah sebagai pemintal kapas.
  • Sari as-Saqati, penjual rempah-rempah, dan banyak lagi yang lain.

Ini sekedar gambaran bahwa seorang sufi atau zuhud tidak harus menjauhi dunia. Abu Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang sempurna bukanlah zahid yang tenggelam dalam perenungan Tauhid. Bukan seorang wali yang menolak muamalah dengan orang lain.

Sufi sejati adalah mereka yang manfaat di masyarakat, makan dan tidur bersama mereka, jual beli di pasar dan punya peran sosial, namun dalam setiap saat ia tetap ingat kepada Allah Swt. Inilah hakikat zuhud yang sebenarnya.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik