Gus Baha’ dan Metode Berdakwah dengan Guyonan Santai

Gus Baha’ dan Metode Berdakwah dengan Guyonan Santai

Gus Baha’ menceritakan bahwa ia meneladani kiai-kiainya tentang metode berdakwah dengan cara guyonan. Cara berceramah dengan guyonan menurutnya merupakan ciri khas kiai pesantren. Sebagaimana yang diteladankan Mbah Ali (KH. Ali Maksum), Mbah Moen (KH. Maimun Zubair), dan ayahnya Gus Baha’ sendiri, Kiai Nur Salim.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebelum membahas lebih lanjut. Perlu dijelaskan dahulu bahwa “guyonan” di sini bukanlah bermakna tidak serius. Namun, guyonan yang dimaksudkan adalah berakna “hiburan”. Guyonan sendiri berasal dari bahasa Jawa bermakna becanda. Namun, becanda di sini bukan diartikan sebagai berdakwah dengan becandaan dan tidak serius.

Adapun yang dimaksudkan Gus Baha’ sendiri bahwa guyonan itu merupakan berdakwah dengan memberikan hiburan atau becandaan. Adapun konten ataupun keseriusan untuk melakukan gerakan dakwah adalah serius. Substansi dari ceramahnya tetap serius, namun metode pembawaannya yang santai.

Seringkali pemahaman tentang metode khas berdakwah ala kiai-kiai pesantren tersebut disalahpahami oleh beberapa kalangan umat Islam lain dan dianggap tidak serius dalam berdakwah dan berislam. Sekali lagi, yang dimaksudkan di sini guyonan (hiburan) adalah berdakwah dengan cara menghibur jama’ah yang sedang mendengarkan ceramahnya.

Baca Juga:  Dimanakah Padang Mahsyar? Di Bumi atau Tempat Lainnya? Ini Pendapat Ulama

Kembali ke pembahasan tentang metode ceramah dengan guyonan santai. Suatu waktu Gus Baha’ pernah diajak ayahnya untuk mengajar di pesantren. Ketika sampai di depan kelas, ayahnya mengajak Gus Baha’ untuk pulang lagi ke rumah.

Lantas Gus Baha’ langsung bertanya “Kenapa pulang bah (abah/ayah)?”. Kemudian ayahnya menjelaskan bahwa santri tadi sedang asyik guyonan ketawa-ketiwi dengan teman-temannya. Menurut ayahnya, sekali-kali tidak apa-apa biarkan santri guyonan dahulu.

Kasihan mereka, jarang mereka (santri) bisa tertawa. Diantara mereka ada yang sehari-hari hidupnya sulit, wesel-nya (kiriman) telat. Maka biarkan saja dulu mereka guyonan. Barangkali itu yang dapat menjadi hiburan mereka.

Dalam kisah lain, Gus Baha’ menceritakan bahwa di masyarakat itu banyak orang yang hidupnya banyak masalah. Bahkan, untuk mengobati kesulitan hidupnya tersebut, orang-orang tersebut harus mencari hiburan melalui melakukan kemaksiatan.

Baca Juga:  Gus Baha: Ciri Ahlussunnah Wal Jamaah Itu Sanad Ilmunya Jelas

Lihat saja, banyak orang yang minum minuman keras ataupun memakai narkoba hanya untuk mengalihkan atau bahkan melarikan diri dari hidupnya yang penuh persoalan. Mereka mabuk-mabukkan ataupun mengisap narkoba untuk sekedar melupakan masalah besar yang sedang dihadapinya.

Menurut Gus Baha’ bahwa kiai-kiai pesantren zaman dahulu memikirkan dengan serius perihal masalah tersebut. Bagaimana caranya supaya orang-orang yang melakukan kemaksiatan tersebut dapat ikut ngaji dengan sang kiai tersebut.

Jika mengajak orang ahli maksiat tersebut untuk datang ke pengajian, tentu akan sulit, mereka tidak tertarik atau bahkan tidak nyaman untuk datang dan malu karena merasa banyak dosa. Nah, di tengah kebuntuan tersebut kiai-kiai pesantren menemukan metode yang jitu untuk berdakwah.

Cara yang digunakan adalah melalui guyonan yang santai. Substansi dari materi ceramahnya tersampaikan, namun jama’ah pendengarnya juga merasa nyaman dan terhibur. Maka kemudian cara demikian ini menjadi lazim digunakan dalam kalangan pesantren.

Baca Juga:  Gus Baha: Meluruskan Pemahaman Kelompok yang Suka Bilang Bid’ah

Metode ceramah dengan guyonan santai ini sangat relevan hingga sampai saat ini. Terlebih lagi, belakangan ini banyak ekspansi dakwah dari kalangan wahabi yang ceramahnya dengan cara yang keras dan menakut-nakuti.

Cara berdakwah yang keras ala wahabi tersebut memengaruhi iklim keislaman kita belakangan ini menjadi sumpek (gerah). Semuanya kemudian ditakut-takuti oleh ancaman akan dimasukkan neraka. Model dakwah yang menakut-nakuti ini sebetulnya malah membuat citra kaum muslim seolah-olah adalah pemarah semua.

Padahal sebenarnya dalam Islam sendiri kita diajarkan untuk berbelas kasih dan bersabar dalam berdakwah. Karena Islam itu bersifat rahmatan lil alamin, tidak mungkin kemudian dibawakan dalam ceramah yang serba mengancam.

Dalam konteks di tengah gerahnya suasana keberislaman kita belakangan ini. Metode berdakwah dengan guyonan santai ala Gus Baha’ dan kiai-kiai pesantren tersebut perlu untuk terus dilanjutkan. Wallahua’lam.