Sejarah Jilbab Sebelum Islam Datang

Agama Islam dapat tumbuh dan berkembang di setiap tempat dan zaman karena memiliki sifat fleksibilitas dalam sistem hukum yang diterapkannya. Fleksibilitas tersebut terletak pada pemikiran fiqih. Dalam pemikiran fiqih, hukum Islam dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah bersifat tetap (tsabit) dan bentuk kedua bersifat berkembang (tathawwur). Yang pertama berupa wahyu Allah dan Hadis Nabi yang tidak akan berubah sepanjang masa dan yang kedua berupa ijtihad ulama yang bersifat berkembang, tidak kaku dalam berbagai situasi dan kondisi. Dalam keterpaduan kedua sifat hukum inilah Islam dapat bertahan disepanjang masa. Hukum Islam berkembang sesuai dengan perkembangan masa, tetapi tetap pada hukum yang Qur‟ani. (Effendy,1990;311).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada umumnya ajaran Islam banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan sosial, di samping persoalan-persoalan ibadah. Salah satu persoalan yang menjadi perhatian Islam adalah kaum wanita, baik sebagai isteri, ibu rumah tangga ataupun anggota masyarakat. Dalam tulisan ini pembahasan difokuskan pada posisi wanita Muslimat yang berkaitan dengan hijab dan jilbab (J. Chelhod, 1971;329).

Jilbab sebagai sebuah pakaian penutup kepala, ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang, bahkan kemungkinan bukan hanya dominasi umat Islam semata. Dengan ini kami akan menyajikan sejarah jilbab sebelum Islam datang.

Jilbab Pra Islam

Jilbab mendapat sorotan tajam dari kalangan pemerhati perempuan. Apakah ia asli dari Islam atau sebelumnya sudah ada dan Islam menggunakannya. Menurut al Munajjed, seorang sosiolog dari George Washington University, hijab tidak asli dari Islam, tetapi diimpor dari luar. Ia mengemukakan beberapa bukti sejarah. Menurutnya dalam sejarah Cina Kuno (Abad ke 2 SM) di dalam Sian Hioanak perempuan dipingit sejak umur sepuluh tahun. Mereka men-dapat pendidikan di lapangan tertutup, terpisah dari kaum pria. Di India juga mendapat perlakuan yang sama. Anak perempuan dipingit dalam suatu gedung yang bernama “Zanana”. Demikian juga di Yunani, di sekitar abad ke 2 SM, para wanita dan anak-anak perempuan menghabiskan waktu mereka dalam “Gynoecium”, apartemen pribadi yang dikhususkan untuk para wanita di dalam rumah mereka. Para wanita yang saleh tetap berada di apartemen mereka dan hanya para wanita dari masyarakat biasa yang keluar rumah. Praktek sebagaimana dikemukakan di atas, menurut al-Munajjed juga terdapat dalam praktek gerejani.

Baca Juga:  Jilbab, Antara Kewajiban Beragama, Tradisi dan Gaya

Jilbab atau hijab merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam. Ia memiliki bentuk yang sangat beragam. Hijab bagi masyarakat Yunani memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Romawi. Demikian pula halnya dengan hijab pada masyarakat Arab pra-Islam. Ketiga masyarakat tersebut pernah mengalami masa keemasan dalam peradaban jauh sebelum datangnya Islam. Hal ini sekaligus mematahkan anggapan yang menyatakan bahwa hijab hanya dikenal dalam tradisi Islam dan hanya dikenakan oleh wanita-wanita muslimah saja. Dalam masyarakat Yunani, sudah menjadi tradisi bagi wanita-wanitanya untuk menutup wajahnya dengan ujung selendangnya, atau dengan mengunakan hijab khusus yang terbuat dari bahan tertentu, tipis dan bentuknya sangat baik.

Peradaban Yunani tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa di sekitarnya. Namun, akhirnya peradaban tersebut mengalami kemerosotan dan kemunduran karena kaum wanitanya dibiarkan bebas dan boleh melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu dalam masyarakat Romawi, seperti diungkapkan Farid Wajdi, kaum wanita sangat memperhatikan hijab mereka dan tidak keluar rumah kecuali dengan wajah tertutup. Bahkan mereka masih berselendang panjang yang menjulur menutupi kepala sampai ujung kaki. 2 Peradaban-peradaban silam yang mewajibkan pengenaan hijab bagi wanita tidak bermaksud menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan martabatnya. Akan tetapi, semata untuk menghormati dan memuliakannya, agar nilai-nilai dan norma-norma sosial dan agama mereka tidak runtuh. Selain itu juga untuk menjaga peradaban dan kerajaan mereka agar tidak runtuh. Gereja-gereja terdahulu dan biarawati-biarawatinya yang bercadar dan berkerudung memakai kebaya panjang, menutupi seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kekejian dan kejahatan.

Baca Juga:  Filsafat sebagai Warisan Islam yang Mengagumkan

Dalam masyarakat Arab pra-Islam, hijab bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya, anak wanita yang sudah mulai menginjak usia dewasa, mengenakan hijab sebagai tanda bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan. Di samping itu bagi mereka, hijab merupakan ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para budak atau hamba sahaya. Dalam syair-syair mereka, banyak dijumpai istilah-istilah khusus yang kesemuanya mengandung arti yang relatif sama dengan hijab. Di antara istilah-istilah yang sering mereka gunakan adalah niqab, khimar, qina’, khaba, dan khadr. 4 Ada lagi bentuk-bentuk hijab yang lain seperti sarung, selimut, baju besi dan jilbab. Bangsa Arab pra-Islam mewajibkan wanitanya berhijab. Mereka menganggapnya sebagai tradisi yang harus dilakukan. Dan ketika Islam datang, ia “mengesahkan” tradisi tersebut.

Jika yang dimaksud jilbab sebagai penutup kepala (veil) wanita, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam code Bilalama (3000 SM) kemudian berlanjut dalam code Hamurabi (2000 SM) dan code Asyiria (1500 SM). 5 Sewaktu terjadi perdebatan tentang jilbab di Prancis pada tahun 1989, Maxime Radison, seorang ahli Islamologi terkemuka dari Prancis mengingatkan bahwa di Asyiria ada larangan berjilbab bagi wanita tuna susila. Dua abad sebelum masehi, Tertullen, seorang penulis Kristen apologetik, menyerukan agar semua wanita berjilbab atas nama kebenaran.

Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua, seperti Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria. Wanita terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya budak wanita dilarang mengenakannya. Dalam perkembangan selanjutnya, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan tersebut. Ketika terjadi perang antara Romawi-Bizantium dengan Persia, rute perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di tepi pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. 

Baca Juga:  Adakah Riba yang Diperbolehkan dalam Islam?

Jilbab atau hijab bukan asli dari Islam, melainkan dari peninggalan peradaban sebelumnya. Banyak bangsa yang sudah menggunakan jilbab sebelum Islam datang. Mereka menggunakan jilbab untuk melindungi dari kekejian dan kekerasan. Setiap bangsa seperti Yunani, Romawi, Arab mereka mempunyai ciri khas masing-masing jilbabnya. Dan kebanyakan jilbab hanya digunakan untuk perempuan yang merdeka, untuk budak dilarang menggunakannya. Di Arab jilbab sudah menjadi tradisi untuk perempuan dewasa yang hendak menikah untuk menggunakan jilbab. Dengan dapat disimpulkan bahwa jilbab merupakan tradisi yang sampai saat ini masih bisa kita temui, setelah Islam datang barulah jilbab dijadikan pakaian untuk menutup aurat disebabkan ada perintah dari Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Wajdi, Muhammad Farid. Da’irat al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Jilid 3. Beirut: Dar al- Ma‘rifah, 1991.

al-Ghaffar, Abdur-Rasul Abdul Hasan. Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern. Terj: Bahruddin Fanani. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

al-Barik, Hayya binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Terj. Amir Hamzah Fahruddin. Jakarta: Darul Falah, 1997.

Mahmada, Nong Darol. “Dari editor” dalam Muhamad Sa’id Al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab. Terj. Novriantoni Kahar dan Oppie Tj, Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits. Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, 2003.

Al-Munajjed, Wanita Arab Saudi Masa Kini.

Mohammad Fauzan, Penulis merupakan Mahasiswa Aktif Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prodi Hadis.

Redaksi