Begini Penjelasan Ide Fikih Madzhab Indonesia ala Hazairin

Begini Penjelasan Ide Fikih Madzhab Indonesia ala Hazairin

PeciHitam.org Masalah besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah bagaimana membentuk satu pemikiran hukum Islam yang sesuai dengan tradisi yang ada di wilayah ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum Nasional.

Kenyataan bahwa selama ini umat Islam hanya mengikuti jalur pemikiran fikih mazhab Syafi’i ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaruan dan nasib pemikiran hukum Islam di Indonesia.

Hukum Islam di Indonesia

Dibandingkan dengan negara-negara lain yang tidak pernah dijajah oleh Belanda, Indonesia termasuk negara yang kurang beruntung. Hal ini dapat dimengerti dengan tidak adanya perhatian pemerintah kolonial secara cukup proporsional dalam proses pembenahan dan pengembangan hukum Islam, terutama dalam konteks legislasi hukum Islam yang dicitakan dapat dipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama.

Oleh karena itu, wajar kiranya jika hingga 1960-an kitab-kitab hukum fikih yang dibuat oleh para mujtahid pada abad pertengahan masih menjadi acuan utama dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan Peradilan Agama.

Fenomena ini sangat memprihatinkan sebab karakter pemikiran dalam kitab fikih klasik itu secara umum sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia.

Baca Juga:  Meluruskan Ustadz Badrussalam Tentang Peran Walisongo di Indonesia, Makanya Baca Sejarah!

Pergumulan para mujtahid dengan konteks sosial politik Timur Tengah sangat memengaruhi hasil ijtihad yang mereka lakukan sehingga tidak cocok kalau dipaksa untuk dilaksanakan di Indonesia.

Dengan demikian, permasalahan-permasalahan fikih terutama dalam bidang muamalah membutuhkan rumusan baru agar lebih relevan dengan situasi dan kondisi serta adat dan budaya Indonesia.

Wacana Fikih Mazhab Indonesia

Seting sejarah sosial pemikiran hukum Islam di atas telah mendorong Hazairin untuk membentuk Fikih Mazhab Nasional Indonesia. Dalam konteks pembicaraan bahwa permasalahan yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah masalah hukum, dan bahwa karakteristik hukum Islam berbeda dengan unsur eksistensi hukum Islam bisa dikatakan sedang mencari-cari tempat di dalam.

Dari titik berangkat ini, ide Fikih Mazhab Nasional menuai signifikansinya. Dalam amatan Hazairin, bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan alasan dan pertimbangan akan perlunya memikirkan konstruk mazhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia.

Menurutnya, mazhab hukum Syafi’i harus dikembangkan sehingga mampu menjadi penghubung bagi resolusi problem-problem spesifik masyarakat Indonesia.

Berbeda dengan pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menginginkan membentuk Fikih Indonesia dengan cara menggunakan semua mazhab hukum yang telah ada (mugâranah al-mazháhibah) sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya, Hazairin justru menginginkan pembentukan Fikih Mazhab Nasionalnya dengan titik berangkat hanya dari pengembangan fikih mazhab Syafi’i.

Baca Juga:  Membaca Manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani, Tradisi Mayoritas Umat Islam

Pandangan Hazairin ini lebih didasarkan pada kenyataan bahwa mazhab Syafi’i telah sekian lama dianut oleh masyarakat Indonesia sehingga karakteristiknya bisa dikatakan pararel dengan adat istiadat di Indonesia. Dan bagi Hazairin, eksistensi hukum adat tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam proses pembuatan hukum Islam di Indonesia.

Penilaian yang kurang tepat terhadap hukum adat, terutama ketika ia dianggap sebagai faktor yang menghalangi pengembangan hukum Islam, dan begitu juga sebaliknya, tidak bisa lepas dari kondisi politik kolonial masa lalu, terutama sejak munculnya teori receptie yakni teori yang menyatakan bahwa hukum Islam akan berlaku secara efektif di kalangan umat Islam apabila hukum tersebut sejalan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia.

Menurut Hazairin, umat Islam tidak perlu lagi terjebak dalam kontroversi tentang hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari teori ini. Dia menyarankan agar umat Islam memakai hukum Islam sebagai hukum yang ditaati guna menata kehidupan sehari-hari.

Dan selanjutnya, Peradilan Islam dimungkinkan untuk berdiri dan integral dengan peradilan negara, yang dalam hal ini berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.

Baca Juga:  Adzan Pitu, Tradisi Masyarakat Cirebon dalam Menangkal Wabah Penyakit

Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi pertentangan antara sistem hukum adat, hukum positif, dan hukum agama.

Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan dan hukum baru yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan begitu pula sebaliknya. Negara wajib mengayomi setiap orang untuk bisa menjalankan ajaran agama yang diyakininya.

Selain itu, negara juga wajib mengatur dan mengontrol sistem hukum Islam, terutama aspek muamalahnya yang membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya.

Dengan melihat paparan di atas, maka ide Hazairin tentang Fikih Mazhab Nasional Indonesia boleh dikatakan merupakan prolifelari (pengembangan) dari gagasan Fikih Mazhab Indonesia yang digagas oleh Hasbi Ash-Shiddieqy.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan