Al-Ghazali, Kesalahan Kutib dan Kitab Perdukunan

Beberapa hari ini saya mencoba menelusuri dan membaca beberapa literatur yang mengisahkan tentang sosok Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, guna melengkapi catatan sederhana saya tentang poin-poin penting pemikiran beliau dalam bidang Teologi. Saya mencoba mencari data-data tentang sejarah kehidupan, corak pemikiran dan karya-karya intelektual yang beliau tinggalkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ada banyak karya tulis, baik berupa buku, artikel jurnal, skripsi dan tesis, yang telah ditulis oleh sarjana-sarjana muslim Indonesia, baik yang secara spesifik mengisahkan sosok ulama terkemuka ini, maupun yang hanya secara parsial menjadikannya sebagai sub topik pembahasan dalam bukunya. 

Namun sangat disayangkan, dari deretan karya tulis tersebut, banyak ditemukan data-data yang kurang valid dan penulis terkesan kurang serius dalam melakukan penelitian. Salah satu faktor kelemahan data pada karya mereka -menurut pengamatanku- disebabkan kesalahan dalam pemilihan sumber serta kelemahan dalam merujuk pada sumber aslinya. Selanjutnya, buku-buku yang salah data ini banyak disitasi oleh penulis-penulis lain, sehingga terjadilah kesalahan massal dan kesesatan berjamaah.

Kesalahan berjamaah paling banyak misalnya terjadi saat menguraikan jumlah buku yang telah ditulis oleh Imam al-Ghazali. Jumlah buku-buku karya Al-Ghazali secara definitif hingga saat ini memang belum disepakati oleh para penulis sejarah. Penelitian paling mutakhir tentang jumlah buku ini dilakukan oleh Abdurrahman Badawi yang ditulis dalam kitab Muallafat al-Ghazali. Saya menemukan, ada beberapa buku yang mengutip kitab ini, seperti buku; Peradaban Pemikiran Islam” karya Boedi Abdullah (terbit tahun 2013), “Pengantar Filsafat Islam” Karya Dedi Supriadi (terbit tahun 2013), dan buku ini mengutip tulisan Ahmad Daudy dalam Buku “Kuliah Filsafat Islam” (terbit tahun 1986). Pada ketiga buku ini menjelaskan bahwa Badawi mengelompokkan karya-karya al-Ghazali menjadi 3 kelompok; buku yang dipastikan sebagai karya beliau 72, (ada yang menuliskan 47), yang diragukan 22 dan yang dipastikan bukan karyanya 31. Data yang kurang valid ini selanjutnya disitasi oleh puluhan atau bahkan ratusan karya tulis dalam berbagai variannya, sehingga terjadilah proses pewarisan kesalahan.

Jika data itu dikroscek pada sumber aslinya, (yang saya gunakan adalah kitab Muallafat al-Ghazali, terbitan Kuwait: Wakalat al-Mathbu’at, 1977, cetakan kedua), maka data sebenarnya adalah sebanyak 457 kitab yang penulisannya dikaitkan dengan al-Ghazali, dari sejumlah ini diklasifikasikan menjadi 7 kelompok -(bukan 3)-,  buku yang dipastikan sebagai karyanya 72, yang diragukan 23 dan yang dipastikan bukan karyanya 32.

Baca Juga:  Operasi Selaput Dara, Pengertian dan Hukumnya Dalam Islam

Kesalahan data lainnya adalah saat menarasikan detik-detik wafatnya sang Hujjatul Islam al-Ghazali. Banyak buku-buku berbahasa Indonesia yang mengisahkan bahwa sesaat sebelum beliau meninggal, beliau meminta dibawakan PETI MATI-nya. “Ia seolah-olah mengusap PETI itu dengan matanya”. Klausa ini misalnya ditemukan pada buku; “Seratus Muslim Terkemuka” karya Jamil Ahmad (terbit tahun 2003), Buku “Titian Iman: Bimbingan dalam Keberagamaan” (terbit tahun 1999), buku “Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam” karya Nur Chamid (terbit tahun 2010). Sama seperti kasus yang pertama, banyak para penulis artikel, jurnal, dsb, yang latah mengutip narasi ini, dengan tanpa melakukan verifikasi data terlebih dahulu. 

Dalam pengamatan saya, terdapat kesalahan data yang fatal dan kesesatan logika pada paparan di atas. Logika sederhana, sangat tidak mungkin sang imam meminta disediakan PETI MATI sebelum kewafatannya, sebab dalam tradisi Islam, pemakaian Peti Mati untuk menguburkan seseorang tidak diperbolehkan, kecuali dalam kondisi darurat atau terdapat hajat. Selain itu, narasi “Mengusap PETI itu dengan matanya” juga sangat absurd dan ambigu.

Setelah saya telusuri dengan sumber yang lebih otentik, dengan merujuk pada dua sumber; As-Tsabat ‘inda al-Mamat karya Abu al-Faraj ibn al-Jauzi dan Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra karya Tajuddin as-Subki, ternyata yang benar adalah permintaan al-Ghazali kepada saudaranya; Ahmad al-Ghazali: 

عليّ بالكفن”، فأخذه وقبّله، ووضعه على عينيه وقال: “سمعًا وطاعة للدخول على الملك

“Siapkan kain kafanku”. Setelah itu, ia mengambil dan menciumnya serta meletakkan di kedua kelopak matanya seraya berucap: “aku telah siap, taat dan patuh memasuki singgasana Tuhanku”. 

Mengacu pada fakta-fakta tersebut di atas, bagi seorang penulis atau peneliti kiranya perlu untuk lebih memperhatikan kembali data-data yang disajikan dalam tulisannya, agar terhindar dari unsur “dosa warisan” dan “kesesatan” berjamaah.

Imam al-Ghazali memang betul-betul menjadi tokoh intelektual yang keilmuannya diakui secara luas. Imam Al-Juwaini sebagai salah satu guru utamanya sampai menjulukinya sebagai lautan ilmu yang luas. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah yang monumental. Salah satu magnum-opus yang dikaji secara luas di kalangan pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah kitab  Ihya’ ‘Ulumuddin. Beliau merupakan sosok multitalenta yang berhasil menorehkan karya-karyanya dalam berbagai bidang disiplin keilmuan. Karya-karyanya ini sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Persia.

Baca Juga:  Membaca Alquran Adalah Cara Hamba Berkomunikasi dengan Allah

Di kalangan pemerhati sejarah, jumlah karya tulis al-Ghazali ini memang belum disepakati secara pasti. Namun dalam hitungan Imam Nawawi (dalam Kitab Bustanul Arifin), jika dikalkulasikan dengan usia hidup al-Ghazali, setiap harinya rata-rata beliau telah menulis tidak kurang dari empat kuras kitab/buku kecil, dan hal itu merupakan anugerah Allah swt yang hanya diberikan bagi hamba-hamba-Nya yang tertentu.

Ketokohan al-Ghazali tidak hanya menyita perhatian dari kalangan peneliti muslim, namun juga tercatat sederetan nama peneliti Barat dan kalangan orientalis yang pernah melakukan riset tentang kehidupan dan karya-karyanya, melalui manuskrip-manuskrip yang tersimpan di beberapa museum. Misalnya R.Gosche pada 1858, MD.B. Macdonald pada tahun 1899, tokoh orientalis; Ignaz Goldziher pada tahun 1903, yang hasil penelitiannya diterbitkan di London tahun 1916, W.H.T.Gairdner pada tahun 1914, dan Louis Massignon pada tahun 1929, yang berhasil menulis secara urut karya-karya Ghazali.

Kitab Perdukunan; Al-Awfaq

Dalam catatan Abdurrahman Badawi yang dimuat dalam kitab Muallafat al-Ghazali, ada sebanyak 457 kitab yang penulisannya berkaitan dengannya. Dari sejumlah tersebut, ditemukan sebanyak 78 manuskrip yang penulisnya dikaitkan kepada al-Ghazali. Diantaranya adalah kitab perdukunan yang berjudul Al-Awfaq. Sesuai dengan namanya, kitab ini banyak berisi tentang wifiq-wifiq dan rajah yang dipercayai memiliki berbagai khasiat dan kekuatan magic, seperti yang disebut dengan wifiq lathif tsulatsi yang dipercayai dapat memudahkan dan melembutkan segala urusan bagi yang mengamalkannya, serta wifiq suba’i yang diyakini berkhasiat sebagai pengasihan dan mempermudah urusan dengan para pembesar.

Menurut Badawi kitab ini pertama kali dicetak di Kairo, tanpa adanya keterangan  tahun dengan ketebalan 55 halaman. Kitab ini bersumber dari manuskrip kuno yang terdapat di Perpustakaan Kairo. Pada manuskrip asli, dipastikan tidak ditemukan identitas penulis manuskrip secara pasti, penisbatannya kepada al-Ghazali hanyalah buatan dari pihak penerbit dan  tim pentashihnya. 

Sejak awal kemunculannya, sudah banyak kalangan yang menyangsikan kitab ini sebagai karya original dari Imam Ghazali. Isi kitab yang banyak memuat ilmu-ilmu sihir dan perdukunan, tidak dianggap tidak sesuai dengan karakteristik pemikiran al-Ghazali dan bebeda jauh dengan karya-karya beliau yang lain.

Baca Juga:  Kitab Al Minhaj, Syarah An Nawawi Ala Muslim

Terdapat beberapa kejanggalan di dalam kitab ini, yang secara eksplisit kian menguatkan argumentasi bahwa kitab ini bukanlah karya al-Ghazali. Pertama, pada halaman 12 ditemukan bab tentang “mengetahui cara penghilangan huruf-huruf bagi Imam Ghazali”.

باب معرفة إسقاط الحروف للغزالي (ص.12)

Bab ini berisi penjelasan teknik-teknik dalam menulis rajah yang dimaksudkan bagi permusuhan, pengasihan, bagi orang sakit dan lain sebagainya.

Pembahasan ini mengindikasikan bahwa manuskrip al-Aufaq bukanlah karya sang Imam. Dalam turats-turats klasik, sangat jarang atau tidak ditemukan penulis kitab yang mengutip atau mensitasi pendapatnya sendiri dengan menuliskan namanya sendiri secara langsung. Berbeda dengan teknik penulisan karya ilmiah di era modern, penulis yang mensitasi karyanya sendiri, masih mengharuskan menuliskan namanya dan bahkan nama bukunya sendiri yang ia kutip.

Kejanggalan kedua terdapat pada halaman 53. Pada halaman ini penulis manuskrip membahas tentang faedah ismullah al-a’dzam. Dalam pembahasan ini, penulis manuskrip mengutip kitab imam Al-Buni (penulis kitab Syamsul Ma’arif) dan kitabnya imam al-Ghazali

فائدة عظيمة واسم عظيم في البحث عن اسم الله الأعظم من كتاب الإمام البوني والغزالي وغيره (ص.53)

Jika dilihat dari tahun kelahiran dan kewafatannya, imam al-Ghazali wafat pada tahun 505 H/111 M, sedangkan al-Bhuni yang memiliki nama lengkap Ahmad bin Ali bin Yusuf Al-Bhuni al-Maliki baru lahir 15 tahun setelah kewafatannya, yakni tahun 520 H/1226 M. Sangat mustahil, imam al-Ghazali mengutip kitab dari penulis yang belum lahir. 

Sehingga dengan mengacu pada beberapa data di atas, menurut catatan Ahmad Badawi>, manuskrip ini kuat dugaan bukan karya al-Ghazali,  penisbatannya kepada al-Ghazali murni karena ulah penerbit dan pentashihnya, tidak pernah ditemukan dalam manuskrip kuno yang ada.

Oleh: Buhori, Dosen IAIN Pontianak dan Ketua Bidang Kaderisasi PW. Ansor Kalimantan Barat

Redaksi