Kitab Turats, Model Literasi Peradaban Islam Warisan Ulama Terdahulu

kitab turats

Pecihitam.org – Setiap lembaga pendidikan dari tingkat paling dasar hingga perkuliahan pastinya memiliki memiliki buku yang digunakan para muridnya untuk belajar. Begitupun para santri yang belajar di pesantren, yang juga memiliki kitab turats atau biasa dikenal dengan istilah kitab kuning yang menjadi ciri khas dan merupakan salah satu ikon santri.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Turats merupakan peninggalan para ulama dan cendekiawan Islam terdahulu. Darinya, kita dapat memahami Al Quran dan Sunah serta kondisi umat Islam, khususnya bangsa Arab.

Turats berkembang tidak jauh dari masa Nabi Muhammad SAW. Meski begitu, beberapa pakar sejarah memberikan batas bahwa hasil karya ulama dan cendekiawan sebelum masa Abbas Pasha (1812-1854 M) dari Dinasti Ali Pasha di Mesir, disebut turats dan setelahnya disebut kitab-kitab kontemporer.

Klasifikasi tersebut tidak lain karena adanya perkembangan pembelajaran atas keilmuan dan pemikiran Islam yang telah terwarnai dengan metode berfikir Barat. Kemudian dipelajari oleh para cendikiawan Umat Islam.

Turots juga bisa disebut model literasi yang dimiliki oleh peradaban islam. Menyelami turats tidak akan selesai dalam kehanyutan. Karena terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang semuanya berhulu untuk memahami Al Quran dan Sunah.

Baca Juga:  Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah (Pemahaman yang Harus Diluruskan) Karya Sayyid Muhammad al Maliki

Pada dasarnya, fungsi penting dari turats adalah untuk menuntun kita untuk memahami Alquran dan Sunah, bukan sumber hukum (mashdar al hukm). Sehingga banyak yang menggunakannya sebagai referensi (al marja’).

Contoh turats paling nyata adalah fikih yang kemudian melahirkan ilmu ushul fikih, kemudian ilmu kalam dan gramatikal Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan ‘Arudl/ Ilmu Syair) sebagai ilmu alat yang paling fundamental dan syarat wajib untuk memahami Alquran dan Sunah.

Seseorang yang menafsirkan Alquran dan Sunah tanpa ilmu di atas maka hanya akan penuh emosi dan kebencian serta jauh dari kandungan yang sebenarnya.

Kajian turats fikih, tentu berbeda dengan turats sejarah. Dalam turats sejarah, sumber sejarah (mashdar at tarikh) harus ditulis oleh orang yang hidup pada masa kejadian sejarah.

Sedangkan referensi sejarah (marja’ at tarikh) dapat ditulis oleh orang-orang yang hidup setelahnya, menganalisa kejadian bersejarah yang ditulisnya.

Beda turats fiqih dengan turats sejarah, beda juga dengan turats ilmu-ilmu alat (gramatikal bahasa Arab). Setiap karya punya keutamaan metode, penjelasan dan bentuk tersendiri (prosa atau syair). Seperti Al Jurumiyah dan Alfiyah Ibnu Malik.

Baca Juga:  Mengenal Kitab Tafsir al-Bayan Karya Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy

Dari sini maka dikatakan bahwa para ulama terdahulu telah merumuskan metode pembelajaran ilmu-ilmu syar’i beserta ilmu-ilmu alat (gramatikal bahasa Arab) dengan metode pembelajaran yang telah terstruktur, agar mudah dipahami secara tersusun rapi.

Selanjutnya, karya-karya para ulama dijadikan bahan ajar bagi penuntut ilmu-ilmu syar’i hingga kini. Bahkan berbagai lembaga pendidikan umat Islam menggunakan karya-karya para ulama sebagai kurikulum sesuai dengan pembahasan dalam karya tersebut.

Kitab Turats umumnya memiliki tiga jenis karakter model yang bisa kita kenali dari bentuk dan gaya penulisannya.

1. Matan

Matan adalah jenis kitab yang umumnya berbentuk tulisan ringkas seperti nadhom atau syair. Banyak alasan mengapa penyusun menulisnya secara ringkas, global dan berbentuk nadzam. Tujuannya adalah, agar pelajar mudah menghafal isi kitab itu lewat rima yang di susun seirama.

2. Syarah

Syarah adalah jenis kitab yang biasanya berupa ulasan tentang kitab matan dan sedikit memberikan penjelasan atau gagasan dari ulama lain atas pandangan seorang musonnif sebelumnya. Syarah biasanya sedikit lebih tebal daripada Matan.

3. Hasyiyah

Baca Juga:  Kitab Mughni Al Muhtaj Karangan Syekh Khatib Syarbini

Jenis ini lebih berbeda lagi. Hasyiyah biasanya lebih bermuatan komentar atau ta’liq atas kitab model syarah. Entah komentar itu menolak atau menerima, namun gagasan dan argument yang disampaikan para ulama dalam kitab hasyiyah tadi sangatlah bijak dan santun tanpa sedikitpun mencela. Hasyiayah biasanya lebih tebal lagi daripada Syarah.

Inilah warisan nyata dari peradaban literasi Islam yang menyebar dari Timur Tengah hingga ke Nusantara. Tidak sedikit pula ulama-ulama Nusantara yang memberikan sumbangsih dan karyanya terhadap perkembangan dunia literasi Islam misalnya: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Tarmasi, Syekh Irsyad Al-Banjari, Syekh Abdur Rouf Al-Singkiliy, Syekh Abdus Shomad Al-Palimbani dan masih banyak lagi.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik