Kritik atas Diskriminasi Hukum dalam Konsep Negara Islam

Konsep Negara Islam

Pecihitam.org – Belakangan ini sedang marak pembicaraan di antara sebagian umat Islam tentang urgensi negara Islam. Dalam pembicaraan tersebut, konsepsi negara Islam dibicarakan secara variatif baik dengan pendekatan melakukan syariatisasi peraturan daerah (Perda syari’ah), negara Islam yang secara teritorial masih mengikuti konsepsi negara bangsa (nation-state), hingga tetang wacana khilafah Islamiyah ala Hizbut Tahrir Indonesia (telah dibubarkan pemerintahan Presiden Jokowi) yang konsepsinya berskala internasional, yakni kekhilafahan internasional.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dari berbagai pembicaraan perihal wacana maupun konsepsi negara Islam (dengan berbagai variasinya) tersebut memiliki problem besar terkait dengan posisi hukum dalam konsep negara Islam. Adapun problem yang perlu dikritisi tersebut berupa watak diskriminatifnya hukum dalam konsep negara Islam.

Status hukum yang berlandaskan konsep negara Islam mendasarkan segala sumber hukum negara hanya berdasar satu sumber hukum saja (berdasar ajaran Islam), maka ia secara langsung juga akan memaksakan satu sumber tersebut untuk diterapkan kepada masyarakat yang secara identitas dan kelompok sangat beragam dan banyak.

Dalam hukum modern yang berlatar dari tradisi Romawi (roman empire) dan secara evolutif mengakomodasi perihal hak asasi manusia (HAM) memiliki adagium yang terkenal “equal before the law”, yakni setara dihadapan hukum. Nah, dalam konsepsi hukum dalam negara Islam adagium kesetaran itu tak terjadi. Semua orang akan dikenakan hukum berdasar satu sumber saja, yakni ajaran Islam.

Baca Juga:  Agama Dalam Kepentingan dan Politik Identitas

Misalnya saja begini, dalam ajaran Islam –yang kemudian menjadi sumber hukum dalam negara Islam- ada perintah untuk setiap wanita wajib menggunakan hijab (tentu ini masih diperdebatkan oleh para ulama’).

Misalnya perihal hukum kewajiban menggunakan hijab tersebut oleh hukum negara Islam dikenakan kepada seluruh warga negara –karena hukum berlaku mengikat semuanya. Maka, apakah kewajiban itu tidak mendiskriminasi bagi kalangan Nasrani ataupun agama-agama maupun kepercayaan lain?

Nah, problem diskriminasi inilah yang secara intrinsik diidap oleh konsepsi hukum dalam negara Islam. Hukum yang diskriminatif tersebut bakalan bertentangan dengan perintah lain dalam Alquran yang mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (masuk Islam) dan juga bertentanngan dengan spirit Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Kemudian, problem lain yang mengidap dalam konsepsi hukum dalam negara Islam adalah perihal status kewenangan melakukan penjatuhan hukum yang sebetulnya adalah domain dari Allah Swt. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam esainya “Islam: Pengertian sebuah Penafsiran” mengatakan bahwa dalam Islam ada ajaran yang berbunyi “yushîbu wa yu âdzibu man yasyâ”, yang artinya “memberikan padaha dan menurunkan dosa adalah sifat Allah.”

Baca Juga:  Belajar dari Pengalaman Menjadi Minoritas, Saat Jadi Mayoritas Jangan Diskriminatif

Melalui nukilan tersebut, Gus Dur ingin mengetengahkan pemahaman bahwa dalam Islam sendiri yang memiliki hak penuh (kewenangan) untuk menentukan dan memberikan hukuman pahala dan dosa kepada hambanya hanya Allah Swt semata. Dari situ apakah domain pereogatif Allah tersebut dapat diturunkan kepada penegak hukum duniawi dalam negara Islam?

Secara mendasar lagi juga perlu dipertanyakan bahwa jika pun ada warga negara yang melanggar hukum di negara yang hukumnya berdasarkan ajaran Islam (negara Islam), apakah ia ketika diberikan hukuman di dunia lantas di akhirat ia akan otomatis selamat?

Gus Dur secara tajam mempertanyakan demikian “dapatkah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagian dari siksa di dunia?”. Kemudian Gus Dur juga melanjutkan “sudahkah manusia terbebas dari siksa neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara?”

Problem mendasar yang dialami oleh hukum dalam konsepsi negara Islam tersebut bertentangan dengan dengan salah satu hadist Nabi “hendaknya hakim jangan menjatuhkan hukuman mati jika ia ragu-ragu, benarkah si terdakwa nyata-nyata bersalah.” Mengacu pada hadist tersebut menampakkan bahwa hukum duniawi –termasuk hukum dalam negara Islam- memiliki batasan. Ia tidak memiliki kewenangan mutlak sepeti Allah Swt.

Baca Juga:  Bagaimana Menjaga Akhlak Berkomentar di Media Sosial

Dengan demikian, sebagaimana telah dibahas di atas bahwa secara mendasar konsepsi hukum dalam negara Islam memiliki problem diskriminatif dan sekaligus krisis legitimasi teologis untuk menjalankan kewenangan yang sebetulnya itu adalah domain mutlak dari Allah Swt.

Maka dari itu, konsepsi negara Islam (dengan hukumnya) yang di klaim oleh sebagian kelompok tak dapat serta merta merasa paling benar sendiri hingga memonopoli ia adalah wajah Islam yang susungguhnya. Demikian itu hanyalah arogansi semata. Wallahua’lam.