Sikap Bijak Sebagai Muslim Terhadap Tragedi Wabah Virus Corona

Sikap Sebagai Muslim Terhadap Tragedi Wabah Virus Corona

Pecihitam.org – Tragedi wabah virus Corona yang menimpa negeri Cina dan beberapa kawasan di dunia memang kejadian yang mengerikan. Keganasan virus menular yang membuat banyak pengidapnya tumbang dan meninggal dunia seketika itu sampai memaksa pemerintah Republik Rakyat Cina mengisolasi kota Wuhan, asal muasal penyakit mematikan itu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagaimana dilansir oleh The Guardian, virus Corona menyebabkan pneumonia atau peradangan jaringan satu atau kedua paru-paru, sehingga penderitanya mengalami batuk-batuk, demam dan kesulitan bernafas. Dalam beberapa kasus, virus tersebut bahkan melumpuhkan organ-organ tubuh.

Virus Corona berasal dari binatang-binatang yang dikonsumsi oleh manusia, khususnya kelelawar, sebagaimana disebut banyak analisa. Namun dalam kasus Wuhan, pengidap virus ganas itu adalah mereka yang bekerja atau yang sering bertransaksi di pasar grosir makanan laut Huanan yang terletak di pusat kota.

Karena dampaknya begitu besar, sebut The Guardian lagi, antibiotik dan obat-obatan lainnya tidak berguna, sehingga penanganan terhadap penyebaran penyakit itu sampai saat ini nampak belum membuahkan hasil. Kesembuhan seseorang yang teridap virus Corona tergantung pada sistem kekebalan tubuhnya. Banyak orang yang meninggal diketahui memiliki kualitas kesehatan yang buruk.

Sejauh ini belum ada, mudah-mudahan tidak akan ada, dilaporkan kasus Corona di Indonesia dan warg negara Indonesia yang berada di negara-negara terdampak. Masyarakat Indonesia patut bersyukur akan hal ini sembari tetap waspada agar penyakit ganas itu tidak memasuki area negaranya.

Namun sikap sebagian muslim di Indonesia terhadap tragedi kemanusiaan yang memilukan ini tidak berada pada tempatnya. Alih-alih menunjukkan rasa keprihatinan, tragedi wabah virus Corona di Cina justru dimanfaatkan untuk mengakselerasi kebencian terhadap etnis Cina yang paralel dengan penegasan klaim kebenaran terhadap ajaran agama tentang halal-haram makanan.

Baca Juga:  Wabah Corona dan Overdosis Komentar Berbalut Agama

Peristiwa Corona memang seakan membenarkan ajaran Islam yang membedakan antara makanan yang halal dan makanan yang haram. Klaim ini menjadi penting untuk keberimanan muslim itu sendiri.

Namun di sisi lain klaim tersebut terpelintir menjadi anggapan bahwa tersebarnya penyakit akibat Corona disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Cina mengonsumsi makanan yang diharamkan oleh Islam.

Jika kita meminjam istilah hate spin yang ditampilkan oleh Cherian George (2016) untuk menunjuk pada rekayasa ketersinggungan agama dan kebencian, nampaknya kita dapat mengistilahkan sikap semacam ini dengan truth claim spin.

Secara umum, truth claim itu sendiri bisa diartikan sebagai proposisi atau pernyataan bahwa seseorang atau suatu sistem kepercayaan diyakini benar adanya.

Akan tetapi, kebenaran agama dalam konteks sikap muslim terhadap peristiwa virus Corona bukan hasil dari refleksi koherensi dan korespondensi atas sesuatu yang diklaim tersebut.

Kebenaran ajaran agama tentang halal-haram makanan dalam kasus ini merupakan pelintiran dari rentetan kejadian dari makanan haram yang dikonsumsi orang-orang Cina sampai kematian akibat virus Corona.

Klaim kebenaran tersebut dapat digugat dengan fakta bahwa virus Corona juga penyebab bagi munculnya penyakit-penyakit ganas lainnya yang justru muncul dari makanan halal menurut Islam. Kita mungkin ingat tentang mewabahnya penyakit MERS (Middle Eastern Respiratory Syndrome) yang terjadi Timur Tengah.

Sesuai namanya penyakit MERS berasal dari daging unta berpunuk satu (dromendary). Masih dilansir oleh The Guardian, virus MERS memang tidak menular dengan mudah, tapi lebih mematikan. Virus itu telah membunuh 35% dari 2.500 orang yang terinfeksi.

Baca Juga:  Cegah Penyebaran Virus Corona, Arab Saudi Berlakukan Jam Malam

Memang wajar saja kiranya jika wabah Corona diklaim sebagian muslim sebagai pembenaran terhadap ajaran agamanya. Namun sudut pandang yang lebih luas diperlukan dalam hal ini. Virus Corona dan wabah penyakit lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh faktor halal-haram, melainkan sejauh mana kualitas makanan yang dikonsumsi.

Bukankah agama Islam sendiri telah mengajarkan bahwa predikat halalan saja tidak cukup untuk menghadirkan makanan yang baik, melainkan juga thayyiban?! Manday (kulit cempedak yang telah dikupas dan direndam dengan air garam lalu digoreng) yang dikonsumsi masyarakat Banjar sebagai lauk harian memang halal, namun menurut seorang dosen di Sekolah Tinggi Analis Kesehatan di Banjarmasin, Manday tidak mengandung nutrisi makro apapun. Anda bisa menyebutkan contoh-contoh lainnya.

Di samping itu, tragedi virus Corona di Cina disikapi sebagai penegasan terhadap kebencian terhadap Cina dan etnis Cina yang sudah lama diidap oleh masyarakat Indonesia.

Sebagian kaum muslimnya mengatakan penduduk kota Wuhan dan negeri Cina pada umumnya saat ini sedang mendapat azab dari Tuhan akibat keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan.

Pelintiran kebencian (hate spin) muncul lagi dan kali ini dibumbui dengan frase-frase keislaman. Sudah bukan rahasia bahwa etnis Cina telah menjadi sasaran kebencian selama berpuluh-puluh tahun dan sudah bukan rahasia jika kebencian itu ada hubungannya dengan persaingan ekonomi antara etnis Cina yang berkulit kuning dengan orang-orang berkulit coklat.

Persaingan ekonomi itu ada hubungannya pula dengan sentimen terhadap hirarki sosial yang dipupuk oleh pemerintah kolonial. Hirarki tersebut menempatkan orang-orang Belanda dan berkulit putih di kasta tertinggi, orang-orang Cina dan orang-orang keturunan Arab di kasta kedua dan orang-orang boemiputra di kasta terendah.

Baca Juga:  Argumen Islam Tentang Ide Kebebasan Beragama

Hal ini menegaskan apa yang disampaikan Gayatri Spivak (dalam Gading Sianipar dalam Mudji Sutrisno, 2004) yang mengatakan bahwa pola kehidupan dan episteme masyarakat pascakolonial merupakan bentukan kolonialisme.

Yang luput dari perhatian mereka yang memelintir kebencian dan mengatakan azab ditimpakan Tuhan kepada rakyat Cina adalah bahwa kebanyakan penderita virus Corona dan mereka yang meninggal akibat penyakit tersebut adalah kalangan rakyat biasa yang, seperti telah disebutkan sebelumnya, diketahui memiliki kualitas kesehatan yang buruk. Karena itu, klaim bahwa rakyat Cina mendapat azab Tuhan adalah pernyataan yang tidak pada tempatnya.

Ketimbang mengklaim ini-itu, kita sebaiknya lebih fokus menjadikan tragedi wabah virus Corona sebagai pelajaran agar kita berupaya lebih baik lagi menjaga kesehatan kita, mengonsumsi makanan yang tidak hanya halalan tapi juga thayyiban, serta menjaga lingkungan hidup kita. Mari ingatlah kembali sabda Nabi Saw dalam Hadis beliau: “Ada dua kenikmatan yang di sana manusia sering tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari).

Yunizar Ramadhani