Al Maidah Ayat 3 dalam Pandangan Ibnu Abbas dan Imam Malik, Gini Aja Wahabi Gagal Paham!

Al Maidah Ayat 3 dalam Pandangan Ibnu Abbas dan Imam Malik, Gini Aja Wahabi Gagal Paham!

PeciHitam.org –  Bukti bahwa golongan salai wahabi memperalat/ menggunakan ayat yang tidak sesuai adalah argumentasi membid’ahkan amaliah Muslim di Nusantara.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sitiran penggalan surat al-Maidah ayat 3 menjadi senjata utama untuk menuduh dan menyesatkan amaliah yang menurut mereka adalah kreasi baru.

Penggunaan ayat tersebut ketika dipahami menggunakan kaca mata pengatahuan ternyata tidak berkaitan dengan amaliah yang dituduh sebagai bid’ah.

Ayat tersebut di atas menerangkan tentang kesempurnaan Islam sebagai ajaran yang harus diikuti manusia. Pun amaliah yang tertuduh bid’ah dengan dalil ayat di atas bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, namun hasil ekspresi keagamaan dan berdasarkan dalil.

Al-Maidah Ayat 3 dalam Pandangan Ibnu Abbas

Sepantasnya seorang Muslim yang kaffah merujuk pendapat para Ulama ketika memahami isi kandungan dan konteksual sebuah ayat. Bahwa redaksi al-Maidah ayat 3 sebagai berikut;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Artinya; ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (Qs. Al-Maidah: 3)

Sahabat Ibnu Abbas menjelaskan tentang peristiwa turunnya ayat di atas terjadi pada Haji Akbar (hari Raya ‘Ied Adha) dan bertepatan dengan haji Jum’at.

Baca Juga:  Berdebat dengan Aswaja, Salafi Wahabi Memelintir Qoul Imam Syafi’i

Peristiwa Haji Akbar tentunya terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 10 H, sekira 3 bulan sebelum Rasulullah SAW wafat pada Bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H.

Ibnu Abbas melanjutkan penjelasan bahwa ayat di atas menunjukan kesempurnaan Islam sebagai ajaran Agama, maka tidak diperkenankan membuat ajaran yang sama sekali baru. Beliau mengatakan;

أنه قد أكمل لهم الإيمان، فلا يحتاجون إلى زيادة أبدًا، وقد أتمه الله عز ذكره فلا ينقصه أبدًا، وقد رضيه الله فلا يَسْخَطه أبدًا

Artinya; “Allah telah menyempurnakan islam, sehingga Umat Islam tidak perlu lagi menambah ajaran Rasul SAW. Allah pun telah membuat ajaran Islam itu sempurna sehingga jangan sampai dikurangi selamanya. Allah SWT benar-benar telah ridho, maka janganlah ada yang murka dengan ajaran Islam

Pandangan Sahabat Ibnu Abbas terkait surat Al-Maidah ayat 3 ini digunakan oleh golongan salafi wahabi untuk menyalahkan amaliah yang menurut mereka tidak menggunakan dalil. Padahal amaliah yang sering disalahkan oleh salafi wahabi bukanlah bid’ah dalam nalar mereka.

Golongan salafi wahabi memperalat al-Maidah ayat 3 untuk ‘membabat’ dan membenarkan tidakan menuduh bid’ah, kafir, syirik yang mereka lakukan. Padahal amaliah yang memiliki dasar dalil bukan termasuk bid’ah namun disamakan dengan dalil induknya.

Baca Juga:  Ibnu Taimiyah dan Komentar Pedasnya Kepada Sayyidina Ali

Al-Maidah Ayat 3 dalam Pandangan Imam Malik

Selain pendapat Ibnu Abbas tentang surat Al-Maidah ayat 3 di atas, salafi wahabi juga menggunakan qaul Imam Malik RA sebagai pengyuat, beliau mengatakan;

مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا)

Imam Malik mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Syatibi dalam kitab Al-‘Itisham bahwa ‘Siapa Saja yang membuat Kreasi Baru/ Bid’ah dalam Islam dan menyatakan bahwa itu Baik maka sama saja mengatakan Nabi SAW menurangi Risalah dari Allah SWT. Karena ayat surat Al-Maidah ayat 3 telah menjelaskan bahwa kesempurnaan Nabi tidak memerlukan Tambahan’.

Penjelasan Ibnu Abbas dan Imam Malik terkait surat al-Maidah ayat 3 dipahami oleh salafi wahabi dengan tekstual semata. Padahal korelasi bid’ah dan amaliah Muslim di Nusantara seperti Yasinan, Tahlilan, Ziarah Kubur, dan lain sebagainya tidak masuk kategori demikian. Imam Izzudin Abdis Salam menerangkan;

وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ

Baca Juga:  Jika Anda Memang Seorang Wahabi Kenapa Harus Marah Disebut Wahabi?

Dalam memahami metode klasifikasi Bid’ah (sesuatu yang baru) harus memahami cara mengembalikan hukum. Jika sebuah amalan ‘yang dianggap Baru’ memiliki landasan hukum wajib maka yang demikian bukanlah bid’ah namun kewajiban.

Jika memiliki landasan syariat hukum sunnah maka bukan bid’ah namun Sunnah.

Maka kerangka berpikir ini harus dikembangkan, tidak selaiknya salafi wahabi yang menuduh bid’ah namun tidak memiliki sandaran teknis ketika menuduhnya. Hasilnya adalah menuduh tanpa memiliki dasar hukum sama sekali. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq