Humor Santri: Gara-gara Kentut, Mimpi Zaed Berantakan

Humor Santri; Gara-gara Kentut

Pecihitam.orgHumor Santri (Gara-gara Kentut) – Waktu subuh adalah waktu paling revolusioner bagi umat Islam. Saking revolusionernya, sampai dikatakan bahwa jika umat Islam mampu kompak berjama’ah subuh di masjid, dunia Islam bakal benar-benar maju.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Faktanya? Coba tanyakan pada marbot masjid masing-masing, e, diri sendiri. Hehehe.

Berbeda dengan, sebut saja namanya Zaed, iya, bagi santri satu ini waktu subuh adalah waktu josss untuk menimbun mimpi demi mimpi di tumpukkan iler: bobo nyenyak.

Namun, apa daya Zaed, di pesantren ia harus selalu menyudahi mimpinya kala subuh. Sebab, di pesantren semua santri wajib bin wajib salat berjama’ah.

Ia harus benar-benar bangun sebelum azan subuh. Kalau masih ngotot rebahan, tentu guyuran air bakal menghujani wajahnya yang plongo itu.

Petugas piket sudah beraksi tiga puluh menit sebelum azan. Dan, kemanan pesantren telah siap dengan air pagi yang dingin. Jika para santri tak jua beranjak siap-siap salat berjama’ah, maka wajah mereka adalah bidikan basah.

Baca Juga:  Bukan Cuma Ngaji, Inilah Peran Santri Milenial dalam Membangun Negeri

Seperti wajah Zaed pagi itu, oh tidak, nyaris setiap pagi wajahnya bak wajah Jakarta di musim hujan: bajir.

“Setan alas!” pekik Zaed, merasakan sengatan dingin air di wajahnya. Ia naik pitam. Emosi.

Namun amarahnya spontan melumer. Mendapati wajah geram kemananan pusat berjongkok menodongkan sorot matanya tepat di pucuk hidung Zaed. Tanpa kata-kata.

Zaed beringas, segera lari ke luar kamar. Dengan rambut acak-acakan, wajah basah, bercelana kolor bertelanjang dada, Zaed menuju kamar mandi.

Seperti biasa, di kamar mandi antrean begitu bejubal. Hebatnya Zaed, walau ia mules, rasa kantuknya tetap merayunya untuk tidur barang sebentar.

“Ah, lumayan, belum azan ini,” gumamnya.

Ia berjongkok di antrean ke sekian dengan kerudungan sarung. Namun, ceriwis para santri yang berebut antrean selalu menggagalkan Zaed memejamkan mata.

Bukan Zaed namanya kalau kurang akal. Ia lantas melirik mobil kiai yang memang saat itu tidak dimasukkan ke garasi.

Baca Juga:  Si Jago Merah Hanguskan Pesantren Terbesar di Polewali Mandar, Kerugian Capai Miliaran Rupiah

“Aha, ini dia!”

Zaed segera menuju mobil pak kiai. Ndilalahnya, pintu belakang mobil tak dikunci. Zaed masuk ke dalam. Seakan telah disiapkan, eh di dalam mobil ada mantel mobil, berselimutlah Zaed.

Mimpi-mimpinya kembali bermunculan, Zaed terlelap dipeluk mantel mobil yang cukup menghangatkan.

Beberapa jam kemudian …

“Preeetttt … kepet-kepet-kepet-kepet!!!”

Pak kiai dan mang sopir saling tatap muka. Keduanya bingung bukan main. Sebab memang di mobil itu hanya ada mereka berdua, pikir pak kiai dan mang sopir.

Merebaklah aroma khas kentut Zaed; aromanya mengepung segala penjuru. Untungnya, dua pria yang duduk di depan itu bukan teman sekamar Zaed. Kalau saja iya, tentu aroma itu tidaklah asing milik siapa.

Pak kiai segera memasang wajah kecut. Mang sopir tak kalah kecut, ia malah seakan hendak muntah. Mobil tetap melaju.

Rupa-rupanya mules Zaed yang tertahan kantuk itu mencapai titik klimaks.

Baca Juga:  Menilik Eksistensi Pesantren dari Santri Tradisional hingga Modern

Sadar bahwa sumber suara berasal dari belakang, pak kiai segera mengecek. Instingnya menggerakkan kedua tangannya untuk meraih mantel mobil yang memang agak ganjil itu.

Perlahan mantel itu dibuka, dan …

Subhanallah!” pekik pak kiai.

“Walhamdulillah!” teriak mang sopir, kaget.

“Allahu Akbar!”

Yang terakhir adalah suara Zaed diiringi kentut.


*Cerita ini disadur dari kejadian nyata di salah satu pondok pesantren dengan beberapa tambahan dialog dan narasi. Namun, sungguh, jangan menyangka ini kisah saya pribadi. Demi cintaku padanya, sungguh bukan.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW