Pecihitam.org – Setelah Gus Dur terpilih pertama kali sebagai ketua umum PBNU pada tahun 1984, nama Gus Dur semakin melejit dan menjadi tokoh nasional yang diperhitungkan oleh rezim Soeharto. Pada tahun-tahun sebelumnya, Gus Dur dikenal sebagai seorang cendikiawan Muslim yang memiliki latar belakang dari pesantren.
Di tahun awal 1990an, Gus Dur semakin diperhitungkan dan dianggap menjadi ancaman oleh Presiden Soeharto. Segala gerak-geriknya selalu menjadi perhatian khusus Soeharto dan para loyalisnya. Terlebih lagi, Gus Dur selain punya kapasitas kecendikiawanan yang kuat, juga didukung oleh massa pendukung NU (pada tahun itu) sejumlah 30 juta anggota.
Pada bulan November tahun 1994, NU akan menyelenggarakan Muktamar untuk memilih ketua umumnya. Pada saat itu Gus Dur hendak maju kembali dalam pemilihan ketua umum PBNU tersebut. Pada saat itu, Soeharto melakukan banyak upaya untuk menggagalkan Gus Dur terpilih kembali sebagai ketua PBNU.
Upaya menjegal karir Gus Dur dilakukan oleh Soeharto melalui intervensi terhadap proses pencalonan pada Muktamar NU tersebut. Greg Barton, seorang peneliti dan penulis biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, 2016) menceritakan bahwa Soeharto menempatkan calon-calon pilihannya untuk mengalahkan Gus Dur di Muktamar.
Soeharto menempatkan sosok yang bernama Abu Hasan sebagai bidak kekuasaannya di PBNU. Soeharto mengandaikan bahwa jika kemudian Abu Hasan dapat mengalahkan Gus Dur dalam Muktamar NU 1994 tersebut, Abu Hasan akan menjadi tokoh NU yang dapat dikontrol dan tidak banyak protes terhadap tindak-tanduk kekuasaan otoriter Soeharto dengan Orde Barunya.
Soeharto memilih Abu Hasan sebagai bidak kekuasaan yang bakal ia tancapkan ke dalam PBNU dengan pertimbangan yang sedikit ceroboh. Abu Hasan adalah tokoh NU biasa, ia memiliki latar pengusaha yang kaya raya dari Jambi. Ia juga memiliki kaitan kerjasama bisnisnya dengan Soeharto di Jambi.
Menempatkan Abu Hasan sebagai lawan Gus Dur dalam Muktamar adalah pilihan yang sangat tidak cermat. Melihat kontras kapasitas keilmuan dan trah (keturunan) Pesantren yang sangat timpang. Gus Dur seperti yang kita ketahui bersama bahwa adalah cucu pendiri NU dan sekaligus ulama yang memiliki kapasitas keilmuwan yang tidak diragukan lagi.
Gus Dur adalah alumni Universitas Al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad. Selain itu Gus Dur juga seorang cendikiawan muslim yang menulis diberbagai Koran dan Majalah besar di Jakarta. Banyak orang mengenal dan mengakui kapasitas dan integritas Gus Dur. Sedangkan nama Abu Hasan sama sekali tak dikenal, bukan ulama, bukan juga seorang keturunan ulama pendiri NU.
Padahal, NU sebagai ormas Islam, kualifikasi kapasitas dan integritas keilmuan Islam menjadi standarisasi yang sangat diperhitungkan. Dan tentu saja banyak kiai sepuh masa itu prihatin dengan upaya penjegalan Soeharto dengan menempatkan Abu Hasan untuk menjadi ketua umum PBNU.
Suasana pemilihan tersebut diceritakan Greg Barton (2016) dengan sangat mengharukan dan menegangkan. Pemilihan tersebut berlangsung selama dua kali putaran. Pada putaran pertama, Gus Dur mendapatkan 157 suara, Abu Hasan mengumpulkan 136, Fahmi Saifudin mendapatkan 17 suara, dan Chalid Mawardi 6 suara.
Suasananya saat itu sangat menegangkan, selisih Gus Dur dengan Abu Hasan di putaran pertama hanya 21 suara. Dan 6 suara Chalid Mawardi pada putaran pertama bakalan diberikan kepada Abu Hasan. Dan yang mencemaskan adalah siapa yang akan mendapatkan 17 suara dari Fahmi Saifudin.
Menjelang perhitungan suara pada voting putaran kedua, suasananya semakin mencemaskan. Detik-detik itu adalah masa yang menentukan karir Gus Dur dan posisi NU kedepan dihadapan Orde Baru Soeharto. Dan akhirnya perhitungan suara pun diumumkan. Gus Dur berhasil menumbangkan Abu Hasan dengan selisih 32 suara.
Kemenangan tersebut begitu mengharukan dan meledakkan kegembiraan kalangan muda yang menjadi pendukung Gus Dur. Berpuluh-puluh dari mereka membuat lingkaran sembari berteriak-teriak dengan gembira dan haru. Sembari mereka meneriakkan:
“Soeharto has to go, Soeharto has to go (Soeharto harus turun, Soeharto harus turun)”.
Seruan keriuhan dan kegembiraan kaum muda NU tersebut menandakan bahwa upaya intervensi Soeharto ke dalam Muktamar tahun 1994 untuk menumbangkan Gus Dur telah gagal. Dan karir Gus Dur kemudian terus melejit. Al-fatihah.