Inilah Alasan Kenapa Imam Abu Hanifah Tidak Pernah Tidur Malam Selama 40 Tahun

Abu Hanifah Tidak Tidur Malam

Pecihitam.org– Salah satu karomah Imam Abu Hanifah adalah beliau tidak tidur malam selama 40 tahun. Dan beliau melakukan shalat Shubuh dengan wudhu’ yang ia lakukan untuk melaksanakan shalat Isya’. Artinya, selama semalam suntuk beliau tidak tidur dan tidak batal wudhunya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berikut kisah yang melatarbelakangi sehingga Imam Abu Hanifah tidak pernah tidur di malam hari selama 40 tahun.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Tadzkiratul Awliya’, Imam Abu Hanifah memiliki kebiasaan shalat tiga ratus rakaat setiap malam.

Hingga suatu saat ada orang melintas ketika ia sedang melaksanakan shalat. Seorang wanita berkata pada wanita lainnya: “Orang ini (Imam Hanafi) shalat setiap malam lima ratus rakaat.”

Imam Abu Hanifah yang mendengar perkataan itu dan dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan pujina tersebut, karena ia hanya melaksanakn shalat tiga ratus rakaat.

Maka sang Imam berniat shalat lima ratus rakaat untuk membenarkan persangkaan wanita tersebut.

Setelah itu ia shalat lima ratus rakaat setiap malam sampai sekumpulan anak-anak yang tengah bermain melintas dan berkata satu sama lainnya: “Orang ini shalat setiap malam seribu rakaat.”

Baca Juga:  Ketika Tongkat Nabi Musa Berubah Menjadi Ular di Hadapan Fir'aun dan Tukang Sihir

Imam Abu Hanifah mendengarnya dan berkata: “Aku akan shalat, insya Allah, setiap malam seribu rakaat, agar persangkaan anak-anak itu tidak salah.”

Imam Abu Hanifah melaksanakan shalat seribu rakaat setiap malam cukup lama, kemudian sebagian dari murid-muridnya berkata kepadanya: “Orang-orang meyangka bahwa guru tidak tidur di malam hari.”

Imam Abu Hanifah berkata: “Aku berjanji tidak akan tidur.” Setelah itu, ia meninggalkan tidur malam sama sekali. (Mendengar itu) murid-muridnya bertanya: “Kenapa wahai guru?” Imam Abu Hanifah menjawab: “Agar aku tidak termasuk ke dalam orang-orang yang digambarkan Allah SWT dalam Surat Ali Imran

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih.” (QS.Āli ‘Imrān [3]:188)

Baca Juga:  Kisah Gus Dur Saat Merantau di Eropa

Yang dimaksud oleh Imam Abu Hanifah adalah agar ‘tuduhan kebaikan’ yang dialamatkan kepadanya oleh orang-orang adalah benar.

Ia merasa malu jika dianggap sebagai orang baik yang banyak melakukan amal akan tetapi ia tidak seperti halnya yang dianggap oleh orang lain.

Karenanya, ia senantiasa memperbaiki amal, bukan karena ingin dipuji, melainkan agar amal yang ia lakukan sama atau bahkan melebihi persangkaan orang kepadanya.

Kisah tentang ini, juga disebutkan dalam Siyar Al A’laam Annubala` Juz 6 halaman 399

وروى بشر بن الوليد، عن القاضي أبي يوسف قال: بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء

Basyar bin Walid menceritakan dari Qadhi Abu Yusuf: satu saat aku berjalan bersama Imam Abu Hanifah, tiba-tiba saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain, “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam.” Lalu Imam Abu Hanifah berkata, “Demi Allah, dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan melakukan shalat , bertadharru’ dan banyak berdoa.

Begitulah Abu Hanifah. Ini menjadi pelajaran, setidaknya kita tidak merasa bangga dengan pujian yang sebenarnya kita tidak pantas untuk mendapatkannya karena memang kita tidak benar-benar melakukan apa yang membuat orang lain memuji kita.

Baca Juga:  Kisah Kedahsyatan Nilai Sedekah pada Masa Nabi Sulaiman
Faisol Abdurrahman