Dear Wahabi, Siapa Bilang Selamatan 4 dan 7 Bulanan Kehamilan Tak Ada Dalilnya

Dalil Selamatan 4 dan 7 Bulanan Kehamilan

Pecihitam.org – Sebagaimana tradisi di Nusantara, terdapat acara Ngapati atau Ngupati yaitu upacara selamatan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan mitoni atau tingkepan adalah upacara selamatan ketika kandungan berusia 7 bulan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Upacara selamatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat, menjadi anak yang saleh.

Karena budaya tersebut tidak sedikit dari kaum wahabi yang mengolok-olok bahkan menyalahkan budaya acara tersebut. Mereka bisasanya bertanya adakah dalil dan anjuran di dalam agama Islam tentang itu? Adakah Rasulullah pernah memerintahkan atau mencontohkan hal itu?

Andalan mereka tentunya berkata bid’ah. Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (Nujuh Bulanan), tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama. Dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, semua bid’ah merupakan kesesatan dan yang sesat masuk neraka.

Setelah itu dikutiplah hadits masyhur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan”.

Sebentar,, ini perlu diluruskan. Ya jelas saja, bila yang dikehendaki adalah dalil, anjuran, atau perintah yang secara langsung menyebutkan nama kegiatan itu pasti tidak akan pernah ditemukan di sumber hukum Islam mana pun.

Inilah pentingnya belajar agama bukan sekedar kulitnya saja. Bukan sekedar baca terjemah dan tidak nemu dalilnya lalu mengatakan amalan orang lain bidah dan sesat. Padahal bidah saja banyak pengertiannya. Masalah bidah akan kita bahas lain waktu.

Padahal, bila mau mempelajari dengan baik, kita bisa menemukan dalil-dalil yang secara substansi dapat menjadi dasar keabsahan melakukan acara selamatan bayi empat dan tujuh bulanan itu.

Dasar Acara Empat dan Tujuh Bulanan

Alasan penentuan acara empat bulanan tersebut, karena mengingat pada saat itu adalah waktu ditiupnya ruh oleh Malaikat kepada si janin di dalam kandungan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim yang juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

Artinya: “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau bahagia.” (Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Kairo: Darul Ghad Al-Jadid, 2008, jil. VIII, juz 16, hal. 165).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa proses penciptaan manusia ketika masih di dalam kandungan ibunya pada mulanya ia berupa sperma (nuthfah) yang berproses selama empat puluh hari lamanya.

Baca Juga:  Shalawat Tarhim Menjelang Subuh, Adakah Dalilnya?

Kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya. Kemudian menjadi segumpal daging (mudlghah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya dan menjadi satu janin dengan bagian-bagian tubuh yang lengkap sebagaimana layaknya rupa seorang manusia.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses terbentuknya satu janin di dalam rahim seorang ibu hingga sempurna membutuhkan waktu selama 3 kali 40 hari yang itu berarti sama dengan 120 hari dan dalam hitungan bulan sama dengan 4 bulan lamanya. (tolong dicatat ya !)

Menurut hadits di atas setelah kurun waktu empat bulan itu barulah Allah memerintahkan satu malaikat untuk melakukan dua hal.

  • Pertama meniupkan ruh ke dalam janin tersebut. Dengan ditiupnya ruh maka janin yang pada mulanya hanya seonggok daging kini menjadi hidup, bernyawa. Tak lagi hanya sekedar makhluk mati, tapi kini ia telah menjadi makhluk hidup.
  • Kedua, malaikat tersebut diperintah untuk mencatat empat perkara yang berkaitan dengan rejeki, ajal, amal, dan bahagia atau celakanya si janin ketika ia hidup dan mengakhiri hidupnya di dunia kelak.

Pada fase ini jelas sangat krusial. Bahkan dalam ilmu kedokteran dikatakan bahwa 4 bulan pertama dalam kandungan adalah masa dimana yang sangat menentukan kehidupan bayi setelah lahir nanti. Versi ilmu kedokteraan bisa baca disini ya.

Pada fase itu pula, berdasarkan hadits di atas, para ulama Nusantara kemudian mengajari kita sebagai umatnya untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt agar janin yang ada di kandungan diberi ruh yang baik dan juga rupa tubuh yang sempurna tak kurang suatu apa sebagaimana layaknya tubuh seorang manusia normal pada umumnya.

Juga memohon kepada Allah agar sang janin diberi takdir-takdir yang baik pula. Diberi umur yang panjang penuh berkah dan manfaat, rezeki yang melimpah penuh keberkahan, ahli melakukan amalan-amalan saleh, dan digariskan sebagai hamba yang berbahagia ketika hidup di dunia dan kelak meninggalkan dunia sebagai orang yang selamat dengan membawa keimanan kepada Allah Ta’ala.

Baca Juga:  Dua Kelompok Manusia Akhir Zaman; Mari Introspeksi, Masuk yang Manakah Kita?

Kemudian selamatan mitoni atau tujuh bulanan juga diajarkan para ulama dahulu kepada umat tidak secara asal. Penetapan bulan ketujuh sebagai selamatan kedua, karena pada masa tersebut si janin telah memasuki masa-masa siap untuk dilahirkan.

Acara selamatan yang telah membudaya ini diajarkan oleh mereka setidaknya dengan berdasar pada firman Allah yang terdapat di dalam Surat Al-A’raf ayat 189:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Artinya: “Dia lah dzat yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia ciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya. Maka ketika ia telah mencampurinya, sang istri mengandung dengan kandungan yang ringan dan teruslah ia dengan kandungan ringan itu. Lalu ketika ia merasa berat kandungannya keduanya berdoa kepada Allah Tuhannya, “Apabila Engkau beri kami anak yang saleh maka pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Ayat di atas bercerita tentang Nabi Adam dan ibu Hawa sebagai pasangan suami istri. Imam Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya menuturkan bahwa, “Ketika masa-masa awal kandungan ibu Hawa merasakan kandungannya sebagai sesuatu yang ringan, tidak merasa berat. Ia berdiri dan duduk sebagaimana biasanya.

Namun ketika anak di dalam rahimnya kian membesar ibu Hawa merasakan kandungannya makin berat dan makin dekat masa melahirkan. Maka kemudian Nabi Adam dan istrinya berdoa memohon kepada Allah agar diberi seorang anak yang saleh sempurna sebagaimana dirinya.” (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’âlimut Tanzîl, Kairo: Darul Alamiyah, 2016, jil. II, hal. 191).

Atas dasar inilah para ulama Nusantara kala itu menganjurkan kepada umat muslim untuk mendoakan jabang bayi yang ada di kandungan ibunya yang telah memasuki masa hamil tua.

Untuk memanjatkan permohonan-permohonan baik bagi sang janin itu para ulama negeri ini juga menganjurkan untuk meminta bantuan para tetangga dan sanak saudara untuk ikut serta mendoakannya. Maka diundanglah mereka ke rumah pada waktu yang ditentukan guna bersama-sama berdoa kepada Allah.

Mengapa Pakai Berkat?

Berkat adalah simbol sedekah. Para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini Imam an-Nawawi –seorang ulama ahli hadits dan fiqih madzhab Syafi’i-, berkata dalam kitab al Majmuk:

Baca Juga:  Mengapa Disebut Malam Lailatul Qadar ? Berikut Penjelasanya

يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ أَمَامَ الْحَاجَاتِ مُطْلَقًا. (المجموع شرح المهذب ٤/٢٦٩). وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ. (المجموع شرح المهذب ٦/٢٣٣).

“Disunnahkan bersedekah sekedarnya ketika mempunyai hajat apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 269). Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).

Bersedekah pada masa-masa kehamilan, juga dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-Hanbali, yang diikuti oleh Syaikh Ibn Taimiyah dan menjadi madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, riwayat berikut ini:

“Imam al-Khallal berkata, “Kami menerima kabar dari Muhammad bin Ali bin Bahar, berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan anak-anak al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata, “Aku berkata kepada tuanku (Ahmad bin Hanbal), “Tuanku, bagaimana kalau gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad menjawab, “Kamu rela melepasnya?” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberimu pertolongan untuk melakukannya.” Husnu berkata, “Lalu gelang kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Hasan bin Shalih dan dijualnya seharga 8 dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang pada saat kehamilanku. Setelah aku melahirkan Hasan, tuanku memberi hadiah uang 1 Dirham kepada Karramah, wanita tua yang menjadi pelayan kami.” (al-Imam Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 406-407).

Jadi cukup jelas ya. Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa upacara selamatan pada masa-masa kehamilan seperti 4 bulanan dan 7 bulanan, ada dalilnya dan tidak dilarang oleh agama.

Bahkan substansinya dianjurkan dan pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik