Ketika Nabi Ngobrol Santai Tentang Tuhan dengan Orang Musyrik

nabi dan orang musyrik

Pecihitam.org – Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi diceritakan suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertemu dengan seorang musyrik. Dalam pertemuan tersebut terjadi dialog mengenai jumlah Tuhan yang disembah orang musyrik. Dalam dialog ini kita akan belajar bagaimana sikap nabi dalam bermasyarakat dengan non Muslim. Seperti apa kisahnya? Berikut selengkapnya

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي : يَا حُصَيْنُ كَمْ تَعْبُدُ اليَوْمَ إِلَهًا ؟ قَالَ أَبِي : سَبْعَةً سِتَّةً فِي الأَرْضِ وَوَاحِدًا فِي السَّمَاءِ . قَالَ : فَأَيُّهُمْ تَعُدُّ لِرَغْبَتِكَ وَرَهْبَتِكَ ؟ قَالَ : الَّذِي فِي السَّمَاءِ

Dikisahkan suatu hari Nabi bertemu orang musysrik yang bernama Hushein. Saat itu beliau Saw bertanya, ”Wahai Hushein, berapa tuhan yang Anda sembah sekarang?”

Hushein pun menjawab, ”Ya Muhammad, Tuhanku ada tujuh, yang enam berada di bumi dan yang satu berada di langit.”

Mendengar jawaban orang musyrik yang demikian itu, meski sebagai pembawa akidah tauhid Nabi Muhammad Saw, tidak marah dan tidak pula merasa tersinggung. Beliau malah santai saja dan cukup memaklumi, karena orang-orang musyrik punya keyakinan bertuhan banyak.

Baca Juga:  Kisah Salman al Farisi yang Hampir Dipenggal dan Pemuda yang Menepati Janji

Kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya, ”Kalau dalam keadaan genting, Tuhan yang mana yang Anda panggil?”

Hushein menjawab, ”Yang di langit.”

Demikianlah, Rasulullah Saw melanjutkan percakapan bersama Hushein dengan asyiknya. Bahkan tak ada amarah, apalagi sumpah serapah. Itulah salah satu contoh sikap toleran Nabi Muhammad Saw begitu memaklumi dan tidak pernah melecehkan keyakinan orang lain. Justru dengan dakwah dan sikap beliau yang seperti itulah pada akhirnya Hushein masuk Islam.

Itu sebabnya bagi kita yang berada di tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan agamanya, kita tidak perlu merasa tersinggung kalau ada orang berbeda pandangan dengan kita. Tidak usah tersinggung bila ada pihak yang berbeda keyakinan dengan kita.

Rasulullah tidak melecehkan keyakinan mereka sebagaimana Beliau Saw pun tak ingin jika akidahnya dilecehkan. Maka contohlah sikap Rasulullah dalam menghargai kepercayaan orang lain.

Kisah selanjutnya, suatu hari beberapa orang musyrik mengajak Nabi Muhammad Saw untuuk berkolaborasi. Aturan mainnya, suatu saat mereka akan mengikuti kegiatan peribadatan Nabi Muhammad, namun di saat lainnya Nabi Muhammad harus datang ke tempat mereka untuk mengikuti peribadatan mereka.

Baca Juga:  Kisah Ummu Kultsum, Cucu Perempuan Rasulullah yang Jadi Bidan

Mendengar penawaran tesebut, Beliau Saw langsung menolak mentah-mentah dengan mengatakan salah satu cuplikan Alquran surat Al-Kafirun,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
”Lakum diinukum waliya diin”
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Mengapa Rasulullah menolak langsung tawaran tersebut? Dalam urusan muamalah tidak masalah berhubungan dengan orang non muslim, namun dalam urusan akidah tidak boleh ditawar. Sebagaimana Rasulullah, maka kita sebagai umatnya juga harus fanatik; meyakini dan membela agama yang kita anut.

Rasulullah SAW secara tersirat mengajarkan pada kita makna toleransi dan kerukunan beragama, bukan berarti mencampuradukkan ajaran aneka agama satu dengan yang lainnya.

Sikap toleransi bukan untuk mengorbankan diri sendiri, ketika kita memberikan ruang bagi orang lain, bukan berarti akan mengubah sikap serta keyakinan yang ada dalam diri kita sendiri. Disinilah letak keindahan dari sebuah toleransi antar manusia apalagi antar umat beragama.

Baca Juga:  Cerita Rakyat Tentang Kyai Raden Santri, Pangeran Singasari

Dari sikap toleransi kita belajar bagaimana menjadi istiqomah pada jalan dan keyakinan kita, tanpa mengganggu pendapat dan pendirian orang lain. Toleransi juga sebagai gambaran cara bersyukur menurut Islam dan cara mensyukuri nikmat Allah kita terlahir dengan berbagai perbedaan.

Terakhir, kerukunan antar umat beragama adalah, setiap orang bisa hidup rukun bersama-sama dalam satu komunitas masyarakat. Namun, mereka tetap teguh pada keyakinan masing-masing dan menghormati keyakinan satu sama lain. Begitu semestinya tatanan dalam masyarakat yang heterogen. Wallhua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik