Mengkritik Pendapat Ustadz Sugi Nur Raharja Tentang Gelar Ulama

Mengkritik Pendapat Ustadz Sugi Nur Raharja Tentang Gelar Ulama

PeciHitam.org Siapakah Ulama itu? Apakah semua makhluk yang takut kepada Allah SWT bisa disebut Ulama termasuk hewan ternak, melata dan lainnya sebagaimana tafsir ala Ustadz Sugi Nur Raharja? Ataukah mereka yang selalu sujud, beribadah dan menjauhi larang-larangan Allah?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Memerlukan kajian akademis berbasis keilmuan guna menjawab permasalahan ini guna memberikan pemahaman berimbang dan sesuai dengan kaidah keilmuan.

Jawaban mengenai Ulama bisa menjadi tolok ukur dalam menyeleksi asupan dakwah dari pakarnya. Tidak seperti fenomena sekarang ini yang sangat banyak bermunculan Da’i bahkan klaim Ulama hanya bermodalkan jubah, follower atau predikar muallaf.

Ulama dan Pasar Dakwah

Pandangan umum masyarakat Indonesia akan sangat menghormati dan memuliakan Ulama, karena mereka menjadi tempat rujukan bertanya masalah keagamaan maupun sosial. Maka gelar Ulama adalah gelar prestise yang dimaknai oleh sebagain orang mempunyai daya tawar ekonomi.

Celah ini yang banyak digunakan oleh sebagain orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan duniawi. Dengan bermodalkan pengetahuan cekak dan track record pendidikan yang tidak baik mencoba peruntungan dengan mencatutu gelar Ulama. Faktanya, penceramah atau da’i yang banyak tampil di jejaring media sosial hanya mempertontonkan kebodohan.

Baca Juga:  Macam-macam Takdir Sejak 50.000 Tahun Sebelum Penciptaan Langit dan Bumi

Bukannya Ilmu yang menjadi tolok ukur utama untuk pantas disebut Ulama, namun hanya kemampuan retorika untuk mengumpat dan mencaci orang lain. Bukti utamanya adalah ketika Ustadz Sugi Nur Raharha atau Gus Nur dengan pedenya menafsirkan surat al-Fathir ayat 28;

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨

Artinya; “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Qs. Al-Fathir: 28)

Belum lagi para Ustadz-ustadz anyaran yang bercermah tapi gagal paham tentang Ilmu tajwid yang sangat dasar seperti Ustadz Evie Effendi. Selain dua contoh Ustadz tersebut masih banyak sekali fenomena agama di tengah masyarakat Modern yang hanya bermodalkan stempel Ulama, hijrah dan muallaf tanpa ada tanggung jawab akademik dan moralitas agama.

Baca Juga:  Cinta Tanah Air Menurut Islam dan Peran Pesantren dalam Membumikannya

Fenomena keagamaan latah di Indonesia seperti menguatkan stigma bahwa jalur dakwah adalah pasar, siapa lantang maka laku keras. Tidak peduli bahwa mereka tidak memiliki kompetensi keilmuan agama yang memadai sama sekali. Asal lantang menyalahkan orang lain baik dari segi amaliyahnya dengan tuduhan bid’ah, sesat dan syirik maka sah menjadi Ulama.

Rasa Takut dan Istilah Ulama

KH Marzuki Mustamar memberikan penjelasan panjang lebar tentang  Istilah Ulama yang  dimaksud dalam surat al-Fathir ayat 28. Bahwa ayat tersebut mengandung dua penjabaran yaitu tentang Kekuasaan Allah SWT yang menciptakan jenis serta ragam berbeda di antara makhluknya. Sedangkan yang kedua menjelaskan sifat Ulama, yaitu takut kepada Allah.

Dalam pandangan Ustadz Sugi Nur Raharja, ayat di tersebut merupakan satu kesatuan pemaknaan yang tidak berbeda. Maka manusia, hewan melata atau ternak bisa dimasukkan Ulama selama mereka memiliki rasa takut kepada Allah. Kedangkalan Sugi Nur terletak dari kealfaan memahami tarkib atau susunan kata dalam bahasa Arab.

Baca Juga:  Tiga Perbedaan Karomah dan Mukjizat

Bahwa kaidah ‘إِنَّمَا’ adalah tarkib atau Susunan Hasyr atau berfungsi sebagai pembatas keumuman kalimat yang tersusun. Dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai sebagai ‘hanyalah’ atau ‘semata-mata’ yang fokus utamanya pada kata terkahir yang disebutkan. Sedangkan kata ‘النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ’ disebutkan diawal, maka tidak masuk dalam cakupan tarkib Hasyr.

Simpulannya adalah bahwa Hanya manusia yang berilmu dan takut kepada Allah SWT yang pantas menyandang gelar Ulama. Tidak seperti pemahaman Ustadz Sugi Nur Raharja yang memasukan golongan hewan ternak dan melata sebagai Ulama.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan